Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Porak Bakok (kulit batang pisang putih)


Porak adalah kulit batang pisang; sedangkan bakok adalah putih. Maka secara harafia porak bakok adalah kulit batang pisang putih. Tetapi ungkapan ini merupakan kiasan yang digunakan masyarakat Manggarai yang berkaitan dengan belis. Ungkapan ini (porak bakok) menandakan bahwa belis yang diminta oleh keluarga perempuan sudah terpenuhi oleh keluarga laki-laki.

Di kabupaten Manggarai Timur, kecamatan Elar Selatan, Desa Golo Wuas yang kurang lebih 80 km dari pusat kota; terdapat istilah yang berhubungan dengan proses pernikahan yaitu porak bakok. Terminologi ini (porak bako) mempunyai nilai tertinggi dalam budaya Manggarai. Karena jika sampai pada proses porak bakok maka semua yang dimintakan oleh pihak anak rona (keluarga dari perempuan) kepada anak wina sudah terpenuhi oleh pihak laki-laki. Untuk mencapai pada proses ini, harus melalui tahap-tahap yang dalam bahasa daerah disebut surat bakok, pesing le geti, laki sambi, woe weki dan porak bakok. Istilah-istilah ini akan dibahasa sebagai berikut.

Surat bakok (surat putih) merupakan tahap awal perkenalan laki-laki dan perempuan. Tahap ini (Surat bakok) merupakan proses di antara kedua mempelai untuk saling mengenal baik sifat dari masing-masing maupun tentang latar belakang keluarga. Dalam istilah surat bakok awal perjumpaan mereka dikenali oleh sesorang yang menjadi pengantara cinta mereka yang disebuat watang. Watang merupakan pengantara atau penghubung cinta antara pria dan wanita (Nggoro 2016: 110). Jika kedua orang yang silang mengenal ini merasa hugungan di antara keduanya cocok, maka tahap selanjurnya adalah memberi tahu orang tua masing-masing akan hubungan mereka selanjutnya. Jika orang tua laki-laki mendukung hubungan mereka, maka tindakan selanjutnya adalah pergi melamar gadis yang dipacari oleh anaknya; yang dalam bahasa setempat disebut pesin le gheti (bdk. Nggoro 2016: 111 mengenai tuke mbaru).

pesing le gheti berarti pihak laki-laki pergi melamar gadis (bdk. Tefa Sa’u 2006: 66). Peing le geti merupakan tindak lanjut yang diambil oleh keluarga laki-laki mengenai hubungan antara anak dengan gadis yang dipacarinya. Ketika keluarga laki-laki melihat bahwa keseriusan anaknya dalam menjalin hubungan dengan kekasihnya; maka mereka pergi melamar gadis tersebut. Dalam proses pelamaran ini semua orang yang pergi ke keluarga perempuan diwajibkan menggunakan lipa songke yaitu kain sarung khas manggarai (Nggoro 2006:145) sebagai bentuk keseriusan dari pihak laki-laki dalam melamar gadis yang akan dijadikan istri oleh anak mereka; selain itu juga pihak laki-laki harus membawa tuak, rokok, ayam dan uang yang merupakan ungkapan keseriusan dari mereka (keluarga laki-laki) untuk melamar gadis yang dipacarinya itu.

Laki sambi merupakan kelannjutan dari acara pesing le gheti. Pada tahap ini keluarga perempuan meminta belis berupa binatang seperti kerbau (dokong), kuda (jaran) serta jumlah uang yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki (bdk. Tefa Sa’u 2006: 66). Selain itu juga acara ini (laki samba) bermaksud agar kedua bela pihak mendapat kata sepakat mengenai belis yang harus dibayar oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan; selain itu juga menentukan acara (tempat, tanggal dan waktu) pernikahan. Ketika mencapai kata sepakat maka pihak laki-laki tidak bisa mengubah apa yang telah disepakati bersama enta apapun alasannya. Ketika itu semua diselesaikan maka keluarga laki-laki melanjutkan acara mengumpulkan keluarga besar untuk membahas hasil dari pertemuan mereka dengan keluarga perempuan; yang dalam bahasa setempat disebut dengan woe weki (mengumpulkan keluarga).

