Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Hae Reba (Bahasa Manggarai: Sahabat)


Dalam budaya Manggarai hubungan kekerabatan memiliki cakupan yang lebih luas tidak hanya berdasarkan pertalian darah tetapi juga atas dasar kedekatan tempat tinggal, kedalaman dalam komunikasi pribadi. Kedalaman relasi pribadi ini di bangun di atas semangat nilai kemanusiaan yang memiliki persamaan misi, visi serta adanya persatuan dan kesatuan (Ngoro 2013: 72). Dalam kehidupan sebagi masyarakat komunal, orang Manggarai sangat menjunjung tinggi nilai persahabatan. Hal itu tercermin dalam sistem keakraban orang Manggarai yang melihat persahabatan sebagi kemampuan dasar yang harus dimilki setiap orang. . Orang Manggarai selalu beranggapan bahwa setiap orang, entah yang sekampung, saling kenal atau yang hanya saling kenal atau pernah bertemu sebelumnya dianggap sebagai saudara meski hanya kenalan saja atau tidak memiliki hubungan kekerabatan .

Semangat kekerabatan ini terungkap dalam istilah hae reba. Hae reba adalah istilah yang menunjukkan hubungan orang Manggarai dengan siapa saja yang dikenalnya. Hae reba berasal dari kata hae yang berarti orang/yang punya dan reba yang berarti pemuda/atau laki-laki ganteng. Jadi hae reba berarti orang muda atau punya kenalan muda. Untuk mengerti kata hae reba umumnya orang bertanya demikian, “manga hae rebas meu? (ada yang temani kalian?). Pertanyaan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa orang tidak mungkin hidup sendiri, tentu ada yang menemani, yang menemani inilah yang disebut sebagai hae reba, seorang yang bisa menjadi lawan bicara.

Hae reba dalam arti tertentu berarti teman, sahabat di mana seseorang dapat saling bercerita, mengisahkan pengalaman, bertukar pikiran, bercanda dan berbagi suka dan duka. Namun istilah hae reba dalam budaya Manggarai tidak selalu berarti demikian karena hanya terbatas pada orang muda, pria bujangan atau juga untuk perempuan –perempuan muda yang diistilahkan dengan hae molas (kenalan sesama perempuan yang masih gadis) istilah hae molas tidak dipakai untuk menunjukkan hubungan kekerabatan tetapi digunakan untuk menunjukkan perbedaan dengan hae reba. Hal ini dipahami Karena budaya Manggarai menganut sistem patrineal. Perempuan dianggap sebagai orang luar (ata peang), orang yang mengikuti marga suaminya. Karena itu, perempuan tidak dihitung sebagai daftar silsilah keluarga.

Berbeda dengan laki-laki yang menjadi ahli waris keluarga yang dianggap sebagai ata one (orang dalam), orang yang meneruskan dan melanjutkan keturunan. Karena itu, istilah hae reba menerangkan di dalamnya hae molas (perempuan). Hae reba berarti kenalan muda yang mencakup di dalamnya laki-laki dan perempuan tetapi yang masih muda. Memang secara harafiah hae reba berarti kenalan muda, kenalan antara pria yang masih muda. Istilah hae reba yang berarti demikian bukanlah hal yang baru dalam keseharian hidup orang Manggarai sebab setiap orang ketika masih muda dapat berkenalan dengan siapa saja. Apalagi bagi orang Manggarai siapa saja yang ia kenal entah di pasar, di sekolah atau pun di jalan dianggap sebagai saudara (hae reba).

