Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Permainan Arang dan Usag Bakul (Bahasa dayak Abai: hal “Kebersamaan”)


Permainan arang dan Usag Bakul adalah tradisi yang biasanya dilakukan ketika terjadi peristiwa kematian. Permainan arang (yaitu arang hitam sisa dari kayu bakar yang diolesi diwajah); dan juga Permainan Usag Bakul (Bahasa Dayak Abai: hal “Menggendong bakul”) adalah ungkapan yang merupakan cetusan hidup bersama. Melalui permainan inilah nilai baik berfondasi dari dan pada hidup bersama. Etika komunitarian dalam dirinya memiliki cetusan, bahwa nilai baik fondasinya adalah hidup bersama.

Di wilayah bumi borneo bagian Utara, yaitu Provinsi Kalimantan Utara, terdapat suatu wilayah yang menyimpan nilai hidup bersama yang telah ada sejak dahulu; daerah tersebut adalah desa Sentaban, Kecamatan Malinau Barat, Kabupaten Malinau. Desa Sentaban berjarak 80 km dari pusat Kota Malinau dan dapat ditempuh dengan kendaraan darat (sepeda motor dan mobil) dan juga kendaraan air (Ketinting, Speed boat). Desa ini terletak di sekitar pinggiran Sungai Malinau yang membentang luas dan panjang. Diapit oleh beberapa bukit yang dipenuhi dengan pepohonan (bdk, Alfais 2008: 13). Pada zaman dulu Orang Dayak Abai memang terbiasa hidup di pinggir sungai, mengapa? Karena sungai menjadi sumber hidup sehari-hari seperti mandi, mencuci, sarana transportasi dan juga tempat untuk mencari lauk; misalnya ikan (bdk. Asyarie 1985: 6). Masyarakat Dayak Abai dalam hidup sehari-hari ternyata memiliki suatu tradisi yang unik, yaitu permainan Arang dan Usag Bakul. Permainan yang biasa dilakukan saat kematian. Tujuannya untuk menghibur keluarga yang sedang berduka. Mari kita lihat lebih dalam lagi proses permainan dilakukan.

Peristiwa kematian biasanya mengundang orang banyak untuk hadir di tengah keluarga yang berduka. Masyarakat Dayak Abai biasanya ikut berjaga bersama dengan keluarga yang tengah berduka. Tradisi ini mirip dengan tradisi upacara adat kematian suku Dayak Tonyooi dan Benuaq (bdk. Lahajir 2007: 79). Mereka ikut duduk di sekitar jenazah tersebut mulai dari malam hingga esok pagi. Orang Dayak Abai memiliki permainan yang fungsinya membantu masyarakat tetap berjaga dan tidak tertidur, yaitu permainan arang. Permainan arang dilakukan selama jenazah masih berada di rumah duka/keluarganya. Berbeda dengan suku Dayak Jalai yang memiliki cara yang berbeda dengan Dayak Abai; mereka memiliki urutan adat istiadat kematian mulai dari sebelum memasukkan mayat ke dalam peti, sampai pada penguburan (bdk. Bamba 2003: 135).

Ritual atas peristiwa kematian yang sangat rinci, juga ditampilkan suku Dayak Ketungau Sesaek. Misalnya saja soal perbedaan tempat orang yang telah meninggal. Ritual yang dilakukan adalah sesuai dengan tempat orang tersebut meninggal (bdk. Kunjan 2005: 73). Mengolesi arang kewajah orang-orang yang tertidur ini maksudnya agar semua orang yang berada di tempat itu tetap berjaga bersama keluarga. Namun ketika ada yang tertidur, orang lain yang melihatnya akan mengolesi wajahnya dengan arang, dan hal tersebut akan menimbulkan tawa/hiburan, karena orang yang tertidur itu tidak menyadari hal yang dilakukan terhadapnya. Berbeda dengan Suku Dayak Tonyooi dan Benuaq yang semalam suntuk melakukan upacara Encooi dan Kelelungaan; (bdk. Lahajir 2007: 82). Jadi permainan ini selain membantu setiap orang untuk terus berjaga, juga memberikan hiburan pada keluarga yang tengah berduka.

Permainan Usag Bakul juga memiliki intensi yang sama yaitu menghibur keluarga yang tengah berduka. Bakul (Bahasa Dayak Abai: alat untuk mengangkut barang-barang dari ladang atau kebun). Bentuknya seperti Tas Ransel, terbuat dari rotan atau daun nipah muda (bdk. Sitanggang 1983: 44). Usag Bakul (Bahasa dayak Abai: menggendong bakul) yang dilakukan ketika jenazah telah dimakamkan. Permainan ini dapat diikuti oleh segala umur dan jenis kelamin; biasanya dilakukan setelah selesai doa atau ibadat sesuai agama orang yang meninggal. Permainan ini dimulai dengan meletakkan bakulyang di dalamnya diberi sebatang kayu bakar; dan diletakkan di tengah-tengah orang banyak. Setiap orang yang ingin mengikuti, harus membentuk lingkaran yang menggelilingi bakul; tidak ada jarak satu dengan yang lain, semuanya duduk saling berdekatan. Satu orang yang telah ditunjuk berada di tengah sambil berusaha mencari tempat duduk diantara orang banyak. Ia mencari tempat untuk duduk dengan cara diiringi oleh nyanyian.Suku Dayak Tunjung memiliki tiga upacara setelah pemakaman jenazah, salah satunya adalah Upacara Kenyau.

