Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Menyawat (Bahasa Dayak Barai, Sintang, Kalimantan Barat: “Gotong Royong”)


Menyawat adalah sebuah istilah untuk menyebut aktivitas berladang dalam suku dayak Barai. Menyawat ini dilakukan secara berkelompok. Tujuan dari menyawat adalah untuk memudahkan seseorang dalam membuka lahan ladang sesuai dengan luas lahan yang dimiliki; melestarikan warisan tradisi dari nenekmoyang untuk menjaga keutuhan suku dayak Barai; dan untuk menjaga keseimbangan ekosistem (karena dalam aktivitas ini diawali dengan ritual permohonan Ijin kepada penghuni alam (Puyangkkana)). Kegiatan ini dilakukan pada musim berladang. Dimulai pada bulan Agustus (Kalender Nasional) tetapi dalam kalender lisan suku dayak barai didasarkan pada posisi dan bentuk bulan, kegiatan ini dimulai pada bulan september (kalender Nasional) jadi lebih awal dari penanggalan atau kalenderium Nasional. Bulan ini disebut sebagai bulant Nobangk Nobas (musim menebas lahan).

Di wilayah Kalimantan Barat, tepatnya di kota Sintang, di beberapa desa sekitar 60 Km dari kota Sintang, hiduplah suku dayak yang disebut Dayak Barai. Salah satu desa yang bersuku dayak Barai adalah desa Nanga Lidau (Kampung Nanga Lidau), Kecamatan Kayan Hilir (Nanga Mau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak). Kampung Nanga Lidau diambil dari nama sebuah sungai yang disebut Lidau, dan Nanga secara harafiah artinya adalah muara. Jadi Nanga Lidau adalah muara sungai Lidau (bdk. Alloy, 2008: 95). Setiap kali hendak berladang, rakyat suku dayak Barai biasanya berunding di antara kaum kerabatnya di kampung tersebut, terutama warga kampung Nanga Lidau. Tujuannya adalah supaya memudahkan proses pembuatan ladang tersebut secara bertahap. Mengapa diadakan kelompok seperti ini, karena pada zaman dahulu lahan untuk ladang adalah hutan belantara dan untuk membuka lahan tersebut perlu menebang pohon-pohon besar, sehingga membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Oleh sebab itu dibentuklah kelompok bertani atau berladang ini yang disebut sebagai menyawat (bdk. Alloy, 2008: 95-96).

Menyawat dimulai dengan pembuatan kelompok atau membentuk basis kerja dengan orang-orang tertentu yang mampu bekerja sama. Tanpa terkecuali. Pertama-tama mereka mengadakan mufakat di rumah salah satu dari anggota mereka. Setelah sepakat, lalu disampaikan kepada tamonggongk (tumenggung), kalau ada. Lalu setelah itu mereka mulai membuat alat-alat pertanian, diantaranya adalah Kapak, Beliongk, Isau (parang), Batu canai (Batu asah), Losongk dan Alu (Lesung dan Penumbuk), Mandau (sebagai simbol senjata berjaga-jaga untuk melawan musuh). Sedangkan para perempuan atau istri dan anak mereka masing-masing membuat alat panen yang disebut Pengetas atau pengetam padi, dan alat-alat yang terbuat dari rotan misalnya belansai (bakul), Takint, Tempajangk, tengkalangk, Tikaer (tikar), Capant, Pengoyak (Penyaring beras) dan Lujongk (bdk. Bernard, 1989: 100-119).

Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Kepala kampungk, tamongongk (Tumenggung), dan setiap kepala keluarga yang termasuk ke dalam anggota kelompok kerja tersebut. Beberapa proses menyawat yang akan dikerjakan misalnya, nyarek okok (memeriksa lahan); Nobang, nobas (Menebang, menebas); Nunu Uma (Membakar ladang); Manok (membakar ranting-ranting kayu yang masih tersisa); Nugal (menanam benih, padi), Mabau (mencabut rumput liar) dan Manyi (memanen padi).

