
Mali dan Sida (Bahasa Dayak Barai, Sintang, Kalimantan Barat: “Tidak Boleh dan Boleh”)
Secara harfiah, Mali adalah suatu konsep etis yang merujuk pada apa yang sakral apa yang tidak boleh dilanggar suku dayak barai baik terhadap sesama mau pun lingkungan sekitarnya. Sedangkan Sida adalah suatu konsep etis yang merujuk pada apa yang sah dan boleh dilakukan terhadap apa yang semestinya dilakukan sejauh kebenaran secara hukum adat mengiyakannya.
Di wilayah Kalimantan Barat, tepatnya di kota Sintang, di beberapa desa sekitar 60 Km dari kota Sintang, hiduplah suku dayak yang disebut Dayak Barai. Salah satu desa yang bersuku dayak Barai adalah desa Nanga Lidau (Kampung Nanga Lidau), Kecamatan Kayan Hilir (Nanga Mau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak) (bdk. Alloy, 2008: 95). Suku ini meyakini bahwa dalam alam semesta ini segala sesuatu sudah diatur sedemikian rupa oleh suatu realitas tertinggi. Mereka menyebutnya sebagai ompongk soma (tuhan/dewa). Oleh karena segala sesuatu diatur dan dikendalikan oleh wujud tertinggi tersebut, maka segala sesuatu yang ada memiliki unsur keteraturan. Karena sifatnya teratur, maka tidak boleh diganggu gugat, tanpa seijin dari ompongk soma tersebut. Oleh karena itu untuk mengingatkan suku dayak Barai, dari sini lahirlah istilah Mali dan Sida, untuk memebedakan apa yang boleh dilakukan (Sida) dengan apa yang tidak boleh dilakukan (Mali). Mula-mula dilakukan secara sepontan oleh nenekmoyang orang Barai. Kalau salah satu orang dari suku tersebut melanggar apa yang bersifat mali, dan tidak melakukan apa yang bersifat sida, maka orang yang bersangkutan akan mendapat malapetaka. Dalam suku dayak Mualang istilah mali dikontraskan dalam konteks pernikahan terlarang (pernikahan sedarah). Contohnya mau menikahi saudara atau saudari sepupu. Dalam hukum adat dayak Mualang hal itu tidak diperbolehkan, karena masih mempunyai hubungan sedarah, jadi hal itu disebut mali (bdk. Meligun, 1992: 26-27).
Dalam kesatuan mereka dengan semesta, suku dayak Barai merupakan salah satu suku dayak yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap unsur-unsur alam. Bagi mereka setiap momen adalah saat dimana alam dihormati. Mali dan Sida adalah konsep mendasar dalam alam pemikiran suku ini. Kedua konsep ini menjadi semacam jiwa bagi mereka saat berjumpa dan melihat semua realitas yang tercipta. Momen Mali dan Sida ini mereka wujudkan dalam tindakkan memposek-memaleh (sebagai tanda hormat dan tanda menghargai orang lain atau makhluk hidup). Memposek-memaleh dilakukan saat situasi tergesa-gesa (kondisional). Dengan kata lain, ritual singkat ini dilakukan ketika seseorang dalam keadaan tergesa-gesa, misalnya: pada saat melakukan perjalanan jauh untuk tujuan yang sangat mendesak, dan melewati beberapa kampung entah apa pun sukunya. Tiba-tiba dari salah satu kampung yang ia lewati ada yang menawarkan kopi panas, atau menawarkan untuk makan, tetapi pada saat yang sama ia harus tiba di tempat tujuan dengan cepat. Dalam keadaan tersebut, supaya tidak terkesan sombong dan untuk menghindari kempunan (malapetaka), maka orang yang ditawari makanan atau minuman tersebut harus melakukan ritual singkat yaitu memposek-memaleh. Ritualnya sangat singkat dan sederhana, demikian: orang yang bersangkutan singgah sebentar di rumah orang tersebut lalu menyentuh makanan dan minuman disertai pernyataan: “Posek maleh ah!” Setelah itu ia boleh melalanjutkan perjalanannya.
