Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

HAE REBA (BAHASA MANGGARAI: HUBUNGAN KEKERABATAN YANG DIBANGUN ATAS DASAR KENALAN, RASA PERSATUAN, PERSAUDARAAN, KEAKRABAN, KEKELUARGAAN DAN RASA KEMANUSIAAN)


Ungkapan ini merupakan cetusan yang diungkapkan oleh nenek moyang orang suku Manggarai dalam rangka membangun suatu hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Hubungan kekerabatan dan persaudaraan ini dibangun atas dasar kenalan, rasa persatuan, persaudaraan, keakraban, kekeluargaan serta rasa kemanusiaan (Nggoro 2016:71).

Di wilayah NTT, tepatnya di ujung barat pulau flores terdapat sebuah suku yang bernama suku Manggarai (Riyanto, dkk 2015:85). Dalam suku Manggarai ini terdapat sebuah ungkapan yang disebut hae reba. Term hae reba sangat familiar di mata orang-orang Manggarai sebabnya orang Manggarai pada umumnya sangat menunjung tinggi nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan ini tidak hanya sekedar ungkapan yang didengungkan begitu saja melainkan terwujud dalam kegiatan-kegiatan harian mereka seperti halnya acara kumpul kope (pengumpulan dana untuk seorang anak muda yang akan meminang seorang gadis), wuat wai (pengupulan dana untuk seorang anak yang akan melanjutkan studinya ke perguruan tinggi/kuliah), leles/dodo (gotong royong/kebersamaan dalam bekerja), dan masih banyak kegiatan-kegiatan lain yang memiliki nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebab itu ungkapan hae reba bukanlah ungkapan yang baru bagi orang Manggarai apalagi ungkapan yang berkaitan dengan kehidupan bersama serta dibangun atas dasar rasa kemanusiaan. Bukti dari ungkap persaudaraan dalam kehidupan bersama terealisasi dalam aktivitas-aktivitas yang diisebutkan di atas. Ungkapan hae reba sebenarnya hendak menunjukkan kepada kita bahwa semua orang yang ada di bumi ini adalah satu dan saling bersaudara.

Kata hae berarti orang/yang punya sedangkan kata reba sendiri berarti pemuda/laki-laki/ganteng. Jadi term hae reba jikalau diartikan secara harafiah berarti orang muda namun pengertian ini tidak akan mengandung nilai etika komunitarian jikalau tidak diartikan secara metaforis. Arti metafor dari term ini adalah “hubungan kekerabatan dan persaudaraan yang dibangun atas dasar kenalan, rasa persatuan, persaudaraan, keakraban, kekeluargaan dan rasa kemanusiaan” (Nggoro 2016:71) .

Rasa kemanusian ini bagi orang Manggarai merupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan mereka, sebab itu mereka selalu menghidupi semua kebiasaan-kebiasaan nenek moyang mereka yang berkaitan dengan kehidupan bersama itu sendiri. Mereka melihat sesama manusia yang berada di sekitar mereka sebagai subyek dan bukan sebagai obyek yang boleh diperlakukukan sesuka mereka. Subyek yang dimaksut adalah manusia yang patut dihargai dan dilindungi.

Orang Manggarai pada umum sangat menekankan nilai kemanusiaan. Hal itu terlihat dari sikap toleransi yang mereka hidupi. Sikap ini menjadi yang terutama dalam kehidupan mereka. Mereka memperlakukan sesama secara baik dan benar, entah itu yang beragama Islam, Protestan, Hindu maupun Buda. Perlakuan seperti ini dapat dibuktikan melalui aktivitas-aktivitas kebudayaan mereka yang senantiasa mengayomi semua orang yang hidup bersama mereka. Ada pun bukti lain yang menjadi kekuatan bagi orang Manggarai yang dapat menunjukkan bahwa mereka sangat toleran adalah seperti berdirinya bangunan Masjid serta Gereja Pentakosta yang berada di tengah-tengah kota Ruteng, kota yang menjadi pusat keramaian orang Manggarai.

