PA’ANG NGAUNG (BAHASA MANGGARAI: HUBUNGAN KELUARGA YANG TERBENTUK ATAS DASAR HIDUP BERSAMA DALAM SATU KAMPUNG)
Ungkapan ini merupakan cetusan yang disampaikan oleh nenek moyang orang suku Manggarai dalam rangka membentuk suatu hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dalam sebuah kampung (Nggoro 2016:70).
Di wilayah NTT, tepatnya di ujung barat pulau flores terdapat sebuah suku yang bernama suku Manggarai (Riyanto, dkk 2015:85). Dalam suku Manggarai terdapat sebuah ungkapan yang disebut pa’ang ngaung. Pa’ang ngaung adalah suatu sistem kekeluargaan atau kekerabatan yang terbentuk atas dasar kehidupan bersama dalam suatu kampung (Nggoro 2016:70). Perlu diketahui struktur kampung di wilayah Manggarai berbentuk bundar. Struktur yang seperti ini melambangkan sebuah kehidupan yang dilandasi nilai kebersamaan yang kokoh, erat, kuat dan juga takkan pernah berkesudahan. Masyarakat yang mendiami kampung tersebut terdiri dari berbagai latar belakang keturunan nenek moyang yang berbeda serta asal usul daerah yang berbeda pula, hanya saja mereka sama-sama tinggal pada tempat yang sama.
Secara geneologis mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan, akan tetapi berdasarkan tempat tinggal tersebut maka mereka membentuk sebuah sistem yang disebut pa’ang ngaung. Sistem pa’ang ngaung ini lama-kelamaan menjadi sebuah budaya atau tradisi yang terus dihidupi oleh nenek moyang orang Manggarai. Sebabnya budaya ini dilihat baik untuk terus dihidupi karena bersifat mengayomi atau merangkul semua orang yang berasal dari berbagai tempat.
Sebagai masyarakat yang tinggal bersama dalam sebuah kampung maka segala macam suka-duka, canda-tawa selalu dilalui secara bersama-sama. Mereka pun menganggap semua orang yang hidup berdampingan dengan mereka sebagai satu keluarga, meskipun secara geneologis tidak memiliki hubungan darah sama sekali.
Budaya pa’ang ngaung ini dihidupi oleh semua warga kampung yang berada di wilayah Manggarai. Sebab itu kehidupan mereka pun selalu diwarnai dengan rasa kekeluargaan, persahabatan, serta rasa hormat yang tinggi terhadap sesama mereka. Dalam kampung itu mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut tua golo (bahasa Manggarai: pemimpin dalam kampung yang berfungsi untuk memimpin sidang serta kegiatan lain dalam kampung tersebut yang berkaitan dengan kehidupan bersama, seperti halnya membuat pagar di sekeliling kampung dll). Dalam hal ini tua golo mempunyai peranan yang penting, agar segala macam urusan yang berkaitan dengan kehidupan bersama dapat berjalan dengan lancar (Nggoro 2006:78).
Kata pa’ang itu sendiri berarti pintu gerbang kampung, sedangkan ngaung berarti kolong rumah/belakang kampung. Jikalau diterjemahkan secara metafor artinya adalah hubungan kekeluargaan/kekerabatan yang terbentuk atas dasar hidup bersama dalam suatu kampung (Nggoro 2016:70). Kata tua berarti ketua, pemimpin, kepala; kata golo berarti bukit, gunung, keris, jikalau diterjemahkan secara metafor kata tersebut berarti kepala kampung (Nggoro 2016:78). Memang arti yang dikemukakan di atas terlihat lucu dan aneh, namun itulah arti yang tersembunyi di balik arti yang sesungguhnya. Sebab itu untuk mengerti arti kata-kata di atas pertama-tama harus diterjemahkan secara metafor, sehingga makna dan isinya pun dapat dipahami dengan baik dan benar oleh kita sebagai pembaca yang mencoba untuk mengerti kebudayaan suku Manggarai.
