Naring (Bahasa Manggarai: Puji, mengucapkan syukur, mengapresiasi)
Naring dalam masyarakat Manggarai merupakan sikap yang lazim dilakukan. Orang Manggarai melakoninya dalam kehidupan bersama. Naring sinonim dengan kata ngering yang berarti puji, memberi hadiah, mengucapkan syukur (Verheijen 1997: 371). Contoh penggunaannya dalam ucapan kaba naring Morin agu Nggaran (kerbau untuk memuliakan Tuhan lagi Pemilik= kerbau tanda syukur), wuk lembis kanang kali ata naring lata (rambut licin saja yang dipuji orang). Dari uraian di atas, ada dua poin yang ditonjolkan dalam tindakan Naring. Pertama, ucapan syukur; ditujukan kepada Wujud Tertinggi (Mori Kraeng). Kedua, tindakan memuji; ditujukkan kepada Tuhan dan sesama.
Dari tata laksana ritus orang Manggarai dapat diketahui bahwa ada begitu banyak nilai rohani yang terkandung di dalamnya. Dalam hubungan dengan Tuhan, orang Manggarai menyadari dan percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia, diterima dari Tuhan (Petrus Janggur 2010: 16). Tuhan memberikan alam ciptaan ini untuk melengkapi kehidupan manusia. Selain itu orang Manggarai menyadari pula bahwa untuk mengungkapkan hubungan dengan Tuhan haruslah melalui tanda yang konkrit yaitu upacara-upacara khusus. Karena itu ada kebaktian yang terdiri atas doa (torok, tudak).
Hal pertama yang disampaikan dalam torok (untaian doa dalam upacara adat) adalah pujian, syukur. Dari tindakan ini dapat disimpulkan bahwa Naring merupakan hal penting dalam upacara adat orang Manggarai. Naring menempati posisi sentral isi doa kepada Tuhan yang dipanjatkan ketika upacara-upacara khusus. Ungkapan pujian dan syukur ini kemudian turut membentuk pola relasi orang Manggarai dengan Wujud tertinggi, sesama dan alam.
Tindakan Naring memiliki nilai yang unggul dalam menata hidup bersama. Di dalam Naring orang Manggarai menemukan pentingnya untuk memberi apresiasi bagi orang lain. Pujian yang diberikan kepada orang lain baik dalam bentuk ucapan verbal, maupun dalam tindakan konkrit seperti memberi hadiah. Tindakan inilah yang kemudian akan mempengaruhi pola relasi orang Manggarai dengan sesamanya.
Dalam kehidupan bersama tindakan memuji dan mengapresiasi sangat penting. Hal ini sama pentingnya dengan sikap memberi rasa hormat atas pengorbanan orang lain. Naring dapat menjadi jembatan dialog dengan Tuhan, sesama dan alam. Memuji Tuhan menggerakan manusia untuk mengagumi alam ciptaannya. Maka, dalam Naring orang semakin dengan dengan Tuhan dan alam ciptaan-Nya. Alam menjadi rujukan bagi ritme hidup manusia setiap hari. Alam akan menata manusia sehingga ia mampu menjalani aktivitasnya (Armada Riyanto 2013: 29). Melalui alam manusia dapat mengagumi sang Pencipta-Nya. Di dalam ciptaan itu manusia hanya mampu memuji kebesaran Tuhan.
Saat ini kerusakan alam berada dalam ranah yang mencemaskan. Pola pandang masyarakat modern ini menyebabkan hancurnya keharmonisan kosmos dan hilangnya kesakralan kosmos. Alam tidak lagi sebagai sarana memuji sang Pencipta. Kesadaran ekologi tidak mendapat perhatian. Relasi antar-manusia dan antara manusia dengan alam dimengerti sebagai relasi fungsional. Orang lain dan alam menjadi penting bagiku sejauh ia mendatangkan kegunaan bagiku atau membantuku dalam ekspresikan diriku. Saat ini manusia diajak untuk berdialog dengan alam.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ mengungkapkan keprihatinannya akan gaya hidup zaman ini. Manusia cenderung menghabiskan daripada merawat. Paus meminta kita mengambil sikap pertobatan ekologis, berdamai dengan alam ciptaan. Pertobatan ini menyiratkan berbagai sikap yang bersama-sama menumbuhkan semangat perlindungan yang murah hati dan penuh kelembutan. Pertobatan menyiratkan rasa syukur dan kemurahan hati, artinya, dunia diakui sebagai hadiah yang diterima dari kasih Bapa, yang
menimbulkan sikap spontan pengingkaran diri dan sikap kemurahan hati bahkan jika tidak ada yang melihat atau mengetahuinya: “janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. … maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Ensiklik Laudati Si’no. 120).
