Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Tsana Ka Watu Pesa (Bahasa Lio: Dimakan tanah dan ditelan batu)


Ungkapan Tana ka Watu pesa merupakan suatu ungkapan yang ditujukkan kepada mereka yang melanggar sumpah atau bersumpah palsu dalam tatanan hidup bersama. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ada faktor kegaiban dalam sikap hidup sehari-hari.

Di suatu wilayah di Nusa tenggara Timur, kira-kira 50 KM dari kota Ende, terdapat suatu suku yang memiliki suatu ungkapan yaitu Tana ka watu pesa. Ungkapan ini biasanya ditujukkan kepada mereka yang dalam menjalani kebiasaan hidup sehari-hari telah melanggar sumpah atau bersumpah palsu. Ungkapan ini tidak ditentukan kapan harus dilakukan. Jika ada yang bersumpah palsu atau melanggar sumpah, maka ungkapan itu dilakukan saat itu juga.

Ungkapan ini biasanya dikatakan oleh kepala suku kepada mereka yang melanggar kebiasaan dalam tatanan hidup bersama. Orang yang melakukan suatu kesalahan dipanggil oleh kepala suku untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. Dengan dihadiri oleh warga kampung, ketua suku mulai mengeluarkan ungkapan ini kepada si pelanggar aturan. Ketua suku mengatakan bahwa orang tersebut akan menerima suatu musibah ketika ia melakukan suatu kesalahan yaitu ia akan dimakan tanah dan ditelan batu, dalam arti yang sesungguhnya bahwa orang tersebut akan mati karena telah melanggar sumpah yang diwariskan nenek moyang mereka.

Masyarakat Lio sangat yakin dengan ungkapan ini. Bagi mereka ini merupakan suatu keyakinan tentang adanya kegaipan yang tercermin dalam sikap hidup sehari-hari masyarakat adat Lio. Demi memperkuat kata-kata sumpah dan kutukan yang senyatanya sudah berkhasiat, mereka memanggil pula suatu daya sakti lainnya yang berwujud tak nyata (Ozias, 1990: 141). Ozias (1990:230) mengatakan bahwa bagi masyarakat Lio bersumpah adalah menuturkan yang benar dengan mengundang nenek moyang dan Yang Teringgi, diwakili oleh tanah dan batu sebagai penyaksi. Melanggar sumpah atau bersumpah palsu sama halnya dengan siap menerima kutukan. Kutukannya adalah siap dimakan tanah dan ditelan batu.

Dalam kebiasaan hidup sehari-hari, orang Lio sudah memiliki semacam aturan. Aturan tersebut mengikat atau dengan kata lain aturan tersebut mengingatkan mereka akan kebiasaan nenek moyangnya terdahulu bahwa mereka tidak boleh bertindak atau berperilaku tidak baik dalam tatanan hidup bersama. Sumpah itu biasanya dilakukan oleh seluruh warga masyarakat setempat dengan diketuai oleh kepala suku. Biasanya mereka bersumpah untuk tidak mencuri, menghamili anak gadis yang bukan istrinya, kawin dengan istri orang lain, tidur dengan isteri abang atau adik dan sebagainya. Jika ada yang melanggar sumpah yang telah ditetapkan ini maka ia akan mendapat hukuman yang sangat berat dan siap untuk menerima kutukan dalam hidupnya.

Kepala suku biasanya tidak mengambil keputusan sendiri dalam memberi hukum bagi mereka yang melanggar sumpah. Ia akan memanggil para tokoh masyarakat untuk membuat semacam suatu pertimbangan bersama bahwa hukum apa yang cocok untuk diberikan kepada mereka yang melanggar sumpah tersebut. Biasanya hukuman yang diberikan setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan. Jika ia hanya mencuri maka hukumannya tidak terlalu berat. Ia hanya dituntut untuk mengganti rugi tetapi apabila pelanggaran itu berupa menghamili atau tidur dengan istri orang maka hukumannya sangat berat dan siap untuk menerima kutukan. Bagi yang melakukan pelanggaran demikian biasanya disumpahi untuk menerima kutukan hingga tujuh turunan dalam arti bahwa sampai kapan pun dan siapa pun dalam keluarganya atau mereka yang termasuk keluarganya akan menerima kutukan serupa. Dan ia beserta anggota keluarganya sampai kapan pun akan dianggap sebagai orang yang memiliki moral yang buruk dalam kehidupannya sehari-hari. Orang-orang yang melanggar sumpah atau bersumpah palsu biasanya dikucilkan dari kehidupan bersama dan ia tinggal di luar kampung tersebut.

