Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (Batak Toba, SUMUT: Kekayaan, keturunan, kehormatan)


Hamoraon, hagabeon dan hasangapon, lazim disebut 3H, ada yang mengatakan sebagai cita-cita tertinggi orang Batak sejati. Unsur hamoraon dan hagabeon ialah prasyarat memperoleh hasangapon. Itulah adat Batak, yang tentu saja tidak senafas dengan kekristenan. Sebab subtansi kekristenan adalah kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia.

Hamoraon secara harafiah artinya kekayaan, banyak harta benda. Namun, hamoraon adalah sangat relatif. Orang kaya desa dan orang kaya di Kota tentu tidak sama. Orang Batak berkata: anakkhonki do hamoraon di ahu (anakku adalah kekayaan). Sebab anak-anak sudah jadi dan mandiri tak akan membiarkan orangtuanya susah. Kalau kita sadar bahwa anakkhonki do hamoraon di ahu (anak harta yang berharga), harta perlu untuk masa depannya. Untuk melaksanakan acara adat, manat mardongan tubu, elek marboru dan somba marhula-hula (sopan dengan satu marga, sayang dan peduli kepada anak perempuan), perlu ada harta katakanlah sibahenon ni tangan. Hidup berkecukupan sesuai dengan kebutuhan itulah kekayaan (hamoraon) menurut ukuran Batak.

Jadi orang Batak malu kalau sampai beban keluarga, apalagi sampai beban masyarakat seperti pengemis. Yang perlu diwaspadai dan cenderung menjadi salah ialah ala ni hamoraon, syok mengatur dan memaksakan kehendak. Keinginannya, hanya dia yang di dengar tanpa mau berusaha mendengar suara dan jalan pikiran temannya. Hamoraon ditinjau dari segi iman Kristen, menurut (Sinaga, 2006: 38) tidaklah salah malah sangat diperlukan. Sebagai manusia Batak yang hidup dalam lingkungan masyarakat maka hamoraon sangat penting dimana bisa membantu sesama atau dalam istilah batak di atas tadi “sibahenon ni tangan”(perbuatan tangan kasih).

Hagabeon ialah berketurunan, maranak marboru (punyak anak laki-laki dan perempuan). Menurut ukuran adat budaya Batak, seseorang yang berketurunan itu disebut: napupur tu angina na maup tu alogo. Artinya seorang yang tidak berketurunan itu, terputuslah tali silsilahnya. Orang batak menganut sistem patriarkal, maka penyambung tali silsilah itu adalah anak laki-laki.salahkah atau berdosakah orang Batak yang mendambakan maranak marboru?. (Sinaga, 2006: 38), orang batak mendambakan maranak marboru (mempunyai anak) tidaklah salah. Hanya saja tidak lagi seperti Batak yang dulu yang mendambakan anak yang banyak. Dambakanlah anak semampu anda mengurusinya. Jangan hanya melahirkan (unang holan manubuhon) kalau memang tidak mampu mengurusinya. Jangan ikut-ikutanlah orang Batak terekspor ke luar negeri jadi hatoban (budak) demi mempertahankan hidup.

Kalau ada orang berpendapat bahwa menikah atau tidak menikah sama saja nilainya. Bahkan bagi sebagian orang demi karir, demi prestasi dan kesenangan pribadi dianggap sama bahkan lebih penting dari menikah dan mempunyai anak, itu boleh-boleh saja, tetapi perlu diwaspadai sebagai akibat dari membudayanya hubungan bebas seks. Sebab kalau dia manusia normal dia membutuhkan seks. Menurut (Sinaga, 2006: 39) salah satu dambaan orang batak, bukan cita-cita tertinggi orang batak adalah berketurunan. Maranak marboru (mempunyai anak), wajar-wajar saja dan tidak bertentangan dengan iman Kristen.

Hasangapon, ialah kemuliaan atau kehormatan. Semua orang ingin dihormati. Kalau ada orang mengatakan unsur hasangapon itu diperoleh setelah memiliki unsur hamoraon dan hagabeon, itu tidak benar. Itu bukan adat batak dan janganlah adat batak itu dikambinghitamkan. Menurut (Sihombing, 1987:40) seorang pemerhati adat budaya Batak, kalau anda ingin sangap berilah sangap (hormat) kepada orang yang pantas dipasangap. Sapalah seseorang dengan sapaan kekerabatan yang tepat. Jangan lebih tinggi tempat dudukmu walaupun lebih tinggi pangkatmu atau banyak hartamu. Jangan cepat-cepat menerima jambar hata kalau belum dipersilahkan atau kalau masih ada yang lebih tepat menerima jambar hata itu. Begitu kalau ingin sangap di adat batak. Hasangapon atau supaya dihormati orang hendaklah menghormati aturan-aturan yang berlaku di lingkungan masyarakat dimana anda berada (Sinaga, 2006:40). Jangan hormati seseorang hanya karena hamoraonna (kekayaan), tetapi hormatilah dia karena perbuatan baiknya.

Falsafah Hamoraon, hagabeon, hasangapon yang dikenal sebagai cita-cita masyarakat batak Toba bukanlah hal yang asing ditelinga masyarakat Batak Toba. Pada dasarnya falsafah merupakan hasil buah pemikiran manusia yang dipegang secara terus menerus sehingga memiliki nilai hidup yang dijadikan pegangan dan pedoman bagi manusia atau generasi penerus selanjutnya. Demikian juga dengan falsafah Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon juga memiliki sejarah penjang yang merupakan proses terbentuknya pemikiran ini menjadi sebuah falsafah. Menurut asal katanya Hamoraon berasal dari kata “mora” yang berarti kaya dan hamoraon berarti kekayaan. Hagabeon berasal dari kata “gabe” yang berarti memiliki keturunan atas kelahiran anak laki-laki dan hasangapon yang berasal dari kata “sangap” yaitu hormat memiliki arti kehormatan.

Adapun bentuk implementasi yang dilakukan masyarakat Batak Toba dalam mencapai Hamoraon,Hagabeon,Hasangapon adalah hamoraon dapat dicapai dengan cara bekerja keras dan mencapai kekayaan, namun kekayaan yang dimaksud bukan saja berbentuk materi dan kekayaan secara ekonomi namun kekayaan yang paling berharga adalah ketika anak-anak dalam keluarga Batak Toba dapat bersekolah tinggi dan mencapai kesuksesan. Hagabeon dapat tercapai dengan cara menikah dan memiliki keturunan, dan hasangapon dapat terwujud dengan cara ketika seseorang telah mencapai Hamoraon dan Hagabeon serta menerapkan Dalihan Natolu dalam hidupnya.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Sinaga Richard. 2006. Beberapa Pemikiran Dalihan Natolu, Jakarta: Dian Utama.

    Sihombing, 1987. Jambar Hata, Jakarta: Tulus Jaya.


    Lihat Juga

    Mangase Taon (Batak Toba, SUMUT: Perayaan Tahun Baru)  Jambar (Batak Toba, SUMUT: Hak atau Bagian) 

    Oleh :
    Joan Nami Pangondian Siagian ()