Budaya pa’ang ngaung menjadi salah satu budaya yang sifatnya merangkul atau mengayomi semua orang yang berasal dari latar belakang nenek moyang yang berbeda serta dari daerah yang berbeda pula. Tradisi pa’ang ngaung tentunya masih dihidupi oleh masyarakat Manggarai sampai dengan saat ini. sebabnya budaya ini sangat membantu mereka untuk bersikap toleransi terhadap sesama, baik dalam hal keagamaan maupun sosial masyarakat.
Ditinjau dari sudut pandang filosofis budaya pa’ang ngaung merupakan budaya yang sungguh-sungguh memberi makna yang cukup bermanfaat bagi semua orang, sebabnya budaya ini lebih mengedepankan kehidupan bersama. Kehidupan bersama yang mereka bangun ini tidak didasari atas garis keturunan darah melainkan atas dasar kesadaran mereka sebagai makhluk yang selalu hidup bersama dengan yang lain, meskipun perlu diakui bahwa mereka sendiri belum menyadari tentang apa yang mereka lakukan itu merupakan sebuah cita-cita yang selalu diimpikan dalam kehidupan bersama.
Di sisi lain kita melihat bahwa budaya pa’ang ngaung memiliki sifat yang cukup khas, kekhasannya terletak pada tindakan yang bersifat mengayomi dan merangkul semua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka berusaha menyatukan semua warga kampung menjadi satu keluarga yang harmonis dan solit, walaupun keluarga tersebut bukan satu keturunan darah. Sikap hidup orang Manggarai yang seperti ini jikalau ditinjau lebih jauh sebenarnaya mereka sedang menghidupi etika komunitarian itu sendiri. Di mana mereka melihat orang yang berada di sekitar mereka sebagai subyek yang sama dengan diri mereka sendiri dan bukan sebagai obyek yang bisa diperlakukan secara bebas.
Pada dasarnya memang kehidupan orang Manggarai sangat menekankan nilai kehidupan bersama, sehingga tidak lagi dilihat sebagai hal yang baru dan mustahil bagi orang Manggarai ketika berbicara soal kehidupan bersama atau pa’ang ngaung dalam sebuah kampung karena itu sudah menjadi kekhasan mereka. Mereka memiliki begitu banyak kebudayaan atau kebiasaan yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam ungkapan yang mereka lakukan.
Dari struktur kampung yang berbentuk bundar sebenarnya dapat membantu orang untuk lebih mudah mengerti tentang latar belakang kehidupan orang Manggarai yang selalu hidup bersama. Dan kebersamaan itu tidak hanya sekedar berkumpul bersama-sama tetapi lebih dari pada itu, yaitu mereka betul-betul hidup dalam persaudaraan dan persahabatan yang begitu erat dan kuat.
Dari persaudaraan dan persahabatan itu maka mereka membentuk berbagai macam organisisi yang juga berfungsi untuk membantu dan meringankan beban orang lain, di antaranya adalah kebiasaan seperti halnya acara kumpul kope (pengumpulan dana untuk anak muda yang akan meminang seorang gadis pujaan hatinya), wuat wai (pengumpulan dana untuk seorang anak yang akan pergi melanjudkan studinya ke tingkat perguruan tinggi/kuliah), dan masih ada banyak aktivitas kebudayaan lainnya yang belum sempat disebutkan tetapi berkaitan dengan kehidupan bersama dan hal itu sudah dihidupi oleh orang Manggarai pada umumnya. Sebab itu kebiasaan yang seperti ini bagi saya merupakan sebuah kebisaan yang cukup baik yang dapat membantu orang lain untuk meringankan beban serta merasa bahwa kehadirannya di dunia ini berguna bagi sesama dan bagi dunia. Jadi hal yang mau disampaikan di sini adalah nilai kebersamaan yang didasari oleh rasa persaudaraan dan kemanusiaan. Nilai kebersamaan ini tidak akan pernah berhenti melainkan akan selalu dihidupi.
Bibliografi
Nggoro, M. Adi. 2016. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah.
Riyanto, Armada, dkk. 2015. Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius.
Lihat Juga
Fedrianus Ghela ()