
SOPEL (Denda)
Sopel secara harafia dapat diartikan sebagai hukuman atau denda. Kata sopel ini jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari dan kebanyakan kata ini diungkapkan oleh orang-orang tua yang tinggal di rumah adat. Ungkapan sopel ini merupakan ungkapan yang hanya diucapkan ketika tua teno / kepala suku mendengar kata-kata kotor yang diungkapkan oleh orang-orang yang sedang duduk bersama di teras dan ketika mendengar lamporan dari orang lain yang melakukan kejanggalan dalam kampung.
Di kabupaten Manggarai Timur, kecamatan Elar Selatan, Desa Golo Wuas yang kurang lebih 80 km dari pusat kota; terdapat kebiasaan dalam hidup masyarakat setempat (kampung Nio) untuk menertipkan dan menjaga keharmonisan pada warganya dengan kata sopel. Kata sopel menjadi sarana yang bisa membuat hidup masyarakat di daerah tersebut harmonis; karena ketika orang mendapat / kena sopel (denda) yang membuat dia dikucilkan dari yang lainnya. Dalam budaya Manggarai sering terjadi kejanggalan-kejanggalan yang menyebabkan hidup bersama tidak lagi harmonis. Maka untuk menjaga keharmonisan maka muncullah istilah sopel ini. Dengan sopel ini orang Manggarai ketika ada bersama perlu menjaga tutur kata yang tidak menyebabkan orang lain tersinggung atau terjadinya masalah. Tindakan-tindakan dari orang yang menyebabakan kekacauan akan mendapat denda (sopel). Adapun tindakan-tindakan itu ialah: mencuri, mengeluarkan kata-kata kotor, selingkuh dan yang lainnya.
Kata sopel memiliki makna yang cukup luas dalam masyarakat Manggarai khusunya dalam tindakan-tindakan kesehariaannya. Dalam semua tindakan yang bertentangan atau yang menghancurkan kehidupan bersama, maka orang yang bersangkutan wajib dilaporkan kepada tua teno (kepala suku) dan kepala suka dalam hal ini menjadi hakim yang mempunyai kuasa untuk memberi sangsi kepada orang yang bersangkutan, jika yang bersangkutan benar-benar melakukan perbuatan yang mengganggu kehidupan bersama. Denda yang diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran disesuaikan dengan apa yang dia dibuat.
Tindakan-tindakan seperti mencuri, selingku dan masalah tanah yang membuat orang itu denda. Salah satu contoh, selingku; ketika orang kedapatan selingku, maka orang tersebut dilaporkan kepada kepala suku (tua teno). “Tua teno ialah orang yang dipercayakan oleh sekelompok orang, karena memiliki integritas pribadi dan berjiwa pemimpin, bersikap adil, bijaksana, sabar, menguasai adat masalah pertanahan” (Nggoro 2016: 81). Tua teno meminta pertanggungjawaban dari orang yang bersangkutan mengenai tindakan yang dilakukannya. Jika itu benar maka dia mendapat denda (sopel) sesuai dengan tindakannya.
Dari tindakan-tindakan itu, mereka atau orang yang bersangkutan selain mendapat denda juga diberi pengertian dalam rupa nahasiat bahwa tindakannya itu sangat merugikan bukan saja orang atau pihak yang diselingkunya tetapi bagi masyarakat seluruhnya. Maka dari itu, orang yang bersangkutan diberi pelajaran agar tidak mengulangi tindakan yang serupa lagi dan tua teno meminta kedua belah pihak untuk tetap menjaga keharmonisan dalam hidup bersama.
Adapun hal-hal yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan pelanggaran adalah e’la (babi), songke (kain khas manggarai), manuk (ayam), tuak, rokok dan uang. Jika yang melakukan pelanggaran itu adalah anak wina (keluarga saudari) maka, ia menyiapkan ayam, towe songke, tuak, rokok dan uang; sedangkan jika yang melakukan pelanggaran itu adalah anak rona maka ia wajib membawa e’la (babi), tuak, rokok dan uang. Dari pelanggaran yang dilakukannya ini seperti pada contoh di atas tidak hanya kaum laki-laki yang mendapat denda (sopel) tetapi kaum perempuan juga karena dalam pemahaman orang Manggarai ketika mereka kedapatan selingku; tindakan yang mereka lakukan ini tidak lain karena keputusan mereka bersama yang berdasarkan tahu dan mau dari keduanya. Ketika acara itu sudah dilakukan maka hubungan di antara kedua orang ini menjadi biasa lagi. Adapun tindakan ini,
jika yang melakukan adalah orang-orang yang sudah berkeluarga; maka acara sopel merupakan acara yang medamaikan kedua keluarga yang sedang dalam masalah itu.
Binatang-binatang yang disebutkan di atas merupakan binatang yang dipelihara oleh masyarakat Manggarai pada umumnya. Selain sebagai petani yang bercocok tanam, orang manggarai juga memelihara binatang seperti kerbau, kuda, sapi, babi, kambing, anjing, ayam, dari sekian binatang peliharaan ini ada beberapa yang berkaitan erat dengan adat Manggarai itu sendiri (Poso 2013:25).
