Wae Teku (Bahasa Manggarai: Air Timba)
Daerah/suku Manggarai terletak di ujung barat Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dulu Manggarai hanya satu kabupaten, tetapi sekarang Manggarai telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten. Dari segi topografi Manggarai adalah daerah yang berbukit, bergunung dan sebagian dataran (padang). Manggarai berkebudayaan agraris yakni makanan pokoknya adalah jagung, padi ladang kering, ubi jalar (tete wase), ubi kayu (tete haju) yang merupakan gambaran kehidupan agraris. Itulah sebabnya orang Manggarai memasukkan budaya bercocok tanam (kerja kebun) sebagai bagian dari mata pencahariannya yang utama.
Sebagi suatu masyarakat agraris, orang Manggarai memiliki kearifan yang mencetuskan kedalaman relasinya dengan alam di sekitarnya. Kedalaman itu terungkap dalam bentuk-bentuk ritual penghormatan atu upacara-upacara adat dan simbol-simbol seperti rumah atau tempat tinggal. Bentuk-bentuk kearifan lokal itu tidak sekedar menyatakan sudut pandang geografis melainkan mengurai kebijaksanaan khas. Kebijaksanaan itu merupakan produk “relasionalitasnya” manusia dengan alam tempat di bertumbuh dan berkembang (Riyanto 2015: 19). Berkaitan dengan relasionalitas manusia dengan alam kebudayaan Manggarai mengenal 5 tata ruang budaya yakni Mbaru Gendang (rumah adat), Wae Teku (Lingko/Uma Duat, Boa dan Golo Lonto. Dari lima tata ruang budaya ini hanya wae teku yang dibicarakan dalam dalam tulisan ini. Dulu orang Manggarai menganut kepercayaan agama asli yakni dinamisme dan animisme (percaya kepada roh-roh halus). Mereka berkeyakinan bahwa kebanyakan roh-roh (dewa/leluhur) hadir pada pohon-pohon besar (langke) atau di sumber mata air/rawa-rawa. Tempat-tempat semacam ini dianggap keramat dan mempunyai kekuatan. Karena alasan inilah wae teku di jaga dan dijadikan salah satu tata runga budaya Manggarai.
Wae teku secara harafiah berarti air timba. Kata ini merujuk pada kata benda. Berbeda dengan istilah teku wae yang berarti timba air. Kata teku wae menekankan aktivitas timba air. Maka kata teku wae berhubungan dengan air (wae). Karena itu, tidak tepat kalau kata teku dipakai untuk benda cair seperti laut (tacik), danau (sano) air rawa (sawa), air sayur (wae ute), minuman beralkohol seperti bir atau anggur. Sedangkan wae teku adalah istilah budaya Manggarai yang berkaitan dengan tata ruang budaya Manggarai. Wae teku adalah bagian yang paling vital dalam kehidupan manusia (Ngoro 2013: 36). Menurut kebudayaan Manggarai kalau hendak membuka kampung baru (beo weru) harus ada wae tekunya meskipun di dekat kampung itu ada air sungai, air sawah tetapi tempat dan posisi wae teku mutlak ada. Mengingat air sungai air danau atau air sawah tidak bisa digunakan untuk konsumsi sehari-hari kecuali untuk mandi dan mencuci. Berbeda dengan wae teku yang bersal dari mata air yang dijaga kebersihannya. Karena alasan itulah sebabnya hutan di sekitar wae teku dipelihara secara khusus sebagai hutan adat. Disebut hutan adat karena dilindungi oleh hukum adat dan dipelihara oleh seluruh masyarakat adat agar air wae teku tetap jernih dan segar.
Penghormatan kepada wae teku secara khusus diadakan ketika orang Manggarai mengadakan syukuran membuka kebun baru dan acara syukur panen lainnya seperti upacara penti (syukuran panen). Maka wae teku sebagai salah satu unsur vital dalam kampung tersebut mendapat perhatian yang penting dalam upacara tersebut. Upacara penghormatan kepada wae teku ialah barong wae yakni upacara pembersihan di sekitar mata air agar tetap segar dan jernih. Setelah itu dipersembahkan kurban sesajian. Inti permohonan dalam upacara barong wae adalah agar air senantiasa bersih, tidak ada penyakit dan debit airnya lancar (to’e manga meti).
