Rumangsan (Bahasa Jawa: Merasa atau tahu diri).
Rumangsan merupakan terminologi Jawa yang berarti merasa atau tahu diri. Terminologi ini dipakai dalam salah satu istilah Jawa, yakni ”Manusia Jawa itu Rumangsan”. Istilah “Manusia Jawa itu Rumangsan” mempunyai arti bahwa orang Jawa merasa jika setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukannya selalu diperhatikan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga ia takut melakukan perbuatan yang melanggar tata susila dan kesopanan (Hardjowirogo 1983: 46). Rumangsan menjadi salah satu etika orang Jawa yang melekat dengan sendirinya, mulai dari ketika ia tinggal di tengah masyarakat. Etika ini mengacu pada tindakan kesadaran diri bahwa ia tinggal di tengah-tengah orang banyak.
Di dalam masyarakat Jawa tradisional atau masyarakat desa, rumangsan merupakan corak watak masyarakat Jawa tradisional pada umumnya. Pada kenyataanya, masyarakat Jawa tradisional merupakan masyarakat yang penuh dengan tata-krama. Mereka saling mengenal satu sama lain. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa tradisional dengan sendirinya selalu berusaha memperhatikan segala perkataan dan perbuatan yang dilakukannya karena ia takut jika perkataan dan perbuatannya menyinggung atau tidak berkenan bagi orang lain.
Latar belakang sikap rumangsan lahir di tengah-tengah masyarakat Jawa adalah karena masyarakat Jawa kental dengan budaya malu. Karena merasa malu, maka masyarakat Jawa takut jika melanggar tata-susila dan kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Orang yang tidak memiliki sikap rumangsan ia tidak memiliki rasa malu jika perbuatannya dikritik atau dinilai negatif oleh orang lain. Karena tidak memiliki rasa malu, maka dengan sendirinya ia akan dianggap sebagai orang yang tidak peduli atau acuh dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Orang yang rumangsan mengandaikan bahwa di dalam melakukan perbuatannya ia tidak bebas-sebebasnya, tetapi selalu memperhatikan tata-krama dan keadaan yang ada di luar dirinya. Sebaliknya, orang yang tidak rumangsan ia berlaku seenak dan sesuka hatinya, tanpa memperdulikan situasi dan keadaan orang lain. Bahaya jika orang tidak memiliki sikap rumangsan adalah ia akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Maka untuk menghindari perlakuan negatif dari orang lain, seringkali masyarakat Jawa menyembunyikan dan menutup-nutupi segala tindakan yang tidak dibenarkan oleh norma-norma dalam masyarakat yang berlaku.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa tradisional peka terhadap perasaan dan pendengarannya terhadap segala pembicaraan tentang dirinya. Maka ada ungkapan Jawa yang mengatakan bahwa sing sapa rasa risi, artinya barang siapa merasa, tidak enaklah perasaannya. Oleh karena perasan ini, orang sulit untuk berani berbuat sesuai dengan keyakinannya, sebab ia selalu merasa diperhatikan mengenai segala perbuatannya. Padahal pada kenyatannya orang selalu sibuk dengan urusannya masing-masing.
Kepekaan masyarakat Jawa tradisional terhadap penilaian dari orang lain terhadap dirinya kadang-kadang keterlaluan. Ia menjadi takut untuk melakukan segala sesuatu secara terbuka oleh karena penilaian orang lain yang bisa menjadi sumber perbincangan dan membuat malu dirinya. Karena ia wedi isin (takut malu), ia pun berusaha menjauhkan diri dari segala perbuatan yang bisa mengakibatkan rasa malu itu (Hardjowirogo 1983: 47). Inilah yang menjadi dampak negatif apabila masyarakat Jawa tradisional terlalu menekankan sikap rumangsan secara berlebihan.
