
Du’a gheta lulu wula, Ngga’e ghale wena tana (bahasa Lio Ende, NTT; Yang Mahatinggi/Mahamulia/Tak Terbatas yang berada di atas langit/ Tak terbatas yang berada di bawah bumi (tanah): Penghormatan Manusia Terhadap Kosmos)
Di suatu wilayah tepatnya di sebuah desa sekitar 45 km bagian selatan dari kota Maumere-Sikka, terdapat sebuah suku yang dinamakan suku Lio. Dalam suku tersebut terdapat suatu ungkapan “Dua gheta lulu wula, nggae ghale wena tana”.
Ungkapan Dua gheta lulu wula, nggae ghale wena tana, melambangkan suatu penghormatan terhadap alam semesta (kosmos) di mana semuanya itu berasal dari Yang Mahatinggi, Mahamulia, Tak terbatas (selanjutnya menggunakan Yang Mahatinggi). Ungkapan ini juga merupakan suatu ungkapan yang sangat penting bagi masyarakat Lio pada umumnya, baik Lio Ende maupun sebagian masyarakat Lio di Maumere-Sikka. Kata Du’a Ngga’e diartikan dengan kata Dia Yang Mahatinggi yang berasal dari langit dan bumi. Tradisi Lio menggelari yang Mahatinggi dengan kata dua nggae. Lengkapnya disebut “Dua gheta lulu wula, nggae ghale wena tana”atau ngga’e dewa gheta lulu bewa (Ozias, 1990: 308).
Kata Du’a Ngga’e lebih dikenal dan dipakai sekarang dalam upacara-upacara adat atau gerejani. Misalnya dalam upacara adat seperti membuka lahan/kebun baru (sawah, ladang dsb.), menanam tanaman pokok (padi, jagung dan sejenisnya). Selain itu ada lagi upacara yang disebut dengan upacara syukuran, seperti selamat dari kecelakaan lalu lintas, sembuh dari sakit/penyakit yang dianggap parah, dan bahaya maut lainnya yang mengancam keselamatan manusia. Kata Dua Ngga’e tersebut terbentuk dari du dan a, ngga dan e. Agaknya du merupakan akar kata, yang artinya tanpa batas, dan a artinya sesuatu yang tak dapat dibuat manusia, atau berada di atas kesanggupan manusia (Ozias, 1990: 309). Jadi Du’a berarti pribadi, pemilik, atau wujud yang tak terjangkau, besar dan dewasa dalam usia. Sedangkan akar kata Ngga berarti nyaman karena sempurna dan tak berkekurangan, dan e merupakan suatu himbauan. Jadi Ngga’e mengacu ke suatu kebesaran, kewibawaan, yang mulai, yang terhormat, bangsawan, dan pemimpin. Karenanya Du’a Ngga’e berarti pribadi yang mulia, tua dan terhormat, raja besar dan agung, wujud yang mulia dan tertinggi.
Orang Lio yakin dan percaya bahwa semua keselamatan itu adalah dari dua nggae.Karena itu patut disyukuri dan harus mengadakan suatu acara yang disebut dengan joka ju. Joka:menolak, ju: halangan. Karena itu arti joka ju ialah menolak dan mengusir segala halangan atau rintangan yang telah dia hadapi dan sekarang segala halangan ini sudah tiada lagi karena semuanya telah diusir dan ditolak. Selanjutnya ada juga ungkapan tebo keta lo ngga, keta ngere keli ghele ngga ngere ae lau. Artinya tebo=badan, keta=dingin, lo=seluruh tubuh (badan dan jiwa), ngga=hangat/nyaman; keta ngere keli ghele=dingin seperti di sebuah bukit di atas sana, ngga ngere ae lau=hangat seperti air laut yang sedang tenang belum datangnya ombak. Secara harafiah ungkapan “tebo keta lo ngga, keta ngere keli ghele ngga ngere ae lau”, berarti badan dan tubuh kita sudah didingin-hangatkan, yaitu dingin seperti kita berada di atas bukit,hangat seperti air alut yang tenang yang memberikan rasa nyaman bagi kita lewat upacara tersebut .
Ungkapan ini merupakan suatu cetusan yang diucapkan oleh seorang kepala suku yang melambangkan bahwa segala kekalutan, kepanikan, kesakitan, trauma, penderitaan dan lain sebagainya yang telah ia alami sudah diselesaikan lewat acara ini. Komunitas adat Lio mengidentifikasikan "Dua Nggae" dan Yang Tertinggi, atau Tuhan atas langit, matahari, bulan, dan gelar-gelar lain yang sama maknanya ialah Wula Leja (bulan-matahari), Watu (batu), Ria Ola (maha besar), "mata ria" (mata besar atau mahatahu). Sering kali hanya dengan kata Kai, yang artinya Dia. Peran Yang Mahatinggi sebagai Bapa dan Ibu, teristimewa tersingkapkan dalam perpaduannya yang kokoh serta kebersamaan. Peranannya yang mengagumkan dalam tuturan Dua Ria noo Fai Ngga’e ebe imu rua muri sama, kema mbana sama-sama: Yang Mahabesar dan Yang Mahamulia bersatu dan bekerja sama untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Keduanya adalah satu kesatuan, utuh dan bekerja sama dalam mewujudkan suatu kedamaian dan keharmonisan seluruh ciptaan semesta.
Sebagai masyarakat agraris, warga masyarakat Lio menggantung seluruh hidupnya pada curah hujan dan panas matahari dari langit, dan lahan yang memberinya panen (Ozias, 1990: 309). Karena itu masyarakat Lio sangat menghargai alam semesta yang penopang kehidