Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Sanyari Bumi (Bahasa Jawa: Sejengkal tanah).


Sanyari bumi adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang dapat diartikan dengan sejengkal tanah (Purwadi 2005: 456). Terminologi ini sering dipakai dalam ungkapan sadumuk batuk, sanyari bumi yang berarti sesentuh dahi sejari bumi. Ungkapan ini memiliki arti yang tersirat, yakni manusia harus berani mempertahankan tanah miliknya, supaya tidak direbut oleh orang lain.

Dalam budaya Jawa, berbicara tentang hidup manusia berarti juga berbicara tentang masalah tanah. Orang Jawa selalu menghubungkan kehidupannya dengan tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Dalam segala aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pasti ada kaitannya dengan tanah atau lingkungannya, misalnya selametan sedekah bumi yang merupakan upacara untuk mensyukuri segala hasil bumi. Bagi orang Jawa, berbicara tanah berarti berbicara soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah merupakan sumber penghasilan dan makanan mereka. Dalam kehidupannya, orang Jawa mempunyai ketergantungan dengan alam. Bahkan alam dianggap sebagai sesuatu yang hidup, maka perlu ada sesaji untuk menunjukkan penghormatan terhadap alam yang dianggap mempunyai nilai mistis.

Keberadaan tanah bukan hanya sebagai suatu kebutuhan tempat tinggal saja, tetapi merupakan faktor pendukung tumbuh berkembangnya segala aspek kehidupan, misalnya dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, setiap orang pasti akan mempertahankan tanah yang dimilikinya, karena memiliki nilai yang sangat penting dalam perjalanan hidupnya. Latar belakang inilah yang menjadikan orang Jawa sangat dekat dengan kosmos, terlebih berkaitan dengan tanah yang menjadi pijakannya.

Bagi orang Jawa, tanah merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diwariskan melalui para leluhur mereka. Tanah harus dikelola sebaik-baiknya agar bisa bermanfaat. Di atas tanah yang dimilikinya, kekuasaan seseorang atau suatu bangsa bersandar. Tanah merupakan modal utama dan sangat berharga, bukan saja bagi para petani, namun juga bagi semua orang. Sistem tumpang sari bagi petani adalah contoh pemanfaatan tanah secara optimal. Penanaman sayur-sayuran di pekarangan rumah juga menjadi salah satu cara pemanfaatan tanah. Maka, tidak heran jika di pedesaan banyak keluarga yang mempunyai pekarangan yang ditanami banyak aneka jenis tanaman, seperti bunga dan sayur-sayuran.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa memiliki keterikatan dengan tanah yang menjadi tempat tinggalnya. Tanah dianggap sebagai ada yang lain, yang berarti mempunyai kehidupan, bergerak, dan dapat lenyap atau mati. Karena itu, orang Jawa memandang alam sebagai dirinya yang lain. Sebagai yang lain, alam dipandang memiliki nilai mitis yang juga harus dihormati oleh manusia. Tanah menjadi sumber kehidupan dan menjadi pemenuh kebutuhan manusia. Orang Jawa tidak hanya memandang bahwa tanah memiliki fungsi sebagai pemenuh, tetapi juga sebagai titipan dari leluhur yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik.

Masyarakat Jawa dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil. Dalam lingkungan ini, ia menemukan identitas dan keamanan hidupnya. Melalui upacara-upacara penghormatan terhadap alam atau tanah menjadikan orang Jawa sebagai orang yang dekat dengan alam. Kedekatan inilah yang kemudian menjadi identitas bagi orang Jawa yang disebut sebagai masyarakat yang selalu menganggap bahwa tanah atau alam mempunyai kekuatan sendiri. Salah satu contoh dari identitas tersebut terungkap dalam salah satu upacara Jawa, misalnya upacara sedekah bumi.

