Mangaririt ( bahasa Batak Toba, Siborongborong, SUMUT: hal menentukan pasangan hidup)
Mangaririt dalam konteks budaya Batak Toba merupakan sebuah terminologi etis dimana seorang pemuda dewasa berusaha menemukan pasangan hidupnya. Mangaririt ini juga menjadi sebuah cara yang ditempuh pemuda untuk berkenalan atau sering juga disebut dengan martandang (berkunjung ke rumah perempuan). Sebelum mengenal teknologi informasi seperti pada zaman sekarang ini, orang batak pada umumnya menggunakan kesempatan untuk berkenalan dengan lawan jenis pada hari pekan, selama potong padi, pada perkumpulan paduan suara, dan pada saat pergi ke gereja.
Seorang pemuda sering mangaririt ( mencari pasangan hidupnya) diantara gadis yang sudah dikenalnya (Bdk. J.C. Vergouwen 2004:212). Tetapi bisa juga dia mencari calon pasangannya pada gadis-gadis yang belum dikenalnya. Orang tua pemuda juga ingin mengarahkan perhatiannya kepada seorang gadis tertentu, yang menurutnya punya kualitas baik, atau karena ingin menjadikan orang tua si gadis sebagai tondong (kerabat).
Ketentuan agar para remaja betul-betul saling mengenal dulu sebelum mengambil keputusan penting untuk nikah tidaklah dianggap sebagai hal yang teramat penting, walaupun belakangan ini keinginan untuk melakukan hal itu semakin menonjol di kalangan para remaja sendiri. Ada pula faktor lain yang memainkan peran penting dalam menentukan pasangan, yakni kekayaan orang tua, ijazah, pekerjaan yang baik, dan hal-hal lain yang menarik.
Perkawinan untuk mendapatkan keturunan, sebagaimana yang diiidamkan orang Batak, pertama adalah berdasarkan rokkap ni tondi (pilihan hati) pasangan yang bersangkutan. Antara suami dan isteri diharapkan harus ada kerukunan dan kemakmuran. Dengan demikian mereka diyakinkan akan dikaruniai banyak anak. Jika kerukunan ini tidak ada dan jika hati mereka tidak bisa bersatu hal itu diyakini akan tampak di kemudian hari dan mungkin akan berakibat pada perceraian. Sebaliknya, sekali mereka telah melahirkan anak, ikatan antarpasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta akan semakin kokoh. Dalam hal ini kehadiran seorang anak merupakan sesuatu yang sangat menentukan.
J.C. Vergouwen (2004:213) mengatakan bahwa pada dasarnya suku Batak Toba sangat menekankan supaya pasangan hidupnya diambil dari putri paman atau pariban (putri perempuan dari paman) yang dianggap sebagai istri yang cocok atau yang akan segera cocok dengan dia. Tetapi, apabila si pemuda sendiri tidak menginginkannya, atau mungkin ia ingin mangaririt di tempat lain, maka seorang pemuda tidak boleh dengan serta merta melakukan niatnya tanpa terlebih dahulu memberitahukan hal ini kepada paribannya atau orangtuanya. Dengan demikian, bisa dicegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.
Bagaimanapun juga, seorang pemuda hendaknya memberitahukan kepada pamannya apa yang ada dalam hatinya dan dengan demikian memperoleh pemberkatan darinya. Dalam konteks adat Batak Toba paman dihormati sebagai pemberi berkat bagi keponakannya. Maka dalam hal mengambil pasangan hidup yang bukan pariban kandung harus mealui ritual adat. Si pemuda bersama ibunya harus datang berkunjung kepada saudara lelaki ibu itu, yang merupakan tulang (paman) si pemuda, sambil membawa makanan sesuai adat Batak.
Dalam kunjungan ini, mereka menyampaikan kepada pamannya, niat pemuda untuk melamar seorang gadis tertentu dan mengajukan permohonan agar pamannya tersebut memberkati rencana itu. Kemudian pamannya akan menyampaikan kepada keponakannya tersebut hata si denggan-denggan (kata-kata berkat dan menjanjikan bahwa gadis pilihan si pemuda itu akan dianggapnya sebagai putri sendiri).
Dalam realita hidup sehari-hari orang Batak Toba seorang pemuda tidak selamanya menyampaikan sendiri lamarannya. Hal itu dapat juga dilakukan oleh orang lain yang telah dihubungi dan dianggap cocok untuk bertindak sebagai pihak ketiga yaitu sebagai perantara dengan si gadis. Perantara dalam hal mencari jodoh ini dinamakan dengan domu-domu. Domu-domu ini sering juga bertindak sebagai perantara orangtua kedua pihak untuk mencapai persetujuan dalam hal mas kawin. Mereka juga membantu menyerahkannya. Sebagai perantara kedua belah pihak seorang domu-domu juga biasanya diberi imbalan yang disebut dengan upa domu-domu. Imbalan atau semacam hadiah akan diberikan kapada sseorang domu-domu ketika pernikahan sudah dilangsungkan dan mas kawin sudah diserahkan.
Wajar adanya, tugas perantara kadang-kadang menjadi agak pelik karena mereka harus berhati-hati dan teliti. Perantaraan yang buruk bisa menimbulkan salah paham dan keributan dan dalam hal tertentu perantara sendiri dapat berurusan dengan pengadilan. Cara melamar atau mangaririt yang agak modern dalam budaya batak Toba sebelum mengenal teknologi ialah melalui surat yang kadang-kadang dengan dilampirkan dengan foto.
Dalam proses mangaririt ini jika si gadis menunjukkan sifat simpatinya dengan cara yang dilakukan si pemuda maka si pemuda pun sebelum mengambil keputusan dan mengajukan lamaran, akan mencari keterangan apakah kehidupan mereka akan dilimpahi nasib baik atau tidak. Untuk tujuan ini ia akan marmangmang nipi (memohon agar diberi petunjuk dalam mimpi). Petunjuka dalam mimpi ini akan menentukan apakah rencana perkawinannya dengan si gadis yang dimaksud akan diteruskan atau tidak.
Jika dalam mimpinya si pemuda melihat si gadis mengambil air dan mata air maka ini merupakan pertanda baik. Tetapi jika ia melihat si gadis bekerja berat, misalnya mengangkat barang berat maka ia akan memandangnya sebagai pertanda kurang baik. Sangat mungkin seorang pemuda dipengaruhi oleh mimpinya dalam mangaririt atau memilih pasangan hidupnya(Bdk. J.C.Vergouwen 2004. 215). Jika si gadis belum mengenal si pemuda, maka ia akan berusaha mencari keterangan dari orang-orang yang bisa dipercaya, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Bibliografi
Simorangkir, Mangisi. Karakter Batak. Jakarta: Obor, 2015.
Sinaga, Richard. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Medan: Dian Utama, 1998.
Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Lihat Juga
Asi Ni Roha (Bahasa Batak Toba, Siborongborong, SUMUT: Mengimbau Kemurahan Hati) | Martutu Aek (Bahasa Batak Toba, Bakara, SUMUT: “Ritual pemberian nama pada bayi yang baru lahir”) |
Jimson Sigalingging (-)