Upacara ritual barong wae menunjukkan bahwa orang Manggarai pada dasarnya memiliki rasa hormat terhadap alam dan lingkungan. Di sana orang Manggarai mencetuskan kedalaman relasionalnya dengan alam di sekitarnya. Selain itu ritual barong wae memiliki fungsi untuk mengatur dan menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan antar manusia dan alam (Mukese 2012: 125). Dalam penggunanya wae teku idealnya dibuatkan dua pancuran (dua sosor) masing-masing satu sosor untuk perempuan (ca sosor latang te ine wai) dan satu pancuran untuk laki-laki (ca sosor latang te ata rona). Tujuan dari dibuatnya sosor agar tidak kedapatan mandi, khususnya antara perempuan dan laki-laki. Di samping itu juga orang tidak antre mandi. Tetapi jika tidak dimungkinkan untuk dibuatkan dua cukup satu saja bisa. Dalam kaitan dengan ini ada satu kebiasaan yang dipandang etis/beradab yakni kebiasaan koing cebong (memberi aba-aba di tempat mandi). Artinya orang yang hendak melewati tempat wae teku, maka orang tersebut dari tempat yang agak jauh sekitar 10 meter atau dari tempat yang belum saling kelihatan memberi aba-aba kepada orang masih di tempat mandi atau pancuran untuk mengetahui apa ada yang sedang mandi di tempat tersebut.
Aba-aba yang khas yaitu “huu cebong?” (ada yang mandi ?). Ucapan ini mesti disampaikan sebanyak tiga kali. Bila tidak ada jawaban, ia boleh lewat. Tetapi kalau saat itu ada orang yang masih mandi maka orang yang masih mandi itu wajib menjawab koing cebong itu dengan cara yang khas Manggarai juga yaitu “cebong ce’e” (di sini ada yang sedang mandi). Lalu yang menyampaikan koing cebong berhenti sejenak sampai yang bersangkutan selesai mandi. Dan yang sedang mandi wajib memberikan aba-aba apabila ia sudah mandi agar yang hendak melewati jalan tersebut boleh lewat.
Diingatkan juga bahwa jika setelah melakukan koing cebong dan di tempat mandi memang ada orang di sana, tetapi tidak mandi/belum mandi, maka ia juga wajib menjawab: toe manga cebong ce’e (di sini tidak ada yang mandi). Tetapi persoalan yang lain adalah jika orang ke tempat mandi tanpa memberikan aba-aba sebelum masuk kemudian mendapatkan orang yang sedang mandi khususnya yang berbeda jenis kelamin, maka yang kedapatan merasa dirugikan dan dipermalukan. Maka yang bersangkutan mempunyai hak untuk melaporkan hal itu kepada tua-tua adat. Selanjutnya yang dilapor akan diberikan sanksi adat berupa nasihat, uang atau babi untuk nasrani dan kambing untuk muslim.
Tetapi apabila yang melakukan pelanggaran itu mengakui kesalahan dan kekeliruannya serta menyampaikan permohonan maaf dan diterima oleh pihak yang merasakan dirugikan maka sanksi adatnya akan dipertimbangkan/dikurangi. Jadi, bisa diadakan hambor (damai). Dalam budaya Manggarai penyelesaian kasus pelanggaran susila masih bisa ditempuh dengan jalan damai. Dari narasi ini dapat disimpulkan bahwa wae teku dalam budaya Manggarai tidak hanya mengungkapkan pentingnya menjaga sumber air sebagai bagian vital hidup manusia tetapi juga mendidik mental masyarakat untuk saling menghargai satu sama lain di tempat umum. Jadi konteks hidup sehari-hari berupa wae teku mencetuskan kedalaman relasi manusia dengan alam dan relasinya dengan sesama dalam kehidupan bersama sebagai satu masyarakat.
Bibliografi
Mukese, Jhon Dami, 2012. “Makna Hidup Orang Manggarai Dimensi Religius, Sosial Dan Ekologis”, dalam IMAN, BUDAYADAN PERGUMULAN SOSIAL (Refleksi Yubilium 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai), Martin Chen, Charles Suwendi, (eds). Jakarta: Obor.
Ngoro, Adi. M., 2013. Budaya Manggarai Selayang Pandang, Ende: Nusa Indah.
Riyanto, Armada, 2015. “Kearifan Lokal- Pancasila Butir-Butir Filsafat “Keindonesiaan”, dalam KEARIFAN LOKAL PANCASILA: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur dkk, (eds), Yogyakarta: Kanisius.
Lihat Juga
Hae Reba (Bahasa Manggarai: Sahabat) | La’at Meka Weru (Bahasa Manggarai: Mengunjungi Bayi Yang Baru Lahir) | Neki Weki Ranga Manga (Bahasa Manggarai: Berkumpul Bersama Sebagai Saudara) |
Matias Jebaru ()