Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Soso molo, sasa masa, jila ngere nenu nia, masa ngere pingga bha (bahasa Lio: menggambarkan suatu kehidupan yang teratur)


Di suatu desa yang letaknya sekitar 100 km dari Kota Maumere hiduplah suatu suku yang bernama suku Lio. Dalam suatu kesempatan, masyarakat Lio mengadakan suatu acara yang disebut joka/tu ana, yang berarti mengantar/melepaskan seorang anak.

Pengantaran seorang anak dalam hal ini adalah seorang anak akan bepergian, misalnya; melanjutkan pendidikan, merantau dan sebagainya. Tujuannya supaya anak tersebut pergi dan pulang dalam keadaan selamat. Selain itu juga ada tujuan lain yaitu supaya anak mudah mendapat pekerjaan (bagi yang merantau) dan sukses dalam cita-cita (bagi yang melanjutkan pendidikan, PT sederajat dll.). Acara ini bersifat intern atau hanya dalam keluarga sendiri dan keluarga hubungan darah. Acara ini diawali dengan apa yang disebut ru’e kibi, minu moke dan ka filu (Djou, 1991:110), yang artinya ialah makanan tradisional dan minuman keras = moke/tuak/arak). Ketiga hal ini lebih utamakan ketika terjadi pesta atau acara adat. Selain itu lebih bermakna lagi diberi pada saat acara intern karena setelah mencicipi kibi, moke dan filu, si anak secara jujur mengatakan kebaikan dan keburukan yang ia miliki. Karena itu ia harus diungkapkan secara terbuka di hadapan orangtua, sanak saudara, dan keluarga yang adalah hubungan darah dengannya. Dalam acara tersebut, seorang perwakilan dari keluarga biasanya mengucapkan suatu ungkapan soso molo, sasa masa, jila ngere nenu nia, masa ngere pingga bha.

Ungkapan Soso molo, sasa masa, artinya bersihlah dari segala halangan dan rintangan perjalananmu, jila ngere nenu nia, masa ngere pingga bha = kilat seperti cermin wajah kita, bersih seperti pring yang terbuka lebar. Makna dari ungkapan ini melambangkan seorang anak akan keluar dari zona amannya, dari kungkungannya, melepaskan segala keburukannya dan bergaul dengan sesama. Tujuannya ialah anak itu menjadi seorang pribadi yang membawa berkat bagi orang lain. Selain itu ungkapan ini juga melambangkan suatu kesucian hidup manusia dalam kesehariannya. Anak yang merantau ataupun yang akan melanjutkan pendidikan harus hidup dalam keteraturan. Artinya anak harus hidup yang membuat kedamaian, keharmonisan, ketenteraman bagi diri sendiri dan sesama di sekitarnya. Masyarakat suku Lio pada umumnya selalu mengadakan acara ini.

Ungkapan itu juga merupakan suatu ungkapan etis bagi masyarakat Lio dalam hal relasi, komunikasi dan pergaulan sehari-hari. Dasar hidup yang ideal yang menjadi kaidah etis komunitas tradi­sional Lio, adalah adat. Kebiasaan-kebiasaan serta ketentuan-­ketentuan yang terungkapkan dalam tata laku serta ujar-ujar para pengetua clan orang tua-tua, adalah demi keselamatan serta kerukun­an warga masyarakatnya. Ungkapan soso molo, sasa masa, jila ngere nenu nia, masa ngere pingga bha, secara harafiah adalah ungkapan yang menghendaki adanya suatu kehidupan yang harmonis, bersih, dan benar (Ozias, 1990: 272). Kerinduan ini hanya dapat dicapai, jikalau setiap insan berusaha menyesuaikan dirinya dengan masya­rakat, alam, dunia, nenek moyang, dan dengan Yang Tertinggi. Ini adalah tuntutan adat. Hanya dengan menaatinya, orang akan hidup bahagia.

Selain itu juga ada ungkapan yang sama artinya dalam bahasa Lio, seperti ro,a loka loo noo keli-keli, kura janga loo noo lowo-lowo, artinya kumpulan kera/monyet keluar dari sebuah bukit-bukit, dan kumpulan udang keluar dari sungai-sungai.

