Lejong (Bahasa Manggarai: bertandang, bertamu, berkunjung)
Secara etimologis lejong berarti, bertandang, kunjungan, bercakap (Verheijen 1997: ). Contoh: léjong one mbaru (bertandang dalam rumah), lejong dise (percakapan mereka). léjong menunjukkan sebuah aktivitas dalam kebersamaan. Nilai kolektivitas dari léjong sangat ditonjolkan. Hal ini menunjukkan karakter orang Manggarai yang amat mengedepankan nilai hidup bersama. Léjong merupakan kesempatan untuk berbaur dengan sesama. Kebersamaan itu akan membuka ruang dialog dan mendapat kekuatan dari pihak lain. Dialog ini terjalin antara pribadi yang satu dengan yang lain melalui komunikasi timbal balik (Jijita, Yanuarius, dkk 2012: 114).
Tujuan léjong ialah mengenal orang lain, mempererat persaudaraan, menjalani kehidupan sehari-hari bukan dalam keterasingan, melainkan selalu dalam keterkaitan satu dengan yang lain. Léjong juga memupuk kesadaran bahwa saya hidup bersama orang, tetangga, keluarga (baik dekat maupun jauh), sahabat, rekan kerja, dll. Singkat kata léjong mengarahkan orang pada orang lain dalam relasi dan saling kontak satu sama lain. Cara léjong ialah dengan bertamu, berkunjung ke rumah tetangga, melawat orang yang sedang berduka, dsb. Aktivitas lebih dalam dari léjong ialah la’at (mengunjungi, menjenguk, dan melawati). La’at lebih merupakan sikap empati untuk peduli dengan sesama. La’at menunjukkan semangat kepedulian sosial orang Manggarai.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia bisa melihat bahwa dirinya tidak bisa lepas dari proses interaksi dengan sesama. Misalnya, akan menemui dosen, teman kelas di kampus. Saat bertemu itulah interaksi mulai terjadi. Ketika membutuhkan sesuatu, maka kita akan mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Begitulah cara manusia berelasi. Manusia berelasi karena adanya desakan dari dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhan yang ada di dalam dirinya. Manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas dan ingin segala-galanya terpenuhi. Bila hal itu terhalang maka manusia pasti akan mengerahkan tenaga untuk memenuhinya.
Orang Manggarai melakoni fenomena ini secara khas. Mereka mewujudkannya dalam rupa aktivitas bertandang, saling berkunjung, dan bertamu ke rumah orang lain. Aktivitas ini mempunyai maksud dan tujuan yaitu agar setiap orang memupuk jiwa sosial dan menceburkan diri dalam pengalaman orang lain. Sampai saat ini kebiasaan ini terus dilakukan, bahkan ketika orang Manggarai berada di tanah rantauan. Upaya untuk saling bertandang disadari sebagai sebuah aktivitas mewujudkan aku dalam kehidupan bersama.
Berelasi mengandaikan ada dua subjek yang berjumpa, ada manusia lain yang hidup bersma-sama dengan dia. Relasi yang dibangun dalam léjong adalah relasi timbal balik. Satu dengan yang lain dirangkul dalam komunikasi yang intens. Léjong membentuk orang Manggarai menjadi pribadi yang mampu bergaul dengan siapa pun. Hal ini terlihat jelas dalam konsep cara berpikir dan bertindak orang Manggarai. Gagasan sosial itu dirangkum dalam bentuk simbol-simbol. Sebagai contoh ialah simbol Mbaru gendang (rumah adat Manggarai yang berbentuk kerucut). Mbaru gendang sebagai rumah adat dalam kampung mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi simbol dari utama gagasan hidup orang Manggarai (Petrus Janggur 2010: 22).
Mbaru gendang berbentuk kerucut, mau mengungkapkan simbol kohesi kehidupan sosial dan religius masyarakat Manggarai. Gaya bangunan rumah adat Manggarai ditata sedemikian rupa sehingga membentuk unit yang solid, harmonis, dan tangguh (Pius Pandor 2013: 194). Dari hal di atas kita dapat menemukan alasan utama mengapa orang Manggarai menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam bermasyarakat. Léjong merupakan salah satu kebiasaan orang Manggarai untuk memupuk nilai kebersamaan dalam bermasyarakat.
Pola relasi yang dibangun mengalir dari konsep hidup yang diterima dalam keluarga dan masyarakat. Komunikasi terjalin dalam sebuah kenyataan bahwa orang Manggarai menyadari sungguh peran orang lain dalam kehidupannya. Orang yang menutup diri dalam kehidupan bersama selalu dikelompokkan sebagai orang yang belum mampu bertumbuh dalam kehidupan bersama. Kebersamaan dan sosialitas orang Manggarai terpancar dari ungkapan yang sering digaungkan, padir wai rentu sai (ajakan untuk selalu bersatu). Kesatuan dapat bertumbuh kalau orang mampu bergaul dengan tetangga dan masyarakat luas.