Woe weki merupakan tindak lanjut dari acara laki sambi. Acara woe weki merupakan acara kumpul kelurga. Papa acara kumpul keluarga ini baik keluarga laki-laki maupun kelaurga

perempuan mempunyai agenda yang berbeda. Kumpul keluarga laki-laki yaitu untuk membicarakan soal apa yang diminta oleh keluarga perempuan. Sebelum pergi ke rumah keluarga perempuan, keluarga laki-laki berkumpul untuk mengumpulkan dana serta binatang yang diminta oleh kerluarga perempuan. Untuk memenuhi permintaan dari keluarga perempuan; keluarga laki-laki meminta kepada semua kelurga untuk mengumpulkan uang dan kemudia untuk bintang seperti kerbau, kuda, laki-laki yang akan meminang si gadis ini meminta kepada saudari baik saudari kandung maupun saudari sepupu (ngo bantang wone anak wina) untuk membawa jenis binatang yang diminta oleh keluarga perempuan, tetapi dalam hal ini antara saudari kandung dengan saudara sepupu sedikit berbeda soal jumlah angka atau binatang yang dibawakan. Misalnya; jika jumlah uang yang diminta oleh pihak perempuan 50 juta dan binatang seperti kuda dua ekor dan kerbau dua ekor; maka saudari kandung membawa kerbau serta uang 10 juta sedangkan saudari sepupu membawa kuda serta uang 5 juta. Dalam budaya manggarai nilai tukar antara kerbau dan kuda berbeda; kerbau memiliki nilai tukar lebih tinggi dari kuda.

Acara woe weki (kumpul kelurga) dibuat satu minggu sebelum menghadap pihak anak rona (keluarga perempuan). Acara woe weki ini bertujuan untuk mengenapi belis yang diminta oleh pihak anak rona atau keluarga perempuan. Jika belis yang diminta oleh keluarga perempuan sudah genap, maka keluarga laki-laki pergi membawa kepada keluarga perempuan dan keluarga perempuan memberikan anak perempuan mereka kepada keluarga laki-laki untuk menjadi istri. Jika keluarga laki-laki melunasi permintaan (belis) keluarga perempuan maka ini disebuat dalam bahasa setempat (orang kampung Nio) porak bakok.

Porak bakok merupakan titik akhir dalam proses peminagan gadis oleh laki-laki. Pada tahap ini, secara resmi gedis yang dilamar oleh laki-laki menjadi miliknya yang sah. Ketika keluarga laki-laki melunasi semua tuntutan dari keluarga perempuan, maka untuk selanjutnya keluarga baru ini bertanggungjawab untuk menjawab anak rona (orang tua dari perempuan). Porak bakok secara inplisit merupakan ungkapan yang menggambarkan ketulusan dari laki-laki untuk menikahi gadis yang dia cintainya. Karena cintanya kepada gadis yang dipersuntingnya itu, laki-laki dengan sabar melewati setiap tahap yang harus dilaluinya.

Porak bakok yaitu pelunasa belis tanpa ada tunggakan lagi. Dalam budaya manggarai ketika sudah sampai pada acara ini (porak bakok) maka tidak ada lagi istila belis lagi. Ketika sudah melunasi urusan belis ini maka orang yang bersangkutan/keluarga baru ini tidak lagi menjawab undangan dari keluarga perempuan dalam hal ini belis. Karena dalam budaya manggarai khususnya di kampung Nio ketika orang belum melunasi semua belis maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan seperti misalnya; ketika orang tua dari pihak perempuan mendakan acar maka anak perempuan mereka wajib hadir dan membawa semua yang diminta oleh orang tuanya. Tetapi ketika sudah melakukan acara porak bakok maka keluarga yang baru ini ketika diminta oleh orang tua mereka bisa saja hadir dan tidak harus membawa semua yang diminta oleh keluarganya. Mereka pergi hanya merupakan ungkapan kekeluargaan dengan tujuan agar hubungan kekeluargaan tetap terjaga dan terpelihara.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Nggoro, Adi M. 2016. BUDAYA MANGGARAI SELAYANG PANDANG, Ende: Nusa Indah.

    Tefa Sa’u, Andreas. 2006. ETNOLOGI DAN TUGAS PERUTUSAN. Ende: Nusa Indah.


    Lihat Juga

    “Neka Poka Pu’ar Boto Mora Usan (jangan menebang hutan supaya hujan turun)” “Neka Tapa Satar Boto Mata Kaka (jangan membakar padang supaya burung tetap hidup)”  SOPEL (Denda)  Rasan di’a-di’a kope (mengasahi parang baik-baik) 

    Oleh :
    Venansius Vikroltus ()