Upacara ini dilakukan tujuh hari setelah pemakaman, yang isinya adalah tari-tarian (bdk. Yunus 1983: 58). Ketika nyanyian tersebut selesai, orang yang berada di tengah tersebut mendatangi satu orang yang berada di lingkaran dengan menanyakan sebuah nama. Orang yang sedang duduk harus segera menyebut nama orang lain yang berada di lingkaran. Maka Orang yang berdiri tersebut langsung mencari orang yang disebut dan mendatanginya; hal yang sama dilakukan orang yang namanya disebut. Konsekuensinya jika nama yang disebut tidak terlibat, maka ia menggantikan posisi orang yang sedang berdiri di tengah lingkaran tersebut, dan menyerahkan tempat duduknya kepadanya. Permainan Usag Bakul ini tidak sekedar menghibur, tetapi juga sekaligus mengenangkan seseorang yang telah meninggal. Berbeda dengan suku Dayak Bahau yang melakukan pengusiran hantu, sehari setelah selesai pemakaman; tradisi ini disebut “Mugaaq Toq” (bdk. Yunus 1983: 83). Zaman dulu, ketika pulang dari ladang, mereka biasanya menggendong bakul yang di dalamnya terdapat kayu bakar; digunakan untuk membuat api dan memasak. Maka dari itu dikatakan, bahwa permainan ini tidak hanya menghibur keluarga yang telah meninggal, tetapi juga mengenangkan model hidup orang Dayak Abai zaman dahulu.

Permainan arang dan usag bakul ini masih terus dilestarikan hingga hari ini di desa Sentaban. Tradisi yang didalamnya terdapat permainan arang dan usag bakul ini dapat menjadi layar untuk kembali menonton kisah hidup dari seorang yang telah meninggal. Walaupun kehadirannya secara kasat mata tidak dapat terjadi, tetapi kenangan akan hidupnya di dunia ini bersama dengan keluarga dan masyarakat sekitar dapat membantu setiap orang yang ditinggalkan merasa tersentuh. Merasakan kehadirannya kembali dalam kenangan dan hati. Permainan ini adalah dapat diibaratkan sebagai jembatan permenungan bagi orang-orang Suku Dayak Abai, dalam menghargai pribadi yang telah meninggal.

Panorama permainan yang menjadi bagian Tradisi ritual Kematian dari Suku Dayak Abai ini, memberikan nilai-nilai etis hidup manusia. Fenomena permainan ini tidak berhenti pada tradisi Dayak Abai, tetapi menyebar luas; memberikan sinyal kesadaran kepada kita tentang memaknai arti dari hidup. Permainan ini mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah “urip mampir ngombe (bdk. Riyanto 2011: 22).” Artinya hidup ini memiliki tujuannya. Dimanakah tujuannya? Tujuan sesungguhnya dalam perjalanan hidup manusia di dunia ini adalah sebuah perjuangan; hidup yang rasanya biasa-biasa saja. Tetapi jika dirasakan secara mendalam, setiap hari manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Sama halnya dengan makna dari permainan ini yang intinya menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mengenangkan kembali orang yang telah meninggal. Tradisi ini juga berbicara kepada kita, agar tetap memberi bahkan mencari makna dari setiap peristiwa hidup kita setiap hari. Mengapa? Karena hidup di dunia ini adalah lahan peziarahan; orientasinya masih menuju ke...Maka dari itu kita diajak untuk terus bergerak ketujuan sesungguhnya yaitu Allah, seperti cetusan dari St. Bonaventura (bdk. Riyanto 2011: 24).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Bamba, John, 2003. DAYAK JALAI di Persimpangan Jalan, Pontianak: Institut Dayakologi.

    Kunjan, Blasius., dan FX. Pinson, 2005. Sejarah, Adat-istiadat dan Hukum Adat Dayak Ketungau Sesaek, Pontianak: Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK).

    Lahajir, Yuvenalis, M. Hum, Drs, 2007. STUDI TENTANG KEBERADAAN ADAT ISTIADAT DAN HUKUM ADAT SETEMPAT BERDASARKAN ETNIK BENUAQ DAN TONYOOI DALAM RANGKA SINGKRONISASI PELAKSANAANNYA DENGAN HUKUM NASIONAL, Kutai Barat: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Barat.

    Riyanto, Armada, et al, Prof. Dr. CM, 2011. AKU DAN LIYAN Kata Filsafat dan Sayap, Malang: Widya Sasana Publication.

    Sitanggang, Hildaria., dan Fadjria Novari Manan, DRA, DRA, 1983. ISI DAN KELENGKAPAN RUMAH TANGGA TRADISIONAL MENURUT TUJUAN, FUNGSI DAN KEGUNAANNYA DAERAH KALIMANTAN TIMUR,Samarinda: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

    Yunus, Ahmad, Drs, H, 1983. UPACARA TRADISIONAL (UPACARA KEMATIAN) DAERAH KALIMANTAN TIMUR, Samarinda: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


    Lihat Juga

    Tradisi Menangan (Bahasa Dayak Abai: hal “Bekerja sama”)  Tradisi Nutul dan Nyubon (Bahasa Dayak Abai: hal “menghargai alam”)  Permainan Abui (Bahasa Dayak Abai: hal “menghargai padi”) 

    Oleh :
    Martinus ()