Apabila kepala suku dan para tokoh masyarakat lainnya melanggar peraturan atau sumpah serupa maka hukuman yang diberikan tidak jauh berbeda dengan masyarakat biasa karena telah disepakati bersama sebelumnya. Kepala suku tersebut akan diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala suku dan diganti dengan yang lain yang dianggap memiliki kecakapan dan yang memberi teladan yang baik dalam kehidupan bersama. Semua anggota dari kepala suku yang melakukan pelanggaran tersebut sampai kapan pun tidak akan pernah diangkat menjadi kepala suku walaupun mereka berbuat baik. Kepala suku tersebut akan mengalami banyak musibah sebagi kutukan dari leluhur karena ia telah melanggar amanah atau kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Ungkapan tanah ka watu pesa ini berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali jika mereka melakukan pelanggaran. Ungkapan ini juga berlaku kepada mereka yang melaukan pelanggaran dalam aturan atau norma perkawinan dalam masyarakat setempat. Biasanya pemuda dan gadis kawin tanpa urusan adat, tanpa diketahui salah satu anggota keluarga baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan (Bdk. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1984: 69). Perkawinan semacam ini dianggap melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat setempat dan mereka ini akan dikenai hukuman yang berlaku.

Ungkapan ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Mereka beranggapan bahwa ungkapan ini adalah suatu pegangan atau pedoman bagi mereka dalam menjalani hidup sehari-hari dan menjadi semacam dasar dalam tatanan hidup bersama. Dengan adanya aturan atau norma ini, masyarakat setempat sangat berhati-hati dalam bertindak. Mereka tidak dengan seenaknya saja ketika melakukan sesuatu. Sebagai warisan dari leluhurnya ungkapan ini dihormati oleh semua anggota masyarakat.

Jika dilihat dari hukuman yang diberikan memang terlihat sangat keras namun ini dilakukan agar anggota masyarakat segan atau takut dalam melakukan suatu pelanggaran terhadap sumpah yang telah ditetapkan. Ini semacam hukuman untuk membuat jerah para pelanggar aturan. Mereka setidaknya merasa takut untuk melakukan pelanggaran karena hukumannya sangat berat apalagi mereka akan mendapat kutukan serta dikucilkan dari kehidupan bersama.

Para anggota masyarakat dalam hal ini membangun suatau keharmonisan dalam menjalani hidup sehari-hari. Mereka saling bersatu untuk menjunjung tinggi nilai-nilai atau dan norma-norma yang ada. Dengan adanya aturan dan sanksi mereka sama sekali tidak berpikir untuk melakukan pelanggaran. Bagi mereka, melanggar berarti tidak menghormati leluhurnya yang telah mewariskan hal-hal baik kepada mereka. kepada anak cucunya juga diajarkan hal yang sama bahwa mereka harus menaati norma-norma yang berlaku dalam masyarakat agar dari generasi yang satu dan generasi yang lain tetap terjadi kerukunan dan keharmonisan dalam hidup. Pengajaran itu bertujuan agar mereka tahu akan kebiasaan setempat dan tidak melanggar sumpah yang telah ditetapkan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984. Ungkapan Tradisional Yang Berkaitan Dengan Sila-Sila Dalam Pancasila Daerah Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

    Fernandes, Stephanus Ozias, 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.


    Lihat Juga

    Ka Uwi (Bahasa Lio: Makan ubi)  Wee tua ngere sua wua, maku ngere watu lowo (bahasa Lio: hal “kesatuan”, kerja sama) 

    Oleh :
    Yohanis Yustinus Doi (-)