Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Ka Uwi (Bahasa Lio: Makan ubi)


Upacara ka uwi dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, biasanya diadakan setahun sekali yang menandakan syukur atas hasil panen baru. Hal ini dilakukan sebagi bentuk ucapan syukur sekaligus sebagi bentuk persatuan dan kerja sama dari setiap anggota masyarakat. Selain itu upacara ini juga menandakan atau mengisyaratkan adanya kerukunan atau hidup rukun dalam masyarakat.

Di tempat yang sama seperti yang tertera pada tulisan di atas, terdapat pula suatu upacara yang menandakan suatu kegiatan kebersamaan dalam hidup bersama. Upacara ini biasanya terjadi setahun sekali dalam kesempatan yang menggembirakan yaitu syukur atas hasil panen pertama. Upacara ini dilakukan oleh semua anggota masyarakat yang ada dan dipimpin oleh ketua adat. Biasanya jika situasi memungkinkan, mereka dapat mengundang anggota-anggota kampung tetangga untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Jika tidak memungkinkan mereka hanya dapat mengundang tua-tua adat kampung sekitarnya.

Upacara ka uwi ini yang diadakan setahun sekali biasanya dihadiri oleh semua anggota masyarakat tanpa terkecuali. Jika tiba waktunya akan dimulai upacara ini, anggota masyarakat hadir secara spontan tanpa harus dipanggil atau diperingatkan sebelumnya. Jika anggota masyarakat tidak sempat hadir karena ada urusan tertentu dan telah meminta ijin sebelumnya maka ubi yang menjadi bagiannya akan dibawa ke rumahnya dan harus dimakan tidak boleh dibuang. Namun, jika anggota masyarakat tidak hadir tanpa ada alasan tertentu maka ia akan dikenakan sanksi menyumbang satu ekor babi untuk digunakan pada acara serupa pada tahun berikutnya. Dan ubi tidak boleh diantar ke rumahnya.

Sebelum mengadakan acara tersebut biasanya ketua adat memilah ubi-ubi terbaik untuk digunakan dalam acara tersebut. Setelah memilah, ketua adat menyerahkan ubi-ubi tersebut kepada masing-masing kepala keluarga yang hadir untuk dibakar dan dimakan bersama. Setelah ubi-ubi sudah selasai dimakan dan siap dimakan, ketua adat biasanya menyampaikan beberapa kata sebagai pembuka acara makan bersama dan biasanya dalam bahasa adat daerah setempat. Setelah selesai berbicara, mereka mulai makan bersama dan ketua adat disediakan tempat khusus yang berbeda dengan anggota masyarakat yang lain.

Dalam kegiatan makan bersama itu bisanya diselingi oleh musik gawi (tarian adat daerah Ende-Lio) yang terus diputar hingga kegiatan atau upacara itu selesai. Tempat yang digunakan untuk menyimpan ubi yang telah masak bukan dengan piring biasa seperti yang ada sekarang ini melainkan dengan suatu tempat yang memiliki bentuk seperti piring yang terbuat dari tanah liat. Orang Ende biasanya menyebutnya Kena (piring yang terbuat dari tanah liat) (bdk. KWI, 1991: 56).

Selama berlangsungnya acara makan bersama tersebut, setiap kepala keluarga memberikan semacam sesajian kepada nenek moyang mereka yang telah meninggal. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar nenek moyang mereka juga dapat merasakan hasil panen mereka. Tujuan lain adalah agar nenek moyang mereka juga dapat membantu mereka untuk memberi hasil yang lebih baik lagi pada tahu berikutnya. Sesajian yang diberikan kepada leluhur tersebut tidak boleh disentuh oleh anak-anak kecil karena bagi mereka jika ha itu dilakukan maka hasil panen ditahun berikutnya akan semakin berkurang.

Setelah upacara ini selesai, biasanya ditutup dengan acara menari bersama hingga beberapa jam lamanya kemudian mereka kembali ke rumah masing-masing dalam keadaan suka cita. Ketua adat harus membawa pulang beberapa potongan ubi jika masih ada yang tersisa. Setiap anggota masyarakat tidak boleh membawa pulang ubi ke rumahnya melainkan harus dihabiskan dalam acara tersebut.