Sopel memberi pelajaran yang sangat baik bagi masyarakat Manggarai; karena dengan sopel itu sendiri membuat orang-orang Manggarai mampu menjaga baik dalam bertindak maupun dalam tutur kata dalam hidup bersama. Dengan acara sopel ini maka masalah yang dihadapi oleh orang-orang seperti dalam contoh di atas dapat diselesaikan dan hubungan dari suami istri yang mengalami masalah tersebut bisa berjalan dengan baik lagi. Adapun kosekuensi dari tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak seperti contoh di atas bisa menyebabkan hubungan dalam keluarga retak. Namun dengan adanya acara sopel ini membantu masyarakat Manggarai dalam menjalin hubungan yang baik dalam keluarganya.
Dalam acara ini (sopel) tua teno sangat berperan penting, dalam arti dia harus memutuskan perkara tersebut dengan baik; karena hal itu sangat berdampak pada kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, sebelum memutuskan perkara tersebut penting bagi tua teno untuk meminta pendapat dari orang-orang yang ada bersama dalam acara tersebut; karena dari pendapat-pendatat tersebut bisa membantu tua teno dalam memutuskan hal yang terbaik dari perkara tersebut.
Sebelum acara sopel dibuat, pertama-tama tua teno dua atau tiga hari sebelum acara itu dilaksanakan mengutus empat samapi lima orang untuk mengudang semua masyarakat yang ada dalam kampung tersebut untuk menghadiri acara sopel dan undangan ini disampaikan secara lisan. Acara sopel biasanya dilakukan di tengah-tengah kampung (natas; bdk. Nggoro 2016: 33) dan dihadiri oleh semua orang yang ada dalam kampung tersebut. Dalam acara sopel ini ada kesempatan untuk makan bersama dan semua makanan pada saat itu ditanggung oleh dua bela pihak yang mengalami masalah. Sebelum acara maka bersama, pertama-tama tua teno menceritakan maksud mereka berkumpul di natas yang walaupun massyarakat pada umumnya sudah tahu tetapi hal tersebut wajib dilakukan sebagai simbol.
Bahan-bahan yang dibawa oleh pihak yang bermasalan diserakan semuanya kepada tua teno dan kemudian tua teno menunjukan semua itu kepada masyarakat yang hadir dalam acara tersebut (sopel) sebagai bukti dari sopel. Sopel mempunyai arti yang sangat mendalam bagi kehidupan masyarakat Manggarai khususnya di kampung Nio. Dengan terminologi ini (sopel), membuat kehidupan masyarakat di tempat tersebut sangat harmonis. Dalam budaya Manggarai ketika mengalami masalah tanah maka pihak yang bersangkutan wajib melaporkan masalah tersebut ke tua teno dan tua teno wajib melihat tanah yang bermasalah tersebut dan jika terbukti bahwa tanah itu merupakan milik dari pihak pelapor maka pihak yang dilapor mendapat denda (sopel). Dalam masalah demikian, ada kemungkinan tanah milik pihak yang dilapor dicabut hak miliknya oleh tua teno jika perbuatan itu dilakukan dengan sengaja. Dalam kejadian seperti ini; pihak yang dilapor akan mendapak sangsi yang lebih berat dari masalah yang biasa.
Jika masalah tanah yang terjadi maka acara untuk mendamaikan orang tersebut (sopel) berlangsung satu hari penuh. Binatang yang harus disiapkan oleh pihak tersangkan adalah dokong (kerbau) untuk menyelesaikan masalah tersebut dan semua bahan dalam acara tersebut disiapkan oleh tersangka.
Jadi sopel selain untuk menjaga tata tertibab dalam hidup bersama juga sebagai kesempatan untuk masyarakat Manggarai belajar dari kesalahan dalam membangun hidup bersama. Dengan adanya sopel ini membantu masyarkat Manggarai untuk selalu mengenal diri, tahu menempatkan diri dan menjaga keharmonisa dalam hidup bersama. Makna dari sopel (denda) bukan hanya untuk menyelesaikan masalah secara adat tradisional; di mana yang menjadi hakimnya dalah tua teno (kepala suku), tetapi lebih dari itu yaitu secara tidak langsung mengajarkan masyarakat Manggarai secara khususnya masyarakat di kampung Nio, bagaimana hidup yang benar dan berelasi yang baik dalam hidup bersama. Dengan ketegasan sopel masyarakat Manggarai (kampung Nio) perlu berhati-hati dalam baik bertutur kata maupun bertingkah laku, agar tidak terjadi permusuhan di antara sesame yang menyebabkan hidup bersama tidak harmonis.
Tatanan hidup bersama menjadi baik jika ada kerjasama yang baik dari setia individu-individu dalam masyarakat. Kerjasama yang baik hanya bisa terwujud jika ada saling pengertian di antara individu-individu dalam kehidupan bersama. Bagi masyarakat di kampung Nio sopel menjadi sarana yang bisa menghantar mereka untuk mewujudkan kerjasama yang baik dan yang menciptakan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Bibliografi
Nggoro, Adi M. 2016. BUDAYA MANGGARAI SELAYANG PANDANG, Ende: Nusa Indah.
Poso, Kristianus. 2013. KONSEP MANUSIA WANGSA KULENG DALAM LEGENDA MANDOSAWU. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana.
Lihat Juga
Venansius Vikroltus ()