Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

“Esem Mantri” (Bahasa Jawa: Senyuman Serang Ahli)


Esem mantri merupakan salah satu cara dari tiga jalan yang dapat dilakukan oleh orang Jawa untuk mengutarakan kritik selain dhupak bujang. Cara ini ada karena tidak semua orang Jawa berada dalam posisi sosial yang sama. Cara-cara ini dapat dilakukan berdasarkan posisi suatu pihak kepada pihak lain dengan ciri khas yang berbeda. Esem mantri secara harafiah dapat diartikan dengan senyuman seorang ahli. Esem dapat diartikan sebagai senyuman manis atau senyum sapaan. Dalam pengertian ini, yang dimaksudkan adalah suatu hal yang menyebabkan atensi seseorang kepada seseorang yang lain, kata-kata kritik yang menyapa atau menyadarkan. Sementara mantri diandaikan sebagai seorang ahli yang mengetahui degan benar ilmu dari profesinya. Tujuan cara kritik ini adalah supaya pihak yang sedang dikritisi mengerti secara langsung, menanggapi dan menyadari bahwa tindakannya masih memiliki beberapa kekurangan tanpa harus merasa tersinggung atau tersakiti.

Herusatoto (1987) menyatakan bahwa dalam kebudayaan Jawa terdapat beberapa macam penyampaian informasi atau ilmu pengetahuan diantaranya adalah bahasa tulisan, bahasa lambang, bahasa lisan dan bahasa simbol. Metode mengkritisi seperti esem mantri ini merupakan salah satu bahasa lisan yang sering digunakan masyarakat Jawa untuk menambah pemahaman subjek lawan bicara mengenai apa yang sedang dinyatakan oleh subjek pembicara. Namun syarat bahasa lisan adalah subjek pembicara juga mengiringi pembicaraan logis dengan kesesuaian mengenai apa yang dibicarakan. Inilah yang menjadi syarat penyampaian kritik esem mantri. Pihak pengkritik terlebih dahulu harus menyatakan kesantunan atau keramahannya (esem) sebelum mengutarakan kritik, namun salah satu syarat lainnya adalah bahwa kritik yang disampaikan harus jelas dan lugas. Berbeda dengan dhupak bujang yang baik muatan maupun cara penyampaiannya harus eras, esem mantri mengandaikan bahwa kritik tetap harus lugas walaupun disampaikan dengan cara yang santun.

Dalam praktek saat ini, hal tersebut nampak dalam usaha masyarakat ketika mengkritik atau menuntut pemerintah melalui petisi-petisi baik langsung maupun on line. Masyarakat terdidik tidak lagi senang dengan cara-cara jalanan yang harus beresiko tinggi namun belum tentu pesan dapat tersampaikan dengan baik. Riyanto (2014) mengemukakan wacana hidup masyarakat yang kian kompleks pada masa ini, salah satunya yang ditandai denganperubahan karakter pada sistem relasi. Pada masa lampau terutama di Jawa, kehidupan personal masih sangat kuat. Penyampaian pesan atau kritik hanya dapat disampaikan secara langsung oleh perwakilan satu pihak. Namun kian kemari, zaman membawa masyarakat Jawa kepada sistem relasi yang global dan virtual. Masyarakat kian mengenal walau terpisahkan jarak. Dalam hal penyampaian kritik, masyarakat dapat menyampaiakan kesatuan suaranya melaui petisi on line yang kreatif dan dapat diakui keabsahan muatannya oleh pemerintah. Hardiman (2009) menyatakan bahwa kritik dapat disampaikan secara dinamis dalam masyarakat yang demokratis dan terdidik dalam politik yang aspiratif. Oleh sebab itu, esem mantri merupakan salah satu metode kritik yang sesuai digunakan pada konteks zaman ini.

Lebih lanjut lagi, esem mantri menurut perwara.com mengandaikan penyampaian kritik yang lugas namun halus yang ditandai dengan gestur tubuh atau gerakan yang bermartabat. Gestur tubuh tentu saja hanya dapat dilakukan oleh perseorangan. Namun gerakan yang bermartabat dapat dilakukan oleh massa atau rakyat. Esem mantri dalam kisah pewayangan dapat ditemui dalam kehidupan Resi Bhisma. Resi Bhisma merupakan anak dari Prabu Sentanu, Raja Ngastina dan Dewi Gangga. Ia dikenal sebagai tokoh yang sabar dan diplomatik (Tondowidjojo, 2013). Ketika Bhisma dewasa, ayahnya menikah lagi dengan Dewi Durgandhini. Kisah percintaan baru ayah Resi Bhisma, ternyata menimbulkan suatu polemmik bagi kerajaan Ngastina. Dewi Durgandhini meminta supaya anak yang berasal dari kandungannyalah yang menjadi pewaris tahta Prabu Sentanu. Prabu Sentanu di tengah kegundahannya memohon kepada Bhisma agar dapat merelakan tahta dan kekuasaannya. Tentu saja Bhisma menyanggupi karena permohonan tersebut disampaikan oleh ayahnya sendiri, yang juga merupakan seorang raja Ngastina. Namun Bhisma memohon agar ia dapat memperoleh kesempatan mengajar adik-adiknya serta keturunan selanjutnya dari ayahandanya. Bhisma mengamini permohonan ayahnya dengan syarat tersebut, dan dengan kata lain ia tetap berkuasa, minimal dalam perihal pendidikan keturunan Prabu Sentanu. Dalam kisah ini, Bhisma yang akhirnya menjadi Resi memperlihatkan sifat kepiawaiannya (sifat kemantriannya) dalam hal pendidikan dan diplomatik sekaligus. Ia juga menyetujui permohonan ayahnya dengan senanng hati. Namun bukan berarti kekuasaannya dapat turunbegitu saja akibat permintaan dari Dewi Durgandhini. Dalam kisah ini, dapat kita simpulkan bahwa Bhisma telah melakukan praktek esem mantri.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Hardiman, F. Budi. Demokarsi Deliberatif. 2009. Kanisius. Yogyakarta.

    Herusatoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. 1987. Hanindita. Yogyakarta.

    Riyanto, E. Armada, Prof. Dr, CM. Berfilsafat Politik. 2014. Kanisius. Yogyakarta.

    Tondowidjojo, John, Prof. DR. KRMT, CM. Enneagram Dalam Wayang Purwa. 2003. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

    https://www.perwara.com/2017/05/20/1016/sasmita/. Ki Juru Bangun Jiwa. Diakses tanggal 20 Mei 2017.


    Lihat Juga

    “Kena Iwak e, Ora Buthek Banyune” (Bahasa Jawa: Ikan Didapatkan Tanpa Mengkeruhkan Air)  “Dhupak Bujang” (Bahasa Jawa: Tendangan Lelaki Muda)  “Semu Bupati” (Bahasa Jawa: Kesan dari Penguasa) 

    Oleh :
    Dika Sripandanari ()