Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

“Kena Iwak e, Ora Buthek Banyune” (Bahasa Jawa: Ikan Didapatkan Tanpa Mengkeruhkan Air)


Kena iwak e, ora buthek banyune dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai mendapatkan ikan tanpa harus mengkeruhkan airnya. Kata-kata ini memang dapat dimengerti secara harafiah dalam gambaran orang yang sedang memancing ikan di air yang dangkal. Namun frase ini juga digunakan sebagai salah satu pakem atau nilai bagi orang Jawa dalam melaksanakan suatu hal. Frasa ini merupakan salah satu bentuk tata etika dalam Tradisi Jawa terutama pada saat seseorang harus menyelesaikan tanggung jawabnya. Herusatoto (1987) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis isyarat dalam tradisi Jawa berdasarkan subjek yang membuat tanda dan subjek yang menerima tanda. Dalam prosesnya isyarat diberitahukan kepada objek (atau subjek aktif) dalam usaha agar subjek kedua diuntun untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh subjek pertama.

Diibaratkan memancing ikan tanpa memperkeruh airnya, untuk melakukan sesuatu secara sempurna seseorang dapat mendapatkan hasil maksimal tanpa harus merusak suasana atau kondisi. Ikan diibaratkan sebagai tujuan dan hasil pencapaian yang dapat ditangkap (Jawa: kena). Selanjutnya kondisi diperibahasakan sebagai banyu (Indonesia: air) yang merupakan lingkungan atau situasi. Air dapat dinyatakan sebagai sirkumstansi suatu hal, baik itu lingukungan maupun kondisi. Oleh karena itu, kondisi yang terbaik bagi orang Jawa adalah ketika seseorang menyelesaikan permasalahan dengan membuat banyu tersebut tidak (Jawa: ora) keruh (Jawa: buthek). Hal ini sesuai dengan pernyataan Riyanto (2014) mengenai bahasa sebagai alat propaganda. Menurut Riyanto, ketika diskursus dikerjakan, bahasa tidak hanya menjadi cetusan logika melainkan juga menghadirkan realitas. Oleh karena itu masyarakat Jawa kerap kali membahasakan etika berperilaku mereka melalui peribahasa yang menyatakan suatu perilaku yang sesuai dengan perilaku lain yang dimaksudkan.

Melalui penjabaran sederhana tersebut dapat kita pahami bahwa dalam frase ini, kebudayaan Jawa memiliki etika tersendiri dalam hal pencapaian suatu tujuan. Frase kena iwak e, ora buthek banyune merupakan sistem etika yang menjadikan perilaku manusia sesuai dengan gambaran peribahasa karena secara nyata, hal tersebut berpengaruh positif dalam keseharian. Apabila gambaran saja sudah menampakan keunggulan dari suatu tindakan, maka orang Jawa menganggap bahwa tindakan lain yang lebih besar akan sama unggulnya jika dilaksanakan dengan cara yang serupa.

Menurut Suseno (2013), etika Jawa menganut keselarasan. Yang dimaksud adalah etika yang selaras dengan masyarakat, alam dan bahkan alam gaib. Oleh karena itu, etika yang dibuat oleh orang Jawa akan selalu mengambil gambaran hubungan manusia dengan alamnya. Masyarakat Jawa juga merupakan masyarakat maritim yang perikehidupannya dekat dengan kegiatan memancing. Oleh karena itu peribahasa etika yang berhubungan dengan alam paling sederhana dapat dilihat dari frasa kena iwak e, ora buthek banyune ini. Selain itu menurut Jenks (2013) manusia melakukan apa yang disebut dengan pandangan dunia (world vision). Pandangan dunia diartikan sebagai hipotesis kerja konseptual yang mutlak bagi adanya sebuah pemahaman tentang bagaimana individu-individu sungguh mengekspresikan ide mereka. Ide dari standart etika Jawa kali ini diambil dari keseharian orang Jawa yang sering memancing, baik di sungai, danau maupun lautan.

Dalam pewayangan yang diadaptasi dari epos Mahabarata, hal ini dicontohkan dalam kisah kebijaksanaan Yudhistira. Yudhistira merupakan raja Indraprasta yang sabar, ketika mengetahui bahwa pihak Kurawa ingin merebut kekuasaannya secara diam-diam, ia tidak mengusulkan untuk berperang, namun mengusulkan agar pihak Kurawa datang dan melihat ketentraman yang ada di Kerajaan milik Yudhistira. Pada hasilnya, Kurawa tidak jadi menginginkan Indraprasta. Bahkan ketika sampai di sana, pihak Kurawa mempermalukan dirinya sendiri dengan sikap takjubnya. Contoh ini menunjukkan bahwa Yudhistira telah melakukan suatu hal baik, yaitu menyelamatkan negara dari peperangan dengan cara yang halus dan tanpa memperkeruh suasana (Purwadi, 2015). Yudhistira mendapatkan ikan, atau dengan kata lain mendapatkan perdamaian melalui undangannya kepada Kurawa untuk datang ke Indraprasta. Ia sekaligus tidak memperkeruh suasana dengan mengambil jalan perang, dan dalam hal ini tidak memperkeruh suasana (mbuthek ke banyu).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Herusatoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. 1987. Hanindita. Yogyakarta.

    Jenks, Chris. Culture: Studi Kebudayaan. 2013. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

    Purwadi, Dr. M, Hum. Falsafah Militer Jawa: Praktek Militer ala Kerajaan-Kerajaan Jawa. 2015. Araska. Yogyakarta.

    Riyanto, E. Armada, Prof. Dr, CM. Berfilsafat Politik. 2014. Kanisius. Yogyakarta.

    Suseno, Franz Magnis. Makalah Kuliah Umum Etika Jawa. 2013. Komunitas Salihara: Jakarta.


    Lihat Juga

    “Dhupak Bujang” (Bahasa Jawa: Tendangan Lelaki Muda)  “Esem Mantri” (Bahasa Jawa: Senyuman Serang Ahli)  “Semu Bupati” (Bahasa Jawa: Kesan dari Penguasa) 

    Oleh :
    Dika Sripandanari ()