Sepertinya ritual ini sangat simpel tetapi besar pengaruhnya. Demikian sebaliknya jika tidak dilakukan, maka malapetaka pasti akan menimpanya atau biasa disebut kempunan (karma karena tidak menghargai tawaran orang lain atau karena tidak menghormati unsur-unsur alam tertentu).
Mali dan Sida memiliki kaitan erat dengan kelestarian alam. Dari mana kita tahu bahwa kedua hal itu memiliki keterkaitan dengan alam? Dalam konteks suku dayak barai, ketika segala sesuatu disebut mali atau diakui sebagai suatu hal yang sakral maka di sana ada aturan dan aturan itu mensyaratkan mali (tidak boleh), misalnya ‘pohon ara atau beringin tidak boleh ditebang, karena ada gana (penunggu) di dalamnya!’ konsep ini ini mengandaikan mali, artinya, kalau ditebang pasti ada malapetaka. Malapetaka tersebut bisa berupa ‘sakit berkepanjangan yang diderita sipenebang (orang yang menebang kayu yang bersangkutan)’ atau mininggal secara tiba-tiba. Pada umumnya di Kalimantan Barat kayu ara dan kayu beringin diakui sebaga kayu sakral karena ada penunggunya yang desbut gana. Dalam kebudayaan dayak mualang gana (penunggu) pohon tersebut disebut sebagai Dara kiarak (bdk. Saeng, 2015: 151). Dengan konsep mali ini, selagi kayu ara dianggap sebagai mali untuk ditebang, maka selama itu pula populasi kayu ara bertumbuh dan eksis. Begitu juga dengan unsusr-unsur alam yang lainnya. Jadi mali dan sida di sini memiliki makna yang sangat identik dengan pelestarian alam.
Dalam konteks prokreasi (melanjutkan keturunan), mali disini ditempatkan sebagai pembatas sekaligus menghindarkan seseorang dari tulah atau malapetaka akibat pernikahan terlarang (kawin sedarah: sepupu; paman dll.) (bdk. Van Lier, 1991: 201).
Dalam perspektif filsafat china, terutama Taoisme yang diajarkan oleh Lao Tse hidup manusia selalu tergantung pada alam, dengan langit (Tian 天) dan bumi (di) sebagai satu kesatuan dalam menopang hidup makhluk hidup. Keberadaan langit dan bumi bukanlah untuk dirinya sendiri tetapi terus-menerus memberi kehidupan kepada semua ciptaan-Nya tanpa pamrih (bdk. Wang, 2009: 36-37). Dari pernyataan tersebut bila dikonfrontasikan dengan kebudayaan dayak Barai, dalam hal ini Mali dan Sida, dapat kita lihat hubungan kosmologisnya yaitu terletak pada peran sentral dari alam (bumi) dan langit sebagai sumber pemberi hidup bagi setiap realitas ada (mahkluk hidup). Untuk itu konsekuensinya adalah kita diajak untuk tetap terus melestarikannya dengan segenap jiwa dan raga; hati dan budi kita. Dalam hal ini suku dayak Barai telah menunjukkan konsep yang patut diperhitungkan yaitu Mali dan Sida, sebagai konsep penjaga keseimbangan ekosistem. Semua Itu akan tetap terjaga dan utuh, apa bila konsep tersebut tetap dipertahankan.
Bibliografi
Meligun, Dionisius, 1992. Hukum Perkawinan Dayak Mualang, Sanggau: Seri Pembinaan Komisi Kepemudaan.
Saeng, Valentinus, “Religi Dayak Mualang dalam Mitos”, dalam Armada Riyanto, Johanis Ohotimur, dkk. (eds.), 2015. Kearifan Lokal Pancasila Butir-butir Filsafat Keindonesiaan, Kanisius.
Van Lier, Yoep, 1991. Adat Istiadat Suku Dayak, Jakarta: Serikat Maria Monfortan.
Wang, Andri, 2009. Doa De Jing (The Wisdom of Lao Zi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lihat Juga
Siong ()