Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Nai ngalis tuka ngengga (Bahasa Manggarai: kebijaksanaan, hati yang terbuka)


Secara etimologis ungkapan Nai ngalis tuka ngengga terbentuk dari beberapa kata. Nai (hati, jiwa, roh, nafas); ngalis (tulus, bijaksana), tuka ngengga (perut lebar, bukan dalam arti fisik, melainkan lambang hati dan keluasan budi (Verheijen 1967:38). Jadi, ungkapan ini mau menunjukkan orang yang mempunyai jiwa besar dan keluasan budi, mempunyai pemikiran yang luas dan visioner.

Nai ngalis tuka ngengga adalah ungkapan kebijaksanaan orang manggarai. Ungkapan ini dipakai dalam konteks relasi orang manggarai dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan dalam kesempurnaannya adalah nai nai ngalis tuka ngengga sementara manusia mengambil bagian di dalanmya. Ungkapapan ini terjadi ketika orang mengalami suatu persoalan atau kesulitan yang menuntut dia untuk mengkomunikasikanya kepada orang lain. Artinya ada kesadaran bahwa seseorang tidak bisa menyelesaikan sendiri persoalannya. Ia senantiasa membutuhkan orang lain. Kesadaran inilah yang kemudian menyebabkan seseorang untuk terbuka membagi atau mengkomunikasikan apa yang dialaminya kepada orang lain. Sifatnya bisa perseorangan bisa dalam kelompok besar masyarakat. Orang yang menerima atau menangani persoalan itu adalah orang yang mempunyai nai ngalis tuka ngengga.

Dalam adat istiadat orang manggarai orang yang disebut nai ngalis tuka negengga adalah para tu’a adat (tu’a golo, tu’a teno, tu’a panga) atau orang yang dituakan karena mempunyai pendidikan yang tinggi atau memadai. Singkatnya mereka adalah orang bijaksana, orang yang mempunyai kebijaksanaan. Mereka terpandang bukan hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam praktik hidup (etis-moral). Mereka adalah orang yang patut diperhitungkan dan patut diteladani oleh semua anggota masyarakat. Dalam kaitan konteks seseorang atau masyarakat yang berada dalam suatu masalah, mereka-mereka inilah yang menjadi tujuan dan tempat pertama pelimpahannya. Mereka yang bisa menangani atau bahkan menyelesaikan persoalan itu. Namun, keputusan mereka terhadap suatu persoalan bukanlah doktrin tetapi suara kebijaksanaan. Kerena itulah mereka digelari nai ngalis tuka ngengga.

Dalam proses penyampain persoalan atau masalah terjadi relasi dan komunikasi timbal balik. Artinya, orang yang mempunyai masalah menyampaikan persoalannya dengan jujur dan terbuka, tanpa mempersalahkan atau memojokan yang lain karena sentimen atau dendam. Pada saat itu mereka juga dapat disebut sebagai orang yang mempunyai nai ngalis tuka ngengga. Di sini nai ngalis tuka ngengga adalah komposisi dari kesadaran, keterbukaan hati dan kejujuran.

Kesadaran memaksudkan suatu pengenalan akan kelemahan dan kerapuhan diri. Itu artinya seseorang membutuhkan yang lain dalam hidupnya. Artinya, seseorang mempunyai kesadaran untuk meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan persoalannya. Pengandaiannya bahwa orang itu mempunyai keterbukaan hati dalam menyampaikan persoalannya dengan mengendepankan komunikasi yang jujur.

Ungkapan tersebut tidak sama dengan mese nai (sombong). Tetapi makna ungkapan tersebut sebuah sikap yang tidak menganggap diri besar. Biasanya ungkapan tersebut dipakai mengungkapkan bahwa seseorang sedang mencoba menahan amarah agar tidak meledak. Dalam konteks lain ungkapan “nai lewe” (sabar) merupakan berpadanan dengan ungkapan nai ngalis (Pius Pandor 2015: 406-407).

Ada beberapa poin penting yang perlu kita petik dari ungkapan tersebut. Pertama, kesabaran merupakan pintu menuju kesuksesan. Agar hidup lebih berbuah, maka cabang-cabang keegoisan dipangkas dan dimusnahkan. Ranting-ranting kebohongan dipotong sedemikian rupa. Akar-akar cemburu perlu dirampingi agar bisa menghasilkan cinta yang berbuah. Kedua pribadi tadi sama-sama harus berani melakukan ‘gerakan keluar’. Keluar dari zona nyaman.