Ditinjau dari sisi keagamaan, orang Manggarai pada umumnya beragama katolik, akan tetapi agama tidak dijadikan sebagai alat politik oleh orang Manggarai, sebab jikalau agama dijadikan alat politik dan kekuasaan maka nilai kebersamaan dan kemanusiaan tidak ada sama sekali dalam kehidupan mereka. Dari sebab itu mereka tidak melarang agama lain untuk mendirikan rumah-rumah ibadat, baik di daearah pedasaan maupun di tempat-tempat yang merupakan pusat kota seperti halnya di kota Ruteng. Kenyataan ini hendak mengindikasikan bahwa kehidupan orang Manggarai pada umumnya lebih mengutamakan nilai kebersamaan dan kemanusiaan. Karena itulah yang paling esensial dalam kehidupan manusia.

Dari fakta-fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa orang Manggarai pada dasarnya adalah masyarakat yang selalu mendambahkan kehidupan bersama. Di mana mereka menerima orang-orang yang berada di sekitar mereka dengan penuh cinta, dan tanpa peduli sikap, tingkah-laku maupun kemampuannya. Bagi mereka yang paling penting adalah nilai kemanusiaan yang dilandasi etika komunitarian. Sebab nilai kemanusiaan merupakan inti dari hidup manusia itu sendiri. Nilai kemanusiaan yang dimaksudkan di sini adalah rasa persaudaraan yang tidak memposisikan orang lain sebagai obyek melainkan sebagai subyek yang semartabat atau sederajat dengan mereka sendiri.

Maka tidak heran jikalau mereka memiliki banyak ungkapan kebudayaan serta aktivitas yang mengandung nilai kebersamaan yang juga bersifat merangkul dan mengayomi semua orang. Hal ini dapat dibuktikan pula dari budaya atau ungkapan hae reba itu sendiri. Seorang pemuda dalam sebuah keluarga boleh memiliki dua, tiga atau bahkan lebih dari pada itu jumlah hae rebanya, hal ini demi membantunya untuk meringankan segala macam urusan yang berkatan dengan keagamaan, politik, sosial, maupun ekonomi (Nggoro 2016:72).

Dalam urusan kumpul kope, seorang pemuda dapat mengundang hae rebanya untuk mengikuti acara tersebut, walaupun pada gilirannya pemuda tersebut akan membayar kembali uang tersebut, akan tetapi bukan dalam arti utang piutang melainkan dalam arti sosial. Yang dibutuhkan di sini adalah nilai kebersamaan, dan bukan nilai uang. Uang memang tetap dikumpulkan akan tetapi tidak bersifat paksaan, melainkan hanya seiklasnya saja dan sejauh ia mampu (Dami 1999: 50).

Jadi aktivitas Hae reba dalam budaya Manggarai betul-betul didasari atas ikatan moral yang dipenuhi oleh rasa kekeluargaan dan kemanusiaan. Sehingga benar yang dikatakan bahwa makna hubungan kekerabatan bagi orang Manggarai memiliki cakupan yang sangat luas yang tidak berdasarkan pada pertalian darah maupun hubungan perkawinan, melainkan atas dasar kedekatan relasi sosial seperti: kedekatan tempat tinggal, kedekatan dalam komunikasi pribadi dan semangat nilai kemanusiaan (Nggoro 2016:72). Hal ini merupakan nilai tambah bagi orang Manggarai dalam kasana kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara. Karena hal inilah yang diajarkan oleh Negara itu sendiri. Sehingga segala macam aktivitas kebudayaan mereka disatukan dalam satu visi, misi, persepsi serta perasaan senasip dan sepenanggungan dalam kehidupan itu sendiri (Nggoro 2016:72).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Nggoro, M. Adi. 2016. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah.

    Toda, N. Dami. 1999. Manggarai mencari pencerahan historiografi. Ende: Nusa Indah.

    Riyanto, Armada, dkk. 2015. Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    WOENELU (BAHASA MANGGARAI: KELUARGA KERABAT YANG TERBENTUK ATAS DASAR PERKAWINAN)  LA’AT ANAK WINA (BAHASA MANGGARAI: HAL MENGUNJUNGI KELUARGA KERABAT PENERIMA ISTRI/SAUDARI)  PA’ANG NGAUNG (BAHASA MANGGARAI: HUBUNGAN KELUARGA YANG TERBENTUK ATAS DASAR HIDUP BERSAMA DALAM SATU KAMPUNG) 

    Oleh :
    Fedrianus Ghela ()