
Rasan di’a-di’a kope (mengasahi parang baik-baik)
Rasan (bdk. Dali dalam Nggoro 2016: 86): asah, mengasahi di’a-di’a: baik-baik; kope: parang. jadi Rasan di’a-di’a kope terjemaham bebasnya adalah mengasahi parang baik-baik (Nggoro:2016:86-87). Bagi masyarakat manggarai kope (parang) memainkan perang yang sangat penting. Parang (kope) menjadi sarana yang membantu masyarakan Manggarai untuk menopang hidupnya; karena dengan kope (parang) masyarakat bisa menjaga diri dari ancaman musuh baik manusia maupun serabgan binatang liar yang mengacam nyawa mereka. Selain itu juga fungsi kope (parang) untuk membersihkan kebun dalam hal ini kita dapat mengerti dari latar belakang orang Manggarai sebagai petani yang bercocok tanam (kerja kebun); untuk membersikan kebun membutukan parang (kope).
Di kabupaten Manggarai Timur, kecamatan Elar Selatan, Desa Golo Wuas yang kurang lebih 80 km dari pusat kota; ada kebiasaan dalam masyarakat setempat untuk melakukan sesuatu dengan mengadakan persiapan yang dalam bahasa setempat disebut mengasah parang baik-baik (rasan di’a-di’a kope). Dalam tradisi Manggarai yang berhak untuk menggunakan parang (kope) dalam mengerjakan kebun dan berdagang adalah pekerjaan laki-laki (Nggoro 2016: 87). Ungkapan rasan di’a-di’a kope merupakan ungkapan yang berlaku untuk laki-laki yaitu sebelum malakukan sesuatu harus memerlukan persiapan agar apa yang direncanakan atau dilakukan itu berhasil. Pekerjaan mengasah parang merupakan pekerjan laki-laki (Nggoro 2016: 87). Dalam budaya Manggarai khususnya kaum laki-laki sebelum bekerja adalah pertama-tama mengasah parang agar tajam yang memudahkan dia untuk memotong kayu. Karena, jika parang yang tidak diasah dan tumpul maka parang itu tidak bisa digunakan; jika parang itu tidak digunakan maka dia tidak bisa melakukan apa-apa pada hari itu. Parang sangat penting bagi kaun laki-laki di Manggarai. Maka bagi masyarakat Manggarai parang merupakan kiasan bagi laki-laki (Nggoro 2016: 87).
Makna ungkapan rasan di’a-di’a kope (mengashi parang baik-baik) cukup luas dan dalam maknanya untuk kalangan laki-laki yakni dalam rangka mempersiapkan diri dengan matang dan bijaksana (Nggoro 2016: 87). Dalam melakukan segala sesuatu enta apapun itu membutuhkan persiapan yang matang; karena dengan persiapan yang matang membantu memudahkan pekerjannya. Laki-laki perlu menyiapkan segala sesuatu dalam pekerjaannya. Dalam pekerjaan kesehariannya seorang laki-laki harus mengasahi parangnya baik-baik. Dalam konteks ini makna rasan di’a-di’a kope hanya dalam arti yang harafia; tetapi dalam konteks lain makna rasan di’a-di’a kope sangat indah yaitu laki-laki dalam menghadapi sesuatu perlu mengadakan persiapan. Misalnya rasan di’a-di’a kope dalam kiasan menghadapi ujian di sekoleh, perdagangan, sedangkan untuk perempuan hanya dengan mengatakan di’a-di’a lami weki (jagalah dirimu baik-baik). Jadi ungkapan rasan di’a-di’a kope hanya dikenakan kepada laki-laki; hal ini mudah dimengerti karena yang menggunakan parang dalam budaya Manggarai kaum laki-laki.
Konteks luas dari terminologi rasan di’a-di’a kope adalah kumpul kope (mengumpul parang). Kumpul kope adalah kiasan yang digunakan untuk menggambarkan persatuan laki-laki untuk mengumpulkan dana dalam rangka persiapan perkawinan anak laki-laki (Nggoro 2016: 86). Dalam konteks yang demikian makna rasan di’a-di’a kope sangat penting karena dalam budaya Manggarai jika seorang anak mau mengambil istri yang pertama-tama dia harus mempersiapkan dengan matang baik secara psikologis maupun yang lainnya dalam membangun keluarga baru; selain dia mempersiapkan diri secara pribadi juga bagi keluarga dari yang bersangkutan untuk mendukung rencana yang dibuat oleh laki-laki mereka.