Setelah semua persiapan selesai, mereka akan menempuh beberapa proses seperti yang telah disebut di atas. Ada pun proses selanjutnya adalah sebagai berikut. Semua anggota kelompok terlebih dahulu memutuskan, di lahan siapa pertama mulai dikerjakan, misalnya di ladang si A, lalu ke ladang si B, C dan seterusnya, secara bergantian. Setelah itu diputuskan, pada hari pertama, dengan nyarek okok (memeriksa lahan) di masing-masing lahan anggota kelompok, pada hari yang berbeda, secara bergantian sampai semuanya mendapat giliran. Tahap berikutnya yaitu Nobang, nobas, mulai dengan menebas semak-semak kecil, lalu kemudian kayu-kayu besar dan membuat Peladangk (perbatasan dengan hutan lain, supaya saat membakar ladang api tidak menjalar ke hutan yang lain) (bdk. Arman, 1994:128-129). Lahan yang telah ditebas tersebut dibiarkan sampai kering sekitar dua atau tiga bulan. Kalau sudah kering, dengan kelompok yang sama, lalu ditunu atau nunu uma (membakar ladang) tersebut secara bergiliran dalam waktu yang berbeda, tergantung cuaca. Berikutnya adalah manok, manok bisa dilakukan secara pribadi diluar kelompok tani. Sebelum manok (membakar ranting), ranting-ranting yang masih tersisa setelah ladang dibakar, dikumpulkan terlebih dahulu, lalu dihidupkan api (dibakar sampai hangus). Beberapa minggu setelah manok, lalu Nugal (menanam benih: Padi, jagung, mentimun. dll.).

Ladang yang telah ditaburi benih tersebut dibiarkan sampai tumbuh hingga panen. Ketika musim panen tiba, kembali mengadakan menyawat dengan intensi baru yaitu memanen padi di ladang setiap anggota kelompok, secara bergilir. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan tersebut, menjadi tanggungjawab anggota yang ladangnya akan dipanen. Misalnya, hari ini bekerja di ladang si A, dengan demikian si ‘A’-lah yang menanggung segala keperluan yang dibutuhkan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyawat adalah sebuah kegiatan sosial yang dilakukan dan dilestarikan oleh dayak Barai dalam rangka membangun kerjasama secara kolektif dan untuk kelestarian kebudayaan. Kegiatan ini juga memiliki makna yang dalam bagi masyarakat dayak barai. Bila kita melangkah lebih jauh bahwa aktivitas semacam ini memiliki nilai etis sangat tinggi dimana pada dasarnya manusia secara alamiah adalah makhluk soasial dan koeksistensial dalam rangka saling melengkapi dan membangun. Dalam kegiatan ini tersirat unsur persatuan.

Dalam filsafat china bahwa manusia dari sudut pandang Taoisme adalah yang menjalankan Tao dalam rangka melayani sesama, dengan tidak mementingkan diri sendiri. oleh sebab itu penyangkalan diri adalah jalan paradoksal yang harus dijalankan, sebab pemimpin yang menyangkal diri adalah memperkaya diri. Demikian pula dalam kegiatan menyawat tersirat makna penyangkalan diri yang sangat mendalam. Dengan menggabungkan diri sebagai anggota kelompok tani tersebut orang yang bersangkutan telah menyangkal diri dan memupuk rasa sosial terhadapa yang lain. Kelompok yang baik adalah lebih baik dari pada kelompok yang spektakuler (bdk. Heider, 2002: 13). Jadi, dalam ajaran Taoisme unsur kolektivitas sangat menentukan keberhasilan manusia sosial.

Dewasa ini aktivitas menyawat sudah kurang diperhatikan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor ini, misalnya: Lahan atau hutan untuk berladang sudah berkurang; perusahaan sawit semakin meluas; pengaruh globalisasi, misalnya sekularisasi; budaya konsumeristis; pragmatis dan budaya instan. Beberapa faktor tersebut sangat ampuh dalam melumpuhkan setiap kebudayaan lokal. Oleh karena itu, sebagai generasi muda diharapkan mampu membaca fenomena budaya modern yang dapat menghancurkan jati diri budaya setempat (dayak Barai-Indonesia).

  • Lihat Juga

  • Lihat Juga

    Mali dan Sida (Bahasa Dayak Barai, Sintang, Kalimantan Barat: “Tidak Boleh dan Boleh”)  Bebadi (Bahasa Dayak Barai, Sintang, Kalimantan Barat: “Ritual Perdamaian antara Manusia dengan Penghuni Alam Semesta”)  Berazat dan Mulangk Ajad (Bahasa Dayak Barai, Sintang, Kalimantan Barat: “Bernazar dan Pembaharuan Nazar”) 

    Oleh :
    Siong ()