Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

“Dhupak Bujang” (Bahasa Jawa: Tendangan Lelaki Muda)


Dhupak bujang merupakan salah satu cara dari tiga jalan yang dapat dilakukan oleh orang Jawa untuk mengutarakan kritik. Mengapa harus ada tiga jalan? Hal ini dikarenakan bahwa orang Jawa memiliki stata sosial. Tiga cara ini dapat dilakukan berdasarkan posisi sosial seseorang yang akan mengkritik kepada pihak yang akan dikritisi. Dhupak bujang secara harafiah memang dapat diartikan sebagai tendangan lelaki dewasa. Dhupak dapat diartikan sebagai tendangan keras di wajah. Dalam pengertian ini, yang dimaksudkan adalah suatu hal yang menyebabkan sakit, kata-kata yang nyelekit atau menyakitkan. Sementara bujang diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan kuat untuk melakukan sesuatu termasuk menendang. Apabila seorang pemuda menendang, atau dalam hal ini seseorang telah mengkritik, maka tendangan (atau kritik) tersampaikan dengan keras. Tujuan cara kritik dhupak bujang adalah supaya pihak yang sedang dikritisi mengerti secara langsung, menanggapi dan menyadari bahwa tindakannya masih memiliki beberapa kekurangan dengan cara yang keras. Kesan yang akan disampaikan dalam metode kritik ini merupakan kritik yang pedas atau lugas. Dhupak bujang adalah salah satu bentuk metafora bahasa yang merupakan sebuah kreasi instan, inovasi sematik yang tidak memiliki status dalam bahasa baku yang eksis karena predikat yang sebenarnya tidak terpakai (Ricoeur, 2014). Dalam hal ini baik arti kata tendangan maupun lelaki muda sebenarnya tidak berguna dalam arti harafiah melainkan hanya sebagai media penggambaran semata.

Dhupak bujang merupakan kritik yang diutarakan oleh masyarakat kelas bawah kepada sesamanya. Hal ini diandaikan bahwa masyarakat biasa dapat sukar menerima kritik karena belum memeroleh pendidikan yang tinggi. Selain itu, etika ini bukan merupakan etika yang luhur karena sebisa mungkin disampaikan dengan keras dan lantang. Dhupak bujang merupakan suatu etika perilaku yang seringkali disebut juga dengan tata krama. Menurut Suseno (1984), tata krama adalah praktek sehari-hari orang Jawa yangmewujudkan kelakuan sosialnya menurut aturan-aturan kesopanan. Permasalahannya, pada masa lampau orang Jawa menata tata krama berdasarkan tatanan hierarkis masyarakat. Terdapat tingkatan-tingkatan masyarakat yang kurang seimbang. Tingkatan paling bawah belum tentu mendapat kesempatan untuk bersentuhan dengan masyarakat yang paling atas. Masyarakat biasa tidak mungkin mendapat kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan raja.

Contoh Dhupak bujang dalam kehidupan saat ini adalah demonstrasi. Demonstrasi menyuarakan pendapat dengan turun ke jalan, menyaakan keberatan dengan berbagai perangkat aksi, bahkan terkadang terjadi bentrokan antara pihak demonstran dan penjaga keamanan. Pada hakikatnya, dalam tradisi Jawa masyarakat biasa tidak boleh melakukan kritik terhadap pemerintah atau penguasa. Mereka dianggap tidak memiliki keahlian dalam hal yang dikelola oleh para penguasa. Pemahaman ini terjadi karena etika Dhupak bujang lahir pada masa kerajaan-kerajaan Jawa. Sistem feodalisme cenderung membuat penguasa tidak mau mendengarkan kritik dari rakyatnya.

Demonstrasi pada saat ini justru mengandaikan bahwa masyarakat daan pemerintah berada dalam kelas yang sama, yaitu sama-sama rakyat dari sebuah negara. Dalam hal ini, baik masyarakat biasa maupun pemerintah berada dalam posisi yang sama, mengingat bawa Indonesia dalam konteks hari ini telah menganut sistem demokrasi kerakyatan. Arendt dalam Hardiman (2009) menyatakan bahwa eksistensi kekuasaan yang sesungguhnya bergantung kepada kehendak kolektif yang kurang lebih bersifat spontan dan terbentuk melalui praksis komunikasi yang baik. Demikian pula Riyanto (2000) menyatakan bahwa hakekat nilai suatu tindakan manusia dibangun dan dipondasikan pada relasi komuniter atau relasi kehadiran dengan yang lain. Oleh karena itu Dhupak bujang saat ini sering kali dilakukan alam proses protes oleh masyarakat, karena baik pemerintah atau masyarakat yang sama pada saat ini berada dalam satu titik kesadaran yang sama dalam kelas sosial.

Namun hal ini juga menghasilkan sebuah implikasi tersendiri. Dengan dilaksanakannya Dhupak bujang atau pencapaian kritik secara langsung dengan cara yang ‘menendang’, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah bukan merupakan bagian dari masyarakat yang cerdas. Dapat disimpulkan demikian karena pemerintah yang cerdas tidak akan didemo oleh masyarakatnya. Menurut Hardiman (2009) kekuasaan yang demikian merupakan kekuasaan yang mengacu hanya pada dirinya sendiri, bukan kepada rakyat. Tanpa demonstrasi seharusnya pemerintah telah mengetahui keluh kesah dan kritik dari masyarakat melalui cara yang lebih bermartabat.

Dalam pewayangan Jawa, Dhupak bujang tengah diceritakan melalui kisah Jambumangli (Tondowidjojo, 2013). Jambumangli merupakan senapati maha kuat dari negara Alengka yang berupa raksasa. Ia jatuh cinta kepada sepupunya sendiri yang bernama Dewi Sukesi, semenara Sdewi Sukesi telah dilamar oleh Begawan Wisrawa bagi anaknya. Karena ketidaksepakatannya atas peminangan Dewi Sukesi, Jambumangi menentang keras perlakuan Begawan Wisrawa dan mengajaknya bertanding. Namun Jambumangli lupa bahwa Begawan Wisrawa erupaka sosok yang sangat sakti. Oleh sebab itu, kritik keras Jambumangli berakhir dengan kematiannya melawan sang Begawan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif. 2009. Kanisius. Yogyakarta.

    Ricoeur, Paul. Teori Interpretasi: Membelah Makna dalam Anatomi Teks. 2014. IRCuSoD. Yogyakarta.

    Riyanto, FX. Armada, Dr, CM. Etika: Catatan Kuliah. 2000. STFT Widya Sasana. Malang

    Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. 1984. Gramedia Pustaka. Jakarta.

    Tondowidjojo, John, Prof. DR. KRMT, CM. Enneagram Dalam Wayang Purwa. 2003. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


    Lihat Juga

    “Kena Iwak e, Ora Buthek Banyune” (Bahasa Jawa: Ikan Didapatkan Tanpa Mengkeruhkan Air)  “Esem Mantri” (Bahasa Jawa: Senyuman Serang Ahli)  “Semu Bupati” (Bahasa Jawa: Kesan dari Penguasa) 

    Oleh :
    Dika Sripandanari ()