Sikap rumangsan yang merupakan tindak-tanduk orang Jawa tidak diajarkan secara langsung, melainkan lahir dari kesadaran bahwa kehidupan bersama memerlukan suatu rasa hormat terhadap satu sama lain. Salah satu contoh sikap rumangsan yang diungkapkan oleh orang Jawa tradisional yakni unggah-ungguh orang muda terhadap orang yang lebih tua.
Dalam kehidupan bersama, masyarakat Jawa sangat menekankan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua atau dituakan. Ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda mempunyai kewajiban untuk memberi rasa hormat baik dalam perkataan atau bahasa dan dalam perbuatan. Orang Jawa yang memiliki rasa sungkan atau malu ia akan memberikan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai rasa malu, ia akan memperlakukan semua orang sama dengan dirinya. Orang yang tau tata krama tetapi tidak memberikan rasa hormat kepada orang lain, maka ia akan rumangsa atau merasa bahwa ada orang yang menilainya negatif berdasarkan penilaian dari orang lain. Orang Jawa sendiri mempunyai penilaian terhadap tata perilaku setiap orang.
Pada masyarakat Jawa dewasa ini, sikap rumangsan tampaknya tidak terlalu kelihatan atau mungkin dilupakan dalam kehidupan bersama. Orang tidak lagi terlalu mementingkan apa yang dilakukan oleh orang lain, sehingga sikap rumangsa tidak menjadi pertimbangan dalam melakukan suatu perbuatan. Pada zaman ini, orang lebih mementingkan apa yang baik bagi dirinya, tetapi tidak memperhatikan situasi yang dihadapi oleh orang lain. Kata rumangsan sendiri telah disalah artikan. Rumangsan yang semula berarti merasa bahwa tindakannya dinilai orang lain, sekarang orang rumangsan atau merasa jika dirinya adalah yang paling benar dan baik. Dari persoalan ini, ada pergeseran makna dari kata rumangsan.
Dalam ranah etika Jawa, ada dua kaidah dasar yang menentukan pola pergaulan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kaidah pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Menurut Hildred Geertz, kaidah pertama disebut prinsip kerukunan, sedangkan kaidah yang kedua disebut sebagai prinsip hormat (Magnis-Suseno 1984: 38).
Berdasarkan kedua kaidah dalam hidup orang Jawa, sikap rumangsan merupakan salah satu wujud dari kaidah kedua yang mengutamakan prinsip hormat kepada orang lain. Prinsip hormat kepada orang lain harus mengandaikan bahwa orang tahu diri atau rumangsan dengan siapa ia berbicara dan bertingkah laku. Ketika orang tahu diri, maka ia akan sendirinya merasa bahwa yang dilakukannya itu juga baik bagi orang lain. Oleh karena itu, sikap orang Jawa yang rumangsan manunjukkan prinsip hormat kepada orang lain, lebih dari itu ia sadar akan dirinya sendiri.
Pada akhirnya, sikap orang Jawa yang rumangsan dapat menjadi gambaran dari sebuah relasi antara aku dan liyan. Relasi antara aku dan liyan adalah relasi yang bebas tetapi bertanggung jawab (Riyanto 2011: 81). Dalam kebebasan yang dimiliki oleh manusia, ia dihadapkan dengan suatu batasan. Batasannya adalah tanggung jawab. Inilah yang mengakibatkan manusia terikat pada yang lain. Oleh karena itu, sikap rumangsan mengarahkan orang pada kesadaran bahwa dirinya berada di tengah orang banyak dengan tanggung jawab, kesadaran dan rasa hormat terhadap liyan.
Bibliografi
Hardjowirogo, Marbangun, 1983. Manusia Jawa, Jakarta: Yayasan Idayu.
Magnis-Suseno, Franz, 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia.
Riyanto, Armada, 2011. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication.
Lihat Juga
Kenduri (Kediri, Jawa Timur: Hal memberi dukungan dan doa keselamatan). | Sanyari Bumi (Bahasa Jawa: Sejengkal tanah). |
Yohanes Basticovan ()