Ritual sedekah bumi (Bayuadhy 2015: 82) yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat Jawa ini merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Menurut cerita dari para nenek moyang orang Jawa dahulu, tanah itu merupakan pahlawan yang sangat besar bagi kehidupan manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah harus diberi penghargaan yang layak dan besar. Ritual sedekah bumi inilah yang menurut mereka sebagai salah satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat Jawa, khususnya para petani untuk menunjukan rasa syukur dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia.

Dalam etika Jawa, upacara sedekah bumi merupakan gambaran dari manusia yang senantiasa bergantung pada alam semesta dan terikat dengan apa yang ada di sekitarnya. Prinsip etika ini ditunjukkan dalam rasa hormat mereka kepada Tuhan Sang Pencipta dan roh leluhur yang dianggapnya sebagai panutan. Mereka dianggap sebagai pelaksana dari pemenuhan kebutuhannya, yang menghasilkan berbagai hasil bumi.

Upacara sedekah bumi memiliki makna bahwa bagi orang Jawa manusia memiliki keterbatasan kemampuan dalam menghadapi tantangan hidup, terlebih segala tantangan atau persoalan yang berasal dari alam. Upacara ini merupakan bagian dari pola hidup manusia yang sangat tergantung pada keadaan alam. Inilah yang menjadi salah satu contoh bahwa dari alam, orang Jawa menemukan identitasnya.

Berkaitan dengan alam (tanah), orang Jawa memiliki konsep Sangkan Paraning Dumadi. Konsep Sangkan Paraning Dumadi merupakan pandangan hidup kejawen yang membicarakan asal-usul dan tujuan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Menurut pandangan kejawen, manusia dan segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari Tuhan dan kelak akan kembali kepada-Nya (Endraswara 2015: 199). Alam sendiri merupakan tempat dimana Tuhan berada. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang mengapa orang Jawa mempunyai tradisi untuk membuat sesajen terhadap tanah atau suatu tempat yang dianggap sakral.

Pada jaman sekarang ini, manusia tampaknya telah merubah sikapnya yang semula menghormati alam menjadi serakah dengan menjadikan alam sebagai sarana pemuasnya. Hal dapat diamati dari banyaknya pohon yang ditebangi tanpa melalui sistem tebang pilih. Manusia hanya melihat bahwa tanah adalah sesuatu yang menghasilkan dan hanya untuk dirinya sendiri. Alam tidak lagi dihormati sebagai warisan dari para leluhur yang harus dilestarikan. Tindakan manusia semacam ini merupakan tindakan yang tidak menghargai keindahan alam. Padahal, tanah atau alam merupakan sesuatu yang indah.

Dalam ranah filsafat, alam (tanah) merupakan sesuatu yang menghasilan keindahan. Di musim semi, pohon yang gundul mulai bertumbuh termasuk segala jenis bunga-bunga. Semua orang yang memandang pasti merasakan keindahan yang dihasilkan oleh alam. Keindahan ini merupakan bentuk dari keramahan yang ditampilkan oleh alam. Seperti halnya orang Jawa, keramahan alam ditampilkan melalui hasil dari tanah, misalnya melalui hasil pertanian.

Aristoteles menyebut bahwa manusia sejauh hidup di dunia pastilah tidak kekurangan apapun, sebab segalanya sudah disediakan oleh alam (Riyanto 2013: 37). Bagi orang Jawa, kesadaran bahwa alam sebagai ibu kiranya tidak lepas bahwa alam telah menyediakan segala sesuatu bagi manusia. Oleh karena itu, tanah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan alam harus dihormati dan dijaga keluhurannya.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Bayuadhy, Gesta, 2015. Tradisi-tradisi Adiluhung para Leluhur Jawa, Yogyakarta: Dipta.

    Endraswara, Suwardi, 2015. Agama Jawa, Yogyakarta: Narasi.

    Purwadi, 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Bina Media.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Kenduri (Kediri, Jawa Timur: Hal memberi dukungan dan doa keselamatan).  Rumangsan (Bahasa Jawa: Merasa atau tahu diri). 

    Oleh :
    Yohanes Basticovan ()