Ada dua poin penting yang disampaikan Paus Fransiskus melalui ensikliknya Laudato Si’. Pertama, kesadaran yang dijiwai pertobatan yang mendalam. Kedua, bersyukur, memuji yang merupakan dasar utama untuk merangkul semesta. “Laudato Si‘, mi’ Signore”, —“Terpujilah Engkau, Tuhanku” memiliki tekanan utama pada pujian kepada Tuhan sebagai dasar bagi manusia merangkul ciptaan.
Tindakan Naring (kepada Tuhan, sesama dan alam) diwujudkan dalam ungkapan yang selalu dihidupi oleh orang Manggarai: “Mori Jari agu dedek. Tanan wa awangn eta, par awo kolepn sale” (Tuhan pembentuk dan pencipta, bumi di bawah langit di atas, terbitnya di timur sampai terbenamya di barat). Bila dikomparasikan dengan ensiklik Laudato Si’ terminologi ini tidak jauh dari makna yang diucapkan oleh Paus Fransiskus. Naring merupakan unsur pokok bagi manusia untuk menyadari kebesaran Tuhan dan merangkul ciptaannya. Dengan menumbuhkan sikap selalu bersyukur manusia tidak lupa akan dirinya, sesama dan Tuhan.
Naring juga memberi nilai penting dalam berelasi. Dengan pujian yang diberikan atau diterima orang mampu menunjukkan rasa percaya diri. Kepercayaan diri akan menumbuhkan sikap toleran dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, terciptanya keharmonisan dalam hidup bersama. Orang Manggarai pada umumnya selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan, baik itu dengan sesama maupun dengan alam. Alam dipandang sebagai rumah tempat tinggal, ibu yang menghidupkan. Bagi orang Manggarai hal ini sangat penting. Naring bukan hanya soal memuji di bibir saja, tetapi meluap dari hati dan diwujudkan dalam aksi nyata.
Orang Manggarai tidak memandang alam sebagai sesuatu yang statis, mati, materi yang mudah direduksi untuk kepentingan manusia. Setiap unsur dalam alam diyakini mempunyai nilai kesakralan. Unsur-unsur itu memiliki hubungan saling ketergantungan. Yang satu tak dapat hidup tanpa yang lain. Karena itu orang Manggarai mewujudkan baktinya dengan upacara yang sangat dekat dengan alam. Contohnya ialah upacara barong wae (upacara mengundang roh-roh yang menjaga dan melindungi mata air) roh-roh itu diundang untuk turut serta dalam perayaan congko lokap (upacara peresmian rumah adat) sebagai ungkapan syukur atas kesediaan mereka menjaga dan melindungi mata air, sumber kehidupan penduduk desa (Petrus Janggur 2010: 41).
Dalam tindakan Naring dan pesan ensiklik Laudato Si’ juga dijumpai perbedaan. Naring didasarkan pada kebiasaan hidup orang Manggarai. Kebiasaan hidup ini dihidupi sebagai bagian dari jati diri dan proses memahami diri di hadapan Tuhan dan ciptaan-Nya. Naring menggambarkan karakter orang Manggarai yang tahu bersyukur. Dalam tatanan hidup bersama Naring menjadi sarana memupuk persaudaraan. Naring akan membuat orang lain merasa dihargai dan didukung. Sedangkan dalam Ensiklik Laudato Si’, pangkal refleksinya ialah iman Kristiani. Manusia diajak untuk mengangkat hati dan memuji Tuhan. Dasar dari pujian itu ialah bahwa Allah menciptakan dunia ini baik adanya. Pujian itu kemudian digaungkan dalam aksi nyata manusia. Tanda syukur atas karya keselamatan Allah dengan bertobat dan pada akhirnya dapat memuji Dia. Pertobatan mendalam harus sampai pada sikap damai dengan seluruh alam ciptaan.
Bibliografi
Janggur, Petrus, 2010. Butir-Butir Filsafat Manggarai, Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Paus Fransiskus. Ensiklik Laudati Si’no. 120, 2015. Dalam terjemahan Martin Harun. Jakarta: OBOR.
Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.
Verheijen, Jilis A. J., 1967. Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, Belanda: Koninklijk Instituut Voor Taal-LAND-EN VOLKENKUNDE.
Lihat Juga
Séngét (Bahasa Manggarai: mendengar, dengarkan, perhatikan) | Lejong (Bahasa Manggarai: bertandang, bertamu, berkunjung) | Nai ngalis tuka ngengga (Bahasa Manggarai: kebijaksanaan, hati yang terbuka) |
Arbianus Rivaldi ()