Pada zaman dahulu istilah hae reba kerap kali juga dipakai untuk seorang pemuda atau pemudi yang sedang jatuh cinta atau berpacaran. Namun dalam arti yang lebih luas hae reba adalah suatu hubungan atas dasar persatuan, persaudaraan, kekerabatan baik dalam hal pengorbanan materi, spiritual dan tenaga serta pikiran dalam rangka urusan kekeluargaan seperti: acara perkawinan, pendidikan dan kematian (Ngoro 2013:71). Pada zaman suku-suku di Manggarai hubungan kekerabatan ini didasarkan pada kebutuhan armada perang dan juga tidak bersifat hubungan antara pribadi tetapi berdasarkan Adak Kraeng (Semacam kerajaan-kerajaan kecil di Manggarai). Dua dalu (masyarakat) menjadi kekerabatan atas dasar ”wikit” (ajakan) dan berdasarkan wada (sumpah) untuk ikut berperang. Misalnya hubungan kekerabatan antara Kraeng Pangga Niang Nengka dengan pribadi-pribadi simpatisan dari unsur Bima Reok dan Adak Cibal yang dipimpin oleh Kraeng Nengko Ame Ndijung dan lawannya pasukan Kraeng Panga Adak Niang Wowing yang bersahabat dengan Kraeng Wanggar Laki Tekek, Kraeng Lancam Laki Pongkor, dan Kraeng Laki Tekek beserta Kraeng Guru Rombo Pokok dan Kraeng Rambut sampe beserta punggawa Timur (Toda 1993: 292).

Setelah perang antara suku-suku di Manggarai berakhir, hubungan kekerabatan ini tetap dipertahankan tetapi bukan untuk memperebutkan daerah kekuasaan seperti pada zaman dahulu tetapi lebih bermakna positif yakni saling membantu dalam meringankan beban sesama atau sahabat misalnya dalam upacara perkawinan, pendidikan atau kesehatan. Dalam keadaan sulit seperti ini kehadiran orang lain sangat dibutuhkan.

Salah satu kebiasaan yang menunjukkan persahabatan antara hae reba misalnya nampak dalam upacara kumpul kope semacam perkumpulan atau persatuan antara sesama laki-laki untuk mengumpulkan dana perkawinan bagi pernikahan anak laki-laki. Dalam perkumpulan ini setiap orang menyumbangkan uang atau tenaganya dalam pernikahan tersebut. Hal ini dasarkan pada rasa kebersamaan dan dukungan dari sahabat (hae reba). Begitu dalam persahabatan ini sehingga pengorbanan materi dan moril dari persekutuan hae reba ini hampir sama dengan pengorbanan dari keluarga besar yang memiliki hubungan darah yang dekat, hanya perbedaannya persatuan hae reba lebih bersifat individual. Imbasannya juga bahwa untuk membalas kembali bentuk persatuan itu, akan dibalas secara individual pula tetapi tetap dilandasi oleh ikatan moral yang kuat dan penuh rasa kekeluargaan (Ngoro 2013: 71).

Dengan hubungan hae reba ini orang Manggarai ini hendak menunjukkan bahwa persahabatan itu bukan hanya sebatas hubungan darah tetapi melampauinya. Persahabatan yang sejati adalah ketika aku ikut ambil bagian dalam harapan duka dan kecemasan sahabat atau sesama meski dia beda agama, beda latar belakang budaya dan suku. Karena itu persahabatan yang sejati bukan dibangun atas dasar saling menguntungkan tetapi suatu pengorbanan, kerja sama di mana di dalamnya ada cinta dan kerelaan (bdk. Riyanto 2013: 114).

Melalui hubungan hae reba awalnya dipakai dalam konteks perang tetapi hubungan ini telah dimurnikan menjadi sarana dan wadah yang baik bagi orang muda Manggarai untuk terlibat dalam membangun semangat solidaritas dam kesetiakawanan terhadap sesama. Hubungan hae reba dengan demikian mengajarkan kepada generasi muda bahwa dengan bersahabat dengan siapa saja kita tidak akan pernah sendiri dalam menghadapi kesulitan karena selalu ada teman yang akan membantu. Sebab hubungan hae reba dalam budaya Manggarai dibentuk dan disatukan oleh visi dan misi yang sama yang dijiwai oleh perasaan senasib dan sepenanggungan sehingga hubungan hae reba sulit dipisahkan dan dilupakan. Sebab relasinya bersifat personal dan mengikat.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Ngoro, Adi. M., 2013. Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.

    Toda, N. Dami, 1991. Manggarai, Mencari Pencerahan Histografi, Ende: Nusa Indah.


    Lihat Juga

    Wae Teku (Bahasa Manggarai: Air Timba)  La’at Meka Weru (Bahasa Manggarai: Mengunjungi Bayi Yang Baru Lahir)  Neki Weki Ranga Manga (Bahasa Manggarai: Berkumpul Bersama Sebagai Saudara) 

    Oleh :
    Matias Jebaru ()