Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Jambar (Batak Toba, SUMUT: Hak atau Bagian)


Jambar adalah istilah yang sangat khas Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang). Kultur Batak menyebutkan ada 3(tiga) jenis jambar. Yaitu: hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).

Jambar bagi masyarakat Batak toba adalah unsur yang sangat penting dalam upacara pesta adat. Adat dan jambar adalah dua aspek yang saling berkaitan dalam struktur sosial adat, sehingga keduanya tak dapat dipisahkan. Pelaksanaan pesta adat, adat dan jambar terealisasi dalam sistem kemasyarakatan masyarakat Batak Toba (Dalihan Na Tolu). Peranan Dalihan Na Tolu dalam pelaksanaan pesta adat dan parjambaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kelangsungan adat. Hambar adalah bagian yang diterima oleh seseorang di acara adat sesuai dengan posisinya dalam acara tersebut (Sinaga, 2006:39). Posisi yang dimaksud adalah kedudukannya dalam dalihan na tolu berdasarkan pengertian tersebut, jambar menjadi simbol yang kongkrit dan pertalian hubungan kekerabatan antara yang berpesta (suhut) dengan anggota masyarakat lainnya. Jambar menjadi perwujudan hubungan timbal balik sesama anggota adat dalam komunitas masyarakat Batak Toba. Melalui perjambaran hubungan suhut dengan anggota masyarakat lainnya diperlihatkan dengan jelas.

Masyarakat Batak Toba yakin bahwa jambar merupakan sarana untuk menjelaskan tata urutan kelahiran dalam sturktur Dalihan Na Tolu. Mereka memandang jambar sebagai sarana untuk memohon berkat dari yang Maha Kuasa dan hidup baik dan mempererat persahabatan (persaudaraan) dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan pesta adat, jambar dilakukan sesuai dengan nama dan wujudnya, antara lain jambar hata (kata) yang diwujudkan dalam kata-kata nasehat, jambar hepeng (uang) yang diwujudkan dalam bentuk uang. Jambar tortor yang diwujudkan dengan cara manortor dan jambar juhut (daging) yang diwujudkan dalam daging yang dibagi-bagikan dalam pesta adat.

Awalnya jambar adalah potongan-potongan daging dari tubuh hewan yang disembelih pada pesta adat dan diberikan kepada undangan. Kemudian jambar ini berkembang menjadi beberapa jenis yaitu jambar juhut (daging), jambar hepeng (uang), jambar hata (kata) dan jambar tortor. Ada dua hal yang menyebabkan munculnya kebiasaan ini yaitu kebiasaan orang tua membawa oleh-oleh kepada anaknya, mitos raja panungkunan (Sihombing, 1987:25-30). Orang Batak Toba sangat ingin mempunyai anak, karena mereka sangat sayang terhadap anaknya, itulah sebabnya, kalau orang hendak memberi doa restu (istilah batak toba: mamasu-masu) ia selalu menitik berkat permohonan, agar Tuhan memberikan hagabeon (banyak anak) berkat tidak pernah dicapai dengan menemukan hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan). Menurut filsafat masyarakat Batak Toba hagabeon itulah kekayaan dan kemakmuran, kekuasaan dan kekuatan dan derajat yang tinggi. Cinta yang meluap-luap kepada anak itulah yang seolah-olah memaksa orang Batak Toba selalu membawa oleh-oleh kepada anaknya, apabila pulang dari perjalanan atau pasar dan terlebih ketika pulang dari perjamuan pesta adat. Bagi mereka tidak membawa sedikit gulai bagi anaknya adalah sesuatu yang pantang dilakukan. Untuk zaman itu orang masih belum mengenal perjambaran juhut maka ia menyisihkan dan membungkus sebagian dari gulai yang tersaji untuknya. Tuan rumah yang melihat perbuatan itu tentu merasa solider, karena nidophoh roha (ia pun akan berbuat demikian juga). Maka ia menawarkan kepada tamunya membawa untuk melengkapi bungkusan tersebut dengan sepotong daging atau ikan yang masih tersisa. Tentunya hal ini disambut oleh tamunya dengan baik dan gembira. Lama-kelamaan hal ini menjadi kebiasaan, setiap perjamuan atau pesta adat tuan rumah selalu memberi undanganya sepotong daging atau ikan untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh (tomu-tomu) bagi anaknya.

Jambar memberikan pemahaman nyata yang mudah dimengerti untuk menggambarkan hubungan-hubungan sosial atau kekerabatan masyarakat Batak Toba. Jambar merupakan simbol adat Batak Toba yang digunakan sebagai ungkapan penghormatan dan persembahan keutuhan Dalihan Na Tolu. Jambar dalam adat pernikahan Batak Toba yang hingga sekarang digunakan adalah jambar juhut (daging), jambar hata (kata), jambar sinamot (uang) dan jambar dengke (ikan). Pihak keluarga mempelai memberikan penghormatan kepada keluarga mempelai yang lain melalui benda material jambar yang diyakini mampu membangkitkan semangat kekeluargaan masyarakat Batak Toba.

Pengertian solidaritas sosial menurut Emile Durkheim adalah satu keadaanhubungan antara individu atau kelompok berdasarkan pada kesadaran kolektif, kepercayaan dan nilai/norma yang dianut bersama. Solidaritas sosial diperkuat dengan pengalaman emosional bersama dalam memahami simbol-simbol yang telah ada dalam sebuah budaya. Masyarakat memperkuat emosi-emosi bersama tersebut melalui hubungan yang lebih dekat dan dinamis melalui simbol-simbol religius yang digunakan. Durkheim menggunakan istilah totemik terhadap simbol-simbol yang menggenggam makna kolektivitas tersebut. Perasaan manusia dapat tersentuh terhadap sesuatu yang muncul dari dalam diri individu yang ditransmisikan terhadap simbol yang merepresentasikan makna kolektivitas sehingga totem menjadi sesuatu yang dicintai, dihormati, ditakuti. Masyarakat merasa bertanggung jawab secara moral sehingga wajib untuk menjalani hidup berdasarkan keinginan kekuatan tradisi yang telah ada. Masyarakat sangat takut dan gentar sehingga harus menghormati dan mengagungkan the sacred. The sacred menurut Durkheim adalah masyarakat yang merupakan makhluk sosial yang memiliki kesadaran kolektif untuk menciptakan solidaritas sosial.

  • Lihat Juga

  • Lihat Juga

    Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (Batak Toba, SUMUT: Kekayaan, keturunan, kehormatan)  Mangase Taon (Batak Toba, SUMUT: Perayaan Tahun Baru) 

    Oleh :
    Joan Nami Pangondian Siagian ()