| Tentang EFWSKenduri (Kediri, Jawa Timur: Hal memberi dukungan dan doa keselamatan).
Kenduri merupakan adat masyarakat Jawa yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hajat tertentu dengan mengundang keluarga dan para tetangga yang ada di sekitar rumah. Tujuannya yakni meminta tolong para tetangga untuk ikut mendoakan keselamatan dan kebahagiaan dari orang yang mempunyai hajat. Kenduri sering disebut juga dengan kenduren, kondangan, dan selamatan.
Ada beberapa macam kenduri dalam tradisi Jawa, yakni kenduri mitoni, kenduri puputan, kenduri selapanan, kenduri suronan, kenduri munggahan, kenduri bakdan, kenduri selikuran, kenduri syukuran, dan kenduri weton (Bdk. Bayuadhy 2015: 18-21). Pada hakikatnya, tujuan orang Jawa melakukan hajat kenduri adalah untuk meminta doa dari tetangga atau kerabat agar apa yang diinginkan oleh orang yang mempunyai hajat tercapai, selamat, serta bahagia selama hidup di dunia dan akhirat.
Di daerah Kediri, Jawa Timur, biasanya warga yang diundang kenduri adalah laki-laki yang telah berkeluarga (kepala keluarga). Tetapi jika laki-laki yang menjadi kepala keluarga tidak berada di rumah biasanya digantikan oleh anak laki-laki yang paling tua agar orang yang mempunyai hajat tidak perlu mengantarkan. Namun, sekarang ini sangat jarang anak laki-laki yang mau menggantikan ayahnya untuk datang ke acara kenduri.
Acara kenduri pada umumnya dilakukan pada malam hari setelah lebih dari jam tujuh malam. Hal ini dilakukan karena orang-orang yang bekerja sudah pulang dan berada di rumah. Akan tetapi, sesuai keperluan terkadang acara kenduri dilakukan pada waktu yang telah disesuaikan dengan keperluan. Akan tetapi, jika kenduri dilakukan pada siang atau sore hari kebanyakan tetangga yang diundang tidak berada di rumah. Oleh karena itu, jika kenduri dilakukan pada waktu siang atau sore hari, biasanya hanya sedikit orang yang bisa datang. Misalnya, acara kenduri untuk mendoakan orang yang telah meninggal dilakukan pada malam hari, tetapi kenduri untuk mendoakan anak-anak biasanya dilakukan pada waktu sore hari karena si anak belum tidur.
Pada saat acara kenduri, ada satu orang yang ditunjuk untuk ngujupke (mengikrarkan). Orang yang dipercaya untuk ngujupke sekaligus dimintai tolong untuk memimpin acara kenduri. Biasanya, orang yang dimintai tolong untuk ngujupke adalah orang yang dituakan atau tokoh agama yang ada di daerah tersebut. Orang yang dimintai tolong untuk ngujupke bukan hanya sekedar mengikrarkan hajat orang yang mengadakan kenduri, tetapi juga memimpin doa sesuai dengan keinginan orang yang mempunyai hajat. Pada saat orang yang ngujupke tadi mendoakan orang yang mempunyai hajat, orang-orang yang datang mengikutinya dengan mengucapkan “amin”.
Setelah acara kenduri selesai, orang-orang yang mengikuti kenduri mendapatkan berkat dari orang yang mempunyai hajat. Berkat terdiri dari nasi, sayur, dan lauk dalam satu wadah. Jika ada tetangga yang diundang ternyata tidak datang karena memiliki urusan yang sama-sama penting, biasanya berkat tersebut dititipkan kepada tatangga terdekat atau bisa juga diantar langsung oleh orang yang mempunyai hajat kenduri. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai hajat kenduri juga menghargai orang yang telah diundang karena memang memiliki urusan yang sama pentingnya. Jadi, orang yang mempunyai hajat sudah menyediakan berkat bagi semua orang yang diundang. Artinya, berkat bukan hanya untuk tamu undangan yang datang, tetapi juga menjadi hak bagi orang yang tidak datang karena memang memiliki kepentingan lain, termasuk jika orang yang diundang tersebut sedang merantau.