Dalam konteks melamar gadis ini, makna terminologi rasan di’a-di’a kope itu berfungsi yaitu laki-laki yang hendak pergi kekebun untuk bekerja maka pertama-tama mengasahi parangnya baik-baik (rasan di’a-di’a kope) demikian seorang laki-lagi yang hendak melamar seorang gadis perlu meyiapkan dirinya baik-baik. Sebelum sampai pada tahap melamar gadis pertama-tama keluarga dari laki-laki yang bersangkutan menumpulkan keluarga guna mengumpul dana yang harus dibawa kepada pihak gadis yang hendak dilamar.
Dalam persiapan peminangan perempuan (ngo rei wina/ngo rei ine wai) pasti butuh persiapan antara lain: persiapan mental laki-laki yang mau melamar, persiapan dana yang cukup, persiapan waktu dan tenaga dan lain-lain (Nggoro 2016: 87). Dalam budaya Manggarai, dalam proses laki-laki melamar gadis harus memerlukan uang. Uang menjadi sarana yang sangat penting jika mau melamar gadis; tanpa uang semuanya menjadi sia-sia.
Dalam konteks yang lain rasan di’a-di’a kope seperti dalam konteks kepemimpinan orang Manggarai sangat penting untuk mempersiapakan diri dengan baik-baik. Seorang yang menjadi pemimpin dia harus mempersiapakan dirinya baik-baik; karena menjadi seorang pemimpin adalah menjadi telada bagi masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, menjadi pemimpin dia harus mampu menenpatkan diri, bisa berelasi dengan siapa saja dan bertindak bijaksana dalam kehidupannya. Maka menjadi pemimpin perlu mempersiapkan diri baik sebagai bupati, DPR, dan yang lainnya. Seorang pemimpin yaitu seorang yang mempunyai keahlian dalam mengelola bidang yang dipimpinnya.
Tujuan dari rasan di’a-di’a agar dalam berlangsungnya acara tersebut tidak mengalami kesulitan dan juga untuk mendekatkan hubungan kerabatan yang sudah meulai jauh, untuk melestarikan hubungan kerabat yang masih dekat dan mencari kerabat baru (bdk. Anyang 1998:211).
Jadi makna terminologi ini (rasan di’a-di’a kope) mempunyai konteks sangat luas dan dapat digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Dalam setiap peristiwa kehidupan sehari-hari orang Manggarai memerlukan persiapan yang membuat hal tersebut berhasil. Kebiasaan dalam budaya manggarai khususnya di kampung Nio; jika mengadakan acara pertama-tama yang dilakukan adalah mengumpulkan keluarga yang mengadakan acara tersebut, kemudain mengumpulkan orang sekampung tersebut. Tujuan dibuat demikian adalah untuk mempererat persaudaraan dan juga supaya mempermudah dalam pelaksanaannya. Ketika acara yang dibuat bersama itu telah disepakati dalam hal ini yaitu soal tempat, tanggal dan waktu pelaksanaannya, maka selanjutnya adalah mengutus dua tiga orang untuk menyampaukan hasi tersebut kepada seluruh keluarga baik yang di dalam kampung maupun yang di luar.
Dalam acara adat undangan yang berlaku adalah penyampaian secara lisan, sarana yang digunakan sebagai perantara adalah tuak baik pergi kekeluarga anak wina (keluarga saudari) maupun kepada anak rona (keluarga saudara). Penyampaian undangan ini paling lambat dua minggu sebeluh hari acara itu dibuat; karena tujuannya adalah supaya keluarga yang diundang mempunyai persiapan dan juga punya waktu yang cukup untuk memenuhi semua permintaan yang diwajibkan kepada mereka.
Bibliografi
Anyang, Y.C. Thambun. 1998. KEBUDAYAAN DAN PERUBAHAN DAYA TAMAN KALIMANTAN DALAM ARUS MOGERNISASI (Studi Ethografis Organisasi Social Dan Kekerabatan Dengan Pendekatan Antropologi Hukum). Jakarta: PT Grasindo.
Nggoro, Adi M. 2016. BUDAYA MANGGARAI SELAYANG PANDANG, Ende: Nusa Indah.
Lihat Juga
Venansius Vikroltus ()