
Martutu Aek (Bahasa Batak Toba, Bakara, SUMUT: “Ritual pemberian nama pada bayi yang baru lahir”)
Di wilayah Tapanuli Utara, tepatnya di Bakara, sekitar 120 KM dari kota Medan hiduplah suku batak Toba. Desa Bakara ini merupakan sebuah desa yang sangat indah karena berada di kaki bukit dan dikelilingi oleh Danau Toba. Di wilayah ini masyarakat dahulu memegang teguh adat istiadat nenek moyang. Dari tempat ini kita akan tahu bahwa ada begitu banyak ritual yang sudah ditinggalkan masyarakat Batak Toba dewasa ini. Salah satu ritual yang dimaksud ritual martutu aek. Ritual ini menjadi begitu istimewa karena dalam perjalanan waktu hingga saat ini, ritual ini sering dilihat sebagai sakramen pembabtisan sebelum masyarakat Batak Toba mengenal agama Kristiani.
Di wilayah ini apabila seorang anak lahir, terutama anak sulung yang dalam bahasa Batak Toba disebut anak buha baju, maka pihak keluarga akan mengadakan acara khusus untuk menyambutnya yang disebut dengan mangallang esek-esek (hal makan bersama sebagai tanda kegembiraan). Dalam merayakan hari bersuka cita ini, keluarga akan memotong seekor ayam jantan atau betina sesuai dengan jenis kelamin bayi yang baru lahir.
Acara mangallang esek-esek ini dilakukan segera setelah bayi lahir dengan selamat. Dalam merayakan suka cita ini, biasanya pihak keluarga hanya mengundang keluarga-keluarga terdekat untuk menghadirinya. Biasanya sebelum para tamu makan maka keluarga harus terlebih dahulu memberikan makan kepada yang melahirkan kemudian menyusul para keluarga dekat. Sembari makan para tamu akan memberi harapan-harapan atau doa-doa kepada anak yang baru lahir dengan menyentuh tubuh bayi yang baru lahir sebagai tanda bahwa keluarga sudah lama merindukannnya.
Sejak hari pertama bayi lahir sampai hari ke tujuh, setiap malam hari itu para tetangga akan datang dan berkumpul di rumah keluarga yang melahirkan. Tujuan utama berkumpulnya para tetangga itu adalah untuk mendukung dan menjaga si ibu yang baru melahirkan. Karena cuaca yang sangat dingin maka setiap perempuan yang baru melahirkan biasanya tidur di sebuah tempat tidur khusus dimana penghangat yaitu api arang yang terus menyala bisa diletakkan di bawah tempat tidur ( Bdk. Richard Sinaga: 1998:237). Selain itu para tetangga yang berjaga juga memiliki tanggungjawab bila perempuan yang baru melahirkan membutuhkan sesuatu.
Richard Sinaga (1998:234) mengatakan bahwa Martutu aek adalah pembaptisan dengan air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh hari) dengan membawanya ke homban (mata air yang mangalir). Upacara ritual ini dimulai dengan membawa bara ni anduhur (bara api di dalam periuk). Karena menurut kepercayaan orang Batak saat itu bara api dalam periuk ini dapat mengusir roh jahat yang diyakini sering mengganggu bayi. Kemudian setelah tiba di tempat mata air, doa yang disampaikan oleh Ulu Punguan ( kepala adat) kepada Mulajadi na Bolon (sebutan Allah untuk orang batak Toba). Kemudian sang Ulu Punguan membentangkan ulos ragi idup (selendang) pada permukaan pasir. Kemudian Ulu Punguan meneteskan minyak kelapa ke dalam cawan yang telah berisi jeruk purut untuk memastikan bahwa tondi (roh) si bayi tersebut berada di dalam badan. Setelah itu, bayi yang hendak diberi nama dimandikan di mata air.
Ulu Punguan lalu menyapukan kunyit ke tubuh bayi dan menguras bayi tersebut degan jeruk purut. Setelah diuras, Ulu Punguan mengoleskan minyak kelapa ke dahi bayi. Lalu, Ulu Punguan mencabut piso Solam Debata (semacam pisau keramat) yang dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Dengan memohon kepada Mulajadi Na Bolon, Ulu Punguan menarikan kain putih agar kain putih tersebut diberkati oleh Mulajadi Na Bolon sebagai pembungkus bayi agar mereka di kemudian hari dijauhkan dari marabahaya.
Dalam Richard Sinaga (1998:235) dikatakan bahwa bila bayi yang akan diberi nama itu laki-laki maka turut dibawa hujur (tombak) sebagai simbol laki-laki, tetapi jika yang lahir ialah perempuan maka turut dibawa baliga (perkakas tenun berbentuk seperti sisir) sebagai simbol perempuan. Kemudian saat Datu (dukun) menciduk air dan memandikan bayi tersebut, dengan diiringi tangis bayi, diucapkanlah oleh Datu: “sai lam tu toropnama soara ni anak dohot boru tu joloan on“ (semoga makin ramai suara anak dan perempuan di masa mendatang) maksudnya sebagai pengharapan agar keturunan suku Batak semakin banyak, baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah itu bayi kemudian dibawa kembali ke rumah, dilanjutkan dengan acara pemberian nama. Pemberian nama dipertimbangkan dengan cermat, karena Suku Batak meyakini nama dan tondi (roh) harus sejalan. Jika dalam pemberian nama itu harus mambuat goar ni Ompu (mengambil nama seperti nama leluhurnya), maka harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka sahlah nama anak tersebut, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama seluruh keluarga sebagai ungkapan syukur.
Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Toba harus melakukan berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu Aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Nabolon (sebutan allah untuk orang Batak) dan meminta agar bayi itu disucikannya. Setelah Kristen masuk ke Tanah Batak, Adat Martutu Aek ini kemudian diganti dengan baptisan Kristen yang dilaksanakan di gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada si bayi atau anak yang hendak dibabtis.
Setelah kurang lebih sebulan bayi lahir, diadakanlah acara mangalllang haroan ( acara perjamuan dalam menyambut kelahiran si bayi). Dalam keluarga ini juga, diundang keluarga yang terdekat. Diundang datang sambil membawa kado, dan ada juga yang membawa amplop. Dalam kesempatan ini pula ompung bao si bayi (nenek bayi dari pihak ibunya) atau pamannya datang membawa aek ni unte (air jeruk purut). Intisari kata-kata harapan yang mau disampaikan ialah pada acara ini ialah kiranya ibu yang melahirkan si bayi sehat adanya. Kesehatan si ibu yang melahirkan sangat berperan untuk kesehatan si bayi pada perjalanan hidup ke depan.
Bibliografi
Simorangkir, Mangisi, 2015. Karakter Batak, Jakarta: Obor.
Sinaga, Richard, 1998. Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Medan: Dian Utama.
Vergouwen, J.C, 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta: LkiS.
Lihat Juga
Asi Ni Roha (Bahasa Batak Toba, Siborongborong, SUMUT: Mengimbau Kemurahan Hati) | Mangaririt ( bahasa Batak Toba, Siborongborong, SUMUT: hal menentukan pasangan hidup) |
Jimson Sigalingging (-)