Pada saat diundang kenduri, biasanya jarang ada orang yang menolak. Apabila orang yang diundang tidak bisa datang biasanya orang tersebut menyampaikan halangan yang membuat dirinya tidak bisa datang pada saat acara kenduri. Orang yang datang pada acara kenduri bukan karena tertarik pada berkat-nya, tetapi lebih untuk membantu doa bagi orang yang mempunyai hajat kenduri. Dengan ikut kenduri, para tetangga dapat mengetahui keadaan orang yang mempunyai hajat kenduri. Orang tersebut akan merasa senang karena para tetangga yang diundang menyempatkan diri untuk hadir. Jadi, ada unsur saling berharap di antara pihak yang melaksanakan hajatan kenduri dengan para tetangga yang diundang.
Kenduri telah menjadi tradisi di Jawa sejak puluhan tahun yang lalu. Selaim bernilai saling membantu doa, kenduri juga tempat komunikasi sosial antar warga. Dapat dikatakan bahwa kenduri menjadi semacam tempat diskusi yang tidak formal antar warga. Misalnya, pada saat datang ke acara kenduri, warga saling bertanya tentang kabar, membicarakan hasil panen, sekolah anak-anak, atau berita-berita yang sedang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat tersebut. Keakraban antar warga tercipta saat menghadiri pertemuan di rumah orang yang mempunyai hajat kenduri.
Sebagai orang Jawa, masyarakat Jawa memiliki watak momot (menampung) dan kamot (penampung) yang artinya mampu menerima berbagai perbedaan demi kebaikan bersama. Perbedaan semacam ini bukan dijadikan sebagai bahan pertikaian, tetapi justru memperkaya budaya Jawa. Prinsip desa mawa cara, Negara mawa tata (tiap-tiap daerah mempunyai aturan masing-masing yang wajib dihargai) merupakan falsafah Jawa adiluhung dalam mempersatukan warga masyarakat (Bayuadhy 2015: 17). Dengan adanya pertemuan dalam acara kenduri, warga bisa mengambil banyak manfaat. Kenduri bisa dijadikan sebagai sarana untuk menjaga kebersamaan dan persatuan, silahturami untuk memulihkan keretakkan, gesekan, dan konflik antar warga.
Dalam etika Jawa, pertengkaran dengan siapapun akan mengakibatkan anugerah rejeki semakin jauh. Dalam hal ini, orang Jawa berprinsip aja nganti kepaten pasaban (jangan sampai kehilangan tempat bergaul). Manusia adalah makhluk sosial, karena itu agar tercipta kerukunan harus selalu melakukan silahturami (Endraswara 2003: 85). Salah satu bentuk dari silahturami dalam budaya Jawa adalah kenduri.
Dalam ranah filsafat, acara kenduri dalam budaya Jawa merupakan salah satu bentuk untuk membangun societas dalam kehidupan bersama. Aristoteles adalah filsuf yang pertama mengajar kita bagaimana societas itu muncul. Menurut Aristoteles, manusia memiliki kodrat menyatu dengan societas. Tidak penting memikirkan kapan societas itu muncul. Baginya, yang paling penting adalah manusia itu memiliki kodrat sosial, dan karena itu societas adalah kodrati bagi manusia (Riyanto 2013: 207). Karena kodrat inilah maka manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Societas yang dibangun dalam masyarakat Jawa bukanlah kehidupan bersama yang dibangun berdasarkan jabatan atau golongan, tetapi societas itu merupakan kodrat yang melekat dalam diri manusia. Dalam hal ini, orang Jawa sangat menekankan pentingnya relasi yang baik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Relasi ini dibuktikan dengan rasa hormat atas undangan dari orang lain, seperti undangan untuk mengikuti acara kenduri. Tanggapan atas undangan dalam acara kenduri merupakan salah satu bentuk bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Dengan demikian, istilah manusia adalah makhluk sosial merupakan identitas dari manusia, termasuk societas dalam masyarakat Jawa yang dibangun dalam acara kenduri.
Bibliografi
Bayuadhy, Gesta, 2015. Tradisi-tradisi Adiluhung para Leluhur Jawa, Yogyakarta: Dipta.
Endraswara, Suwardi, 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.
Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.
Lihat Juga
| Rumangsan (Bahasa Jawa: Merasa atau tahu diri). | Sanyari Bumi (Bahasa Jawa: Sejengkal tanah). |
Yohanes Basticovan ()