
Tradisi Nutul dan Nyubon (Bahasa Dayak Abai: hal “menghargai alam”)
Nutul dan Nyubon adalah ungkapan yang menjadi cetusan perwakilan atas proses menanam benih padi di ladang gunung. Nutul ( Bahasa Dayak Abai: hal seseorang yang “membuat lubang untuk benih padi” pertama kali menggunakan tugal). Ketika seseorang dipilih menjadi seorang pe-nutul, bersamaan dengan itu, juga dipilih lagi seorang yang disebut sebagai pe-nyubon. Nyubon adalah seorang perempuan yang ditunjuk atau terbiasa melakukan nyubon (Bahasa Dayak Abai: seseorang yang mengisi lubang tugal/ lubang tempat benih pertama kali). Nutul dan Nyubon adalah tradisi yang mengungkapkan rasa hormat terhadap benih padi dan tanah. Paus Fransiskus mengatakan hal yang sama dalam menghormati keindahan alam, namun tidak menggantikan posisi Allah. Ensiklik Laudato Si, khususnya bagian Kabar Baik Penciptaan membicarakan secara luas akan misteri alam semesta; keindahannya harus mengantar kita pada Allah yang harus disembah (bdk. Fransiskus 2016: 57). Ritual ini juga dipercaya memberikan rasa nyaman ketika mulai hingga selesai menanam padi.
Di suatu wilayah Provinsi Kalimantan Utara tepatnya di kota Malinau, terdapat suatu desa yang berjarak 80 km dari pusat kota. Desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor, mobil dan juga ketinting (=kendaraan sungai). Desa ini terletak di pinggiran sungai malinau yang membentang luas dan panjang hingga ke kota Malinau. Diapit oleh beberapa bukit yang dipenuhi dengan pepohonan (bdk, Alfais 2008: 13); desa ini ditempati oleh suku Dayak Abai sejak dahulu kala. Desa ini disebut Desa Sentaban yang telah lama menjadi tempat keberlangsungan hidup suku Dayak Abai. Suku Dayak Abai adalah salah satu suku tertua yang keberadaannya hampir punah ditelan oleh zaman. Suku ini memiliki tradisi yang membentuk hidup mereka hingga sekarang; salah satunya warisan budaya tersebut adalah Nutul dan Nyubon. Namun seperti apa ritual ini dilakukan? Apa makna yang dapat kita peroleh dari tradisi yang berasal dari Dayak Abai ini?
Desa sentaban adalah desa yang dihuni oleh masyarakat dayak, yaitu Dayak Abai. Kehidupan mereka sejak jaman dahulu hingga sekarang sangat akrab dengan alam. Salah satu tradisi yang muncul dari relasi dengan alam adalah ritual Nutul dan Nyubon. Ritual ini biasanya dilakukan ketika ladang gunung salah satu masyarakat di desa ini sudah waktunya ditanam benih padi. Namun jika menbandingkannya dengan kebiasaan orang Dayak Jalai, sangat jauh berbeda dan lengkap. Perbedaan yang sangat mencolok adalah adanya lingkaran kegiatan berladang atau kalender berladang yang dilakukan ribuan tahun lalu hingga sekarang (bdk. Bamba 2003: 34). Desa Sentaban memiliki ritual yang menandakan bentuk hidup gotong royong; saling membantu satu sama lain; khususnya ketika mulai membuat ladang. Tradisi ini biasanya hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu, yaitu sekitar bulan Juni-Juli, mengapa? Karena pada bulan ini tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, tidak terganggu oleh burung-burung, hama, dan akan menghasilkan padi atau tanaman yang memuaskan. Tentu saja hal ini berdasarkan pengalaman berladang yang dilakukan sejak dahulu (bdk. Kunjan 2005: 102). Nutul dan Nyubon ini hanya dilakukan oleh dua orang yang terbiasa melakukan ritual ini sejak dulu.
Proses nutul dan nyubon dilakukan ketika lahan telah dibersihkan dari dahan/ranting-ranting pohon. Dua orang yang dipilih sebagai pe-nutul dan pe-nyubon memasuki lahan yang hendak ditanam lebih dahulu. Seorang laki-laki yang dipilih sebagai pe-nutul, ketika menugal atau membuat lubang tempat benih padi pertama kalinya, ia sekaligus berbicara kepada tanah yang akan ditanam. Intinya memohon agar proses menanam benih berjalan lancar, dapat diselesaikan sesuai perkiraan bibit padi yang akan ditanam; serta memberikan kekuatan kepada mereka yang menanam. Sedangkan seorang perempuan yang ditunjuk sebagai pe-nyubon, juga berbicara kepada benih padi dan tanah yang hendak ditanam. Permohonan yang diungkapkan intinya sama. Namun permohonan agar benih yang disiapkan mencukupi lahan ladang tersebut, adalah permohonan khusus, mengapa? Karena bisa saja terjadi kekurangan benih atau seribit (bahasa Dayak Abai: hal “benih padi yang telah disiapkan dengan sendirinya berkurang”).