Keluar dari perasaan pribadi yang tidak baik. Keluar dari hobi pribadi yang membunuh cinta. Hanya dengan demikian, orang bisa masuk dalam kehidupan yang sama-sama diinginkan. Bukan hanya keinginan seseorang. Melainkan, keinginan dua pribadi tadi. Seandainya demikian, kegagalan seorang pribadi adalah kegagalan pribadi lain. Keberhasilan seseorang adalah keberhasilan pasangan juga.

Kedua, arti sebuah cinta bagi sesama. Cinta itu dirindukan semua orang. Kerinduan akan cinta melahirkan sebuah pencarian. Di manakah cinta itu ditemukan? Dari manakah asal dari segala cinta? Selama manusia berziarah, ia tidak bisa menghidupi hidup tanpa cinta. Kehadiran cinta membuat hidup semakin bermakna. Cinta itu berawal dari seorang pribadi yang terlahir sebagai manusia yang mengada. Pribadi memiliki ciri khas kuat, unisitas Kekuataannya melahirkan sebuah relasi kepada sesama.

Relasi antara aku dan ‘aku yang lain’ membawa pada sebuah pengalaman cinta. Hidup itu sendiri sebuah anugerah dan tanggung jawab (leben ist gabe und aufgabe). Pada tempat yang sama, bisa mengatakan bahwa hidup adalah cinta. Apakah cinta selalu bahagia? Ya, cinta membawa kebahagiaan. Setiap manusia mencari kebahagiaan itu sendiri. Aristoteles pun lebih tegas mengatakan mencari kebahagiaan adalah aktivitas manusiawi.

Ketiga, kebijaksanaan diri. Kebijaksanaan untuk menerima orang lain merupakan akar dari sebuah kebijaksanaan kehidupan. Kehidupan sejatinya adalah menerima orang lain apa adanya. Kesalahan, kekhilafan, dan salah ucap acap kali terjadi dalam kehidupan manusia. Manusia rentan jatuh dalam salah tingkah maupun salah tutur. hanya orang yang menerima orang lain apa adanya mampu melihat itu sebagai sebuah sekolah kehidupan. Sekolah kehidupan berarti hidup itu sendiri adalah sebuah bentuk sekolah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan tidak pernah lepas dari aku dan orang lain. Relasi dengan sesama memungkinkan adanya sebuah etika komunitarian. Etika komunitarian nyata dalam aku yang keluar dari diri sendiri. Adanya sebuah proses menerima orang lain apa adanya. Orang tidak lagi mempersoalkan sebuah kesalahan dalam hidup. Nai ngalis, tuka ngengga merupakan sebuah keutamaan yang menceritakan sebuah nilai penting dalam kehidupan manusia.

Keempat, satu-satunya Sang Kebijaksanaan sejati adalah Tuhan. Ketika manusia mampu menampilkan diri sebagai sosok yang bijaksana, ia tak bijaksana penuh di dalam dirinya. Ia berpartisipasi dalam kebijaksanaan sejati. Atau dengan lain perkataan, kebijaksanaan sejati itu adalah Tuhan sendiri. Menerima dan mengkomunikasikan sebuah kebijaksanaan artinya memperlakukan sesama dan aku sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Artinya orang yang memperlakukan sesama secara kejam dan keji tidak bisa diterima dalam ranah etis kemanusiaan. Kemanusiaan mestinya mendapat ruang pengampunan kesalahan bagi yang lain. Ruang pelepasan suatu perasaan yang mengganjal dari dalam diri.

Orang tidak lagi mencari persoalan baru atau menyelasaikan persoalan dengan tindakan kekerasan. Karena hakikat kemanusiaan adalah berbuat baik, bukan sebaliknya. Lalu, bagaimana jika manusia berbuat buruk? Di sini, bukanlah tempatnya bagi ungkapan nai ngalis, tuka ngengga.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Pandor, Pius. “nai ngalis, tuka ngengga Manggarai dan Sila Keempat Pancasila” dalam Armada Riyanto, dkk (eds.), Kearifan Lokal PancasilButirbutir Filsafat Keindonesiaan, 2015.Yogyakarta: Kanisius.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.

    Verheijen, Jilis A. J., 1967. Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, Belanda: Koninklijk Instituut Voor Taal-LAND-EN VOLKENKUNDE.


    Lihat Juga

    Séngét (Bahasa Manggarai: mendengar, dengarkan, perhatikan)  Naring (Bahasa Manggarai: Puji, mengucapkan syukur, mengapresiasi)  Lejong (Bahasa Manggarai: bertandang, bertamu, berkunjung) 

    Oleh :
    Arbianus Rivaldi ()