
Berazat dan Mulangk Ajad (Bahasa Dayak Barai, Sintang, Kalimantan Barat: “Bernazar dan Pembaharuan Nazar”)
Berazat secara harfiah adalah bernazar. Ini merupakan puncak dari kepasrahan seseorang suatu keluarga tertentu yang mengalami musibah atau mengalami sakit keras, yang menyesakkan. Sedangkan Mulangk ajat, secara harfiah adalah acara pemurnian kembali janji yang telah diikat dengan Tuhant (Tuhan) oleh sebuah keluarga tertentu. Dalam acara ini doanya berisi ucapan syukur atas kehidupan dan kesehatan yang telah diberikan, serta berisi permohonan. Proses hampir sama dengan berajad, tetapi suasananya berbeda. Suasananya gembira, karena ini dilakukan pada pesta GAWAI (Pesta setelah panen padi). Acaranya ditutup dengan makan makanan sajian untuk Tuhant, kecuali keluarga yang bersangkutan.
Di wilayah Kalimantan Barat, tepatnya di kota Sintang, di beberapa desa sekitar 60 Km dari kota Sintang, hiduplah suku dayak yang disebut Dayak Barai. Salah satu desa yang bersuku dayak Barai adalah desa Nanga Lidau (Kampung Nanga Lidau), Kecamatan Kayan Hilir (Nanga Mau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak) (bdk. Alloy, 2008: 95). Ketika ada suatu peristiwa yang mengenaskan menimpa sebuah keluarga tertentu dan membuat hidup mereka tersesak dan menderita, maka perlu diadakan berazat atau bernazar. Bernazar dilakukan saat-saat genting atau dalam keadaan sekarat (sakit keras). Bahan-bahan yang diperlukan adalah beras kuning (beras yang dicampur kunyit); telur ayam kampung; arak; gong dan tikar. Ritual ini diadakan di luar rumah pada malam hari, sekitar pkl. 21.00 ke atas, oleh tukangk tonong (tukang tenung), anggota keluarga bersangkutan dan si sakit. Ada pun prosenya adalah sebagi berikut.
Keluarga pihak yang sakit menyediakan bahan-bahan seperti beras kuning; telur ayam kampung; arak; gong; dan tikar. Orang yang sakit kerat tersebut dibawa ke luar duduk di atas gong dan tikar serta beras dan dipayungi dengan kain. Sambil menghamburkan beras kuning ke atas kepala orang yang sakit, tukang tenung menyampaikan nazar, sesuai dengan kebutuhan si sakit. Kalau dia mau bahwa dirinya diambil oleh Tuhant, disampaikan demikian; kalau dia minta sembuh dan mengikrarkan janji, maka dikatan demikian pula. Setelah berazat dilakukan, si sakit biasanya mengalami apa yang ia inginkan. Ada yang sungguh-sungguh mati dan ada yang hidup dan bahkan berumur panjang.
Berazat merupakan ritual yang jarang sekali terjadi. Ini terjadi sungguh-sungguh sudah kehilangan akal. Sifatnya mendesak dan buru-buru. Dalam suku dayak pada umumnya selain suku dayak Barai, berazat adalah memanggil. Dalam hal ini memanggil Tuhant, sebagai wudud tertinggi dari realitas ada suku dayak Barai. Dalam bahasa dayak Kanayant, dan Mualang Tuhan adalah Jubata (bdk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983: 98-99).
Setelah berazat dilakukan, pada acara tutup tahun atau dalam pesta gawai, nazar atau wujud dari berazat tersebut diperbaharui lagi. Singkatnya perlu ada acara pengukuhan kembali azatan tersebut. Ritual ini jauh lebih meriah dari sebelumnya. Adapun hal-hal yang diperlukan dalam acara ini adalah Ayam tujuh ekor; telur ayam kampung dua belas biji; daging babi seperlunya; bokat (nasi ketan yang dimasak dalam bambu muda); kelongkakngk (keranjang kecil yang terbuat dari bambu) topongk, rompah (kue yang terbuat dari tepung ketan) dan sayur dengan masakan tradisional, tanpa masako atau penyedap rasa instan. Semua bahan masakan harus dari alam. Prosesnya sebagai berikut.
Ritual dibuka dengan doa singkat oleh tukang tenung dalam keadaan menengadah ke atas langit. Setelah itu si penenung menghamburkan beras di sekujur tubuh si sakit debanyak tujuh kali. Kemudian membuat tiang tertentu di arahkan ke mata hari terbit, di situ digantung kelongkang (keranjang kecil) dan diisi dengan nasi, kue, daging babi, daging ayam, semuanya ada yang masak dan mentah, serta arak. Semua itu bertujuan untuk mendamaikan atau simbol pembaharuan nazar. Kebiasaan suku dayak membuat sesajian berangkat dari inspirasi mistos cerita musyawarah antara Buih Nasi dengan Lemambang Sepiya. Jenis sesajian setiap suku berbeda (bdk. Riky, 1980: 26-27).
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia mengakui eksistensi tertentu yang mengatasi dirinya. Gereja Katolik tentu mengakui eksistensi tertinggi adalah Allah dan Tuhan Yesus Kristus. Gereja Katolik pra Konsili Vatikan II masih sangat kaku dengan hal-hal yang bersifat mistik atau tradisional. Dalam hal ini kebudayaan lokal. Seperti misalnya berazat dan mulangk azat. Bila kita mengenakan cakrawala pra konsili vatikan II tentu apa yang bersifat cultural atau praktek-praktek tadi pasti akan dianggap berlawanan dengan ajaran dan dogma Gereja. Tetapi setelah Konsili Vatikan ke II, lahirlah cakrawala baru yang mulai terbuka dengan kepercayaan lain. Konsili Vatikan II menawarkan sikap beriman yang dialogal artinya membuka diri terhadap kebudyaan apa pun untuk membuka dialog. Dialog tidak hanya diarahkan pada persoalan seputar dialog iman, dialok karya, dan atau dialog teologis, tetapi dialog yang bersifat menyeluruh tampa batas walau Gereja memiliki keterbatasan tertentu (bdk. Riyanto, 2014: 228-229).
Dewasa ini kebudyaan lokal sudah semakin pudar, salah satunya ritual mulangk azat dan berazat. Apabila hal ini terus ditinggalkan tentu jati diri suku dayak Barai akan hilang. Dan generasi berikutnya menjadi tidak memiliki kebudayaan aslinya. Oleh sebab itu pembahasan ini menjadi kesempatan bagi kita untuk menghidupkan kembali kebudayaan- kebudayaan kita dayak Barai-Indonesia yang sudah mulai punah. Sebelum punah mari berpikir lebih cermat dan akurat.
Bibliografi
Alloy, Sujarni (dkk), 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Dayakologi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Danandjaja, James, 1993. Cerita Rakyat Dari Kalimantan, Jakarta: PT Grasindo.
Riky, Vedastus, 1980. Beberapa Pandangan dan Sikap Hidup Suku Daya, Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerangan Mawi.
Riyanto, Armada, 2014. Katolisitas Dialogal Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta: Kanisius.
Lihat Juga
Siong ()