Acara ka uwi ini biasanya dilakukan dalam rumah adat, jika anggotanya banyak maka dapat dilakukan di sekitar rumah adat tersebut. Perlu diketahui bahwa tidak hanya ubi kosong atau ubi saja yang dimakan melainkan dimakan dengan daging babi yang dibakar, sayur seadanya. Babi biasanya diperoleh dari sumbangan tetangga kampung atau dari masing-masing keluarga dalam kampung tersebut. Dalam upacara ini ada kesempatan di mana tua adat memberikan hasil panen kepada mereka yang boleh dikatakan gagal panen pada tahun tersebut. Ini sudah disepakati bersama sebelumnya bukan inisiatif atau perintah dari ketua adat. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar anggota masyarakat yang lain tidak kekurangan atau tidak mengalami kelaparan kendati mereka tidak memperoleh hasil apa-apa.

Dari kebiasaan hidup sehari-hari, dari upacara-upacara adat, terlintas dalam pikiran masyarakat setempat mengenai keharmonisan hidup mereka. Upacara ka uwi yang diselenggarakan sekali setahun oleh seluruh masyarakat memperlihatkan kerja sama, kerukunan dalam suatu masyarakat. Upacara sebagaimana yang telah dikatakan di atas yaitu sebagi upacara syukur atas hasil panen memberikan suatu semangat baru bagi anggota masyarakat untuk bekerja lebih giat di tahun-tahun sesudahnya.

Upacara ini selain menjalin relasi dan menjaga keharmonisan antara anggota kerabat yang masih hidup, tetapi juga dengan nenek moyang, sanak saudara dari setiap anggota keluarga yang sudah meninggal. Pesta ini pula mengandung keterbukaan hati akan segala sesuatu, untuk seia-sekata mensyukuri hasil panen baru dan untuk saling berterima kasih atas kerja sama yang telah dilakukan sejak mulai membuka lahan baru hingga usai petik panen. Hal ini terbukti dari ungkapan “kita bou mondo ngere tewu owo, mai kita wora sewiwi, nunu selema, boka ki bere ae”, yang artinya mari kita bersatu hati dalam kata dan perbuatan, bagaikan persatuan yang dilambangkan dalam serumpun tebu (Ozias, 1990:102).

Nilai persatuan dan kerukunan sangat menonjol dalam upacara ini. Semua anggota masyarakat sama sekali tidak mementingkan dirinya sendiri melainkan rela membantu sesamanya. Orang-orang Ende Lio menyadari betul bahwa kerja sama sangat membantu mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Berkat usaha kerja sama yang dilakukan maka mereka tidak kekurangan dalam menjalani hidup sehari-hari. Mereka saling bahu-membahu dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga mereka turut mengalami suatu hasil yang memuaskan.

Upacara ka uwi ini tidak hanya sekadar duduk kumpul bersama lalu makan ubi yang ada, melainkan suatu upacara yang memiliki makna yang sangat mendalam. Dari upacara makan bersama ini lahirlah suatu kebersatuan di antara mereka dan mempererat hubungan saling membantu di antara mereka. Para warga atau anggota masyarakat setempat menyadari betul bahwa upacara ini memang harus dilakukan dan mereka wajib mengikuti acara tersebut. Salah satu alasannya adalah bahwa acara ini telah dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyangnya hingga sekarang dan untuk menjalin keharmonisan hidup di antara mereka. Jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan bersama maka hal itu akan menjadi perhatian bersama dan akan dilakukan suatu pertemuan bersama anggota masyarakat untuk menyelesaikannya. Jika dalam pertemuan tersebut belum ada keputusan final maka akan diberi waktu beberapa hari untuk berdiskusi bersama kemudian hasil diskusi tersebut akan dibicarakan dalam pertemuan berikutnya. Hal ini menjadi nyata bahwa mereka sangat menjunjung tinggi rasa kebersamaan diantara mereka.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Perkawinan Adat di Kabupaten Ende dalam SAWI (Sarana Karya Perutusan Gereja), 1991. Jakarta: Karya Kepausan Indonesia dan Komisi Karya Misionaris KWI.

    Fernandes, Stephanus Ozias, 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.


    Lihat Juga

    Tsana Ka Watu Pesa (Bahasa Lio: Dimakan tanah dan ditelan batu)  Wee tua ngere sua wua, maku ngere watu lowo (bahasa Lio: hal “kesatuan”, kerja sama) 

    Oleh :
    Yohanis Yustinus Doi (-)