Seribit dapat terjadi jika seorang yang menjadi pe-nyubon tidak melakukannya dengan sungguh. Maka dari itu pada bagian awal dikatakan, dua orang yang dipilih sebagai pe-nutul dan pe-nyubon haruslah orang-orang yang terbiasa melakukannya sejak dahulu; jika tidak, kerugian dalam proses berladang dapat saja terjadi. Setelah kedua orang tersebut selesai melakukan ritual, barulah kemudian setiap orang yang ikut dalam proses menanam ini menggabungkan diri dengan mereka. Proses menanam benih padi ini biasanya diikuti oleh kumpulan masyarakat yang telah melakukan tradisi temuyun (Bahasa Dayak Abai: hal “bekerja sama”). Mereka telah menjalin kerja sama mulai dari awal proses berladang sawah dan gunung. Tradisi menanam benih padi di ladang gunung ini terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok laki-laki bertugas sebagai pe-nutul; sedangkan perempuan bertugas sebagai pe-nyubon.
Kegiatan menanam ini biasanya dilakukan mulai dari pagi sekitar jam 08.00 WITA sampai dengan jam 12.00 WITA. Namun dapat juga tergantung dari luasnya lahan ladang yang hendak ditanam. Tugal adalah tongkat kayu yang digunakan untuk membuat lobang benih padi; benda inilah yang diperlukan dalam ritual ini. Para perempuan menggunakan saging (Bahasa Dayak Abai: yaitu tempat atau wadah untuk benih padi), biasanya diikat dipinggang. Ritual ini pada umumnya dapat diikuti semua umur. Sekiranya inilah proses penanaman ladang gunung yang ditemani oleh ritual nutul dan nyubon.
Terminologi kearifan lokal nutul dan nyubon yang berasal dari suku Dayak Abai, memberikan makna yang erat dengan corak hidup pada zaman ini. Melalui ritual ini, kita dipertontonkan fenomena hidup yang saling menghargai, membutuhkan sesama, bekerja sama dan tidak membedakan jenis kelamin dalam bekerja. Seorang filsuf protagonis mengatakan bahwa “manusia adalah ada-belum-penuh” (Riyanto 2011: 18). Artinya, kodrat manusia itu relasional, saling melengkapi. Bahkan dalam ritual nutul dan nyubon ini kita perlihatkan sikap yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin; laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama, saling melengkapi. Dewasa ini, martabat perempuan selalu dipandang sebelah mata. Ada banyak tokoh yang membicarakannya secara luas. Namun melalui ritual ini, harkat seorang perempuan diangkat.
Hal yang sama dikatakan Simone de Beauvoir; ia berkata, “perempuan tidak hanya jadi penonton, namun terlibat dan ikut serta dalam penentuan kebijakan, dalam pekerjaan dan masyarakat” (lih. Riyanto 2011: 110). Cetusan Beauvoir ini juga bersuara melalui tradisi nutul dan nyubon. Kebersamaan yang terjadi dalam tradisi ini mengajak kita untuk tidak lagi bekerja berdasarkan status. Artinya sebagai seorang laki-laki, merasa memiliki kekuatan, kerjaannya suka main kuasa terhadap perempuan. Tradisi ini menjadi jembatan pemikiran dan permenungan bagi kaum adam, agar tidak membeda-bedakan dan beranggapan bahwa perempuan, adalah orang yang hanya berada di balik layar; mereka juga memiliki panggung yang harus diisi. Yaitu kebersamaan dalam hidup bermasyarakat. Penghormatan suku Dayak Abai pada alam adalah hal harus disegarkan lagi. Ensiklik Laudato Si menyuarakan hal yang sama, khususnya ekologi budaya. Artinya, jika ada proyek-proyek besar yang masuk dalam lingkungan mereka, hendaknya masyarakat asli menjadi mitra dialog dan bukan minoritas (bdk. Fransiskus 2016: 112). Hal ini dilakukan agar mereka berani bersuara mempertahankan budaya mereka.
Lihat Juga
Tradisi Menangan (Bahasa Dayak Abai: hal “Bekerja sama”) | Permainan Arang dan Usag Bakul (Bahasa dayak Abai: hal “Kebersamaan”) | Permainan Abui (Bahasa Dayak Abai: hal “menghargai padi”) |
Martinus ()