Ungkapan ini ditu­jukan kepada para warga Lio yang berpergian jauh ke luar daerahnya, atau orang yang datang ke daerah Lio. Mereka diharapkan dapat menyesuaikan dirinya dengan adat setempat, supaya antara mereka dengan kosmos tetap terpelihara keharmonisan. Maksud dari ungkapan ini adalah ditujukan kepada siapa saja yang akan bepergian dan akan berdatangan. Di sinilah letak persaudaraan dan relasi kita antara satu dengan yang lainnya yang membawa nilai positif. Seorang tua adat pada saat-saat tertentu mengucapakan bogo ngere woga ogo, ngaru ngere wangga watu, yang berarti bagai mengangkat batu yang berat/bagai mencabut rumput di hutan, sedangkan tau paga fai lawa ana, artinya untuk memelihara atau menghidupkan anak ­istri, yang berarti harus giat bekerja meski sulit, demi istri dan anak. Masyarakat Lio mengenal juga semacam sunat adat yang disebut "pera nggua". Sunat adat atau yang disebut dengan pera nggua merupakan suatu adat dari suku Lio, di mana seseorang harus pantang “ini dan itu” baik lewat kata-kata, tindakan, maupun dalam hal makanan. Dalam hal kata-kata dan tindakan misalnya, seorang wanita yang telah syah pernikahannya dengan seorang pria, wanita itu tidak boleh menyebut “nama asli” orang tua dari si pria tersebut apalagi menyiksa atau memukul kedua orang tua dari si pria tersebut. Sedangkan dalam hal lain misalnya dalam hal makanan harus pantang tiga jenis makanan sebagaimana diyakini oleh orang Lio, seperti telur, tikus, dan terong. Apabila hal-hal tersebut di atas dilanggar, maka akan terjadi sesuatu pada diri si wanita, seperti; gatal pada semua badannya, atau mendatangkan penyakit-penyakit yang mengejutkan. Inilah yang diyakini oleh orang Lio dengan gena nggua = kena tulah.

Bagi orang Lio, siapapun memutuskan untuk mencari pekerjaan di tempat rantau harus mengadakan suatu kesepakatan dalam keluarga dan memutuskan secara damai dan harmonis. Sebelum seorang anak keluar dari rumah biasanya perwakilan dari keluarga entah ayah, kakek, nenek maupun ibu, berpesan” adat kita berpesan, bila anda ingin hidup bahagia maka bersaudaralah dengan semua orang, berusaha untuk hidup damai dan rukun dengan semua orang, dengan alam dunia, dengan nenek moyang, dan dengan Yang Tertinggi: "Dua Nggae", tana watu, embu mamo, hu haja, ine ema, tuka bela, aji kae, eja kera, weta ane noo imu sama wuru mana" (Ozias, 1990: 272). Pendek kata, arti dari ungkapan ini adalah ketika kita hendak bepergian kita harus berdamai dulu dengan semua anggota keluarga, dan setelah itu dengan sendirinya kapan dan di manapun kita berada di sana pasti ada damai dan sukacita. Orang Lio selalu dikenal dengan sikap keramah-tamahan, kelemahlembutan dan kerendahan hati. Sikap sudah terlatih dan terdidik sejak kecil hingga dewasa. Sikap-sikap tersebut bagi orang Lio memang memiliki ciri khas dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Ozias mengatakan bahwa “ Orang Lio menjunjung tinggi keramah-tamahan sebagai penghor­matan terhadap orang lain (Ozias, 1990: 278). Bila bertemu di jalan mereka sating menyapa dengan kata imu moo tau da mba/emba?=teman/sahabat mau ke mana? (bila sebaya) ada ungkapan yang biasa juga dalam kehidupan sehari-hari, seperti; kau baru tei bu/pu ina, artinya kamu baru saya lihat hari ini/kita baru saling bertemu.

Selain itu juga ada ungkapan-ungkapan lain yang sederhana dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti imu repa mbilu tamo tepa dhako, artinya karena kita berkawan, mari kita berbicara dulu di sini atau di rumah, atau hega dema kai na, hemmm dia ini…baik-baik sajakah. Selain itu ada juga sebuah nilai sopan santun dalam hal kebersamaan. Misalnya seseorang mengajak teman-teman, sahabat-kenalan atau saudaranya untuk merokok seperti mai musu bako= mari saudara kita merokok dulu! Sedangkan ke mana diungkapkan dengan moo tau da emba. Sering kali ajakan tidak bersifat serius, tetapi hanya dimaksudkan sebagai pernyataan ada­nya kontak batin di antara mereka. Untuk mempersilakan duduk dipakai ucapan mai sai mera, himba khi ga = marilah duduk dan bediamlah di sini!. Bila orang dalam rumah sedang minum, maka tamu akan berkata mae kai miu gharu atau gharu nebu minu taka, yang artinya maaf kamu sedang minum, maka tuan rumah akan menjawab dengan berkata kepada ibu rumah mama/ine, tau walo kita gela rua, mama tambah lagi dua gelas, ata mai walo dowa imu rua, ada tamu dua orang. Adat semacam ini masih berlaku untuk seluruh daerah NTT

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Gadi Gaa, Djou Jan, Perkawinan Adat Di Kabupaten Ende, dalam SAWI: Sarana Karya Perutusan Gereja, No. 5 Mei 1991, Jakarta: Karya Kepausan Indonesia dan Komisi Karya Misioner KWI, 1991.

    Ozias, Fernandez Stefanus, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.


    Lihat Juga

    Du’a gheta lulu wula, Ngga’e ghale wena tana (bahasa Lio Ende, NTT; Yang Mahatinggi/Mahamulia/Tak Terbatas yang berada di atas langit/ Tak terbatas yang berada di bawah bumi (tanah): Penghormatan Manusia Terhadap Kosmos)  Nata (Bahasa Lio Ende: sirih pinang: tanda ikatan pertunangan dalam suatu ritus perkawinan) 

    Oleh :
    Rovinus Longa (-)