Dalam menjalin komunikasi ini orang Manggarai menyebut orang lain itu dengan kata kraeng (tuan), woe (teman), hae wa’u (sanak saudara dalam satu keturunan atau suku). Penyebutan-penyebutan itu bertujuan untuk menumbuhkan rasa keakraban di antara masyarakat. Keakraban muncul dari interaksi yang intens dan kemauan untuk membaur dengan sesama.
Dunia saat ini menggeser nilai keakraban ini. Orang cenderung untuk mengasingkan diri dari hidup bersama. Hal ini dipisahkan oleh karena kemajuan teknologi dan aneka perkembangan dunia. Hampir setiap rumah memiliki televisi, handphone, laptop, dsb. Alat-alat ini membuat setiap orang menarik diri dari kebersamaan. Orang tidak lagi menemukan nilai luhur dari kebersamaan bahkan melihat kebersamaan merugikan, menghabiskan waktu. Aktivitas léjong juga mengalami pergeseran. Hal ini berdampak domino bagi seluruh nilai luhur kehidupan bersama. Salah satunya ialah bergesernya budaya Lonto Leok (duduk melingkar). Duduk melingkar ini mempunyai tujuan kebersamaan untuk menyatukan kata, merundingkan segala sesuatu secara bersama-sama (Pius Pandor 2015: 453). Lonto Leok dimungkinkan kalau setiap annggota masyarakat menyamakan persepsi dan menyatukan cara pendapat yang berbeda-beda.
Léjong merupakan awal dari upaya untuk menyatukan hati dalam kebersamaan. Léjong mengajar orang untuk mengenal dan bersahabat dengan sesamai. Dengan demikian, ia tidak mengasingkan diri dari orang lain, tetapi hadir bagi orang lain dan menjadi bagian dari orang lain. Dalam menjalani kebersamaan setiap orang Manggarai diajak untuk dapat “nai ca anggit” (sehati sejiwa) dan berusaha untuk menghindari kemungkinan “woleng curup”. Visi hidup ini terangkum dalam ungkapan muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka wole lako, ema agu anak neka woleng bantang, ase agu kae neka woleng tae, weta agu nara neka woleng bantang (pisang serumpun jangan berbeda kata, tebu serumpun jangan berbeda jalan, ayah dan anak jangan beda pendapat, adik dan kakak jangan beda tutur kata, saudara dan saudari jangan berbeda mufakat).
Sebagai awal dari proses menyatu dalam kebersamaan, makan léjong merupakan hal mendasar dari pembentukan sikap dan tindak dalam kehidupan bermasyarakat. Ada beragam makna yang diembulkan dari aktivitas léjong. Di antaranya, membentuk pribadi untuk menyadari “aku dialogal”, “aku berelasi, berkomunikasi”, “aku yang bersahabat, peka, peduli, simpati, memberi diri, menciptakan keharmonisan, membawa perdamaian”. Léjong tidak bisa lepas dari kehadiran aku bagi yang lain. Aku dan liyan menjadi kesadaran dalam menjalin kontak satu dengan yang lain. Sebab tak ada satu manusiapun yang hidup bagi dirinya sendiri. Ia selalu terarah kepada yang lain. Pengalaman kebersamaan menjadi cikal bakal perjumpaan yang harmonis dengan yang lain. Léjong sebagai salah satu kebiasaan hidup orang Manggarai memberi arti yang mendalam dalam melihat hubungan dengan yang lain dalam kebersamaan. Yang lain bukanlah objek, tetapi subjek yang harus dijumpai.
Bibliografi
Janggur, Petrus, 2010. Butir-Butir Filsafat Manggarai, Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Jijita, Yanuarius, dkk, “Liyan dan Ruang Publik” dalam Armada Riyanto, Marcellius Ari Christy, dkk (eds.), Aku dan Liyan, Kata Filsafat dan Sayap, 2012. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi.
Pandor, Pius, “Dimensi Simbolik Seni Rupa Mbaru Gendang dalam Terang Estetika Susanne K. Langer” dalam Antonius Denny Firmanto, Adi Saptowidodo, (eds.), Iman dan Seni Religius, 2013. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi.
Verheijen, Jilis A. J., 1967. Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, Belanda: Koninklijk Instituut Voor Taal-LAND-EN VOLKENKUNDE.
Lihat Juga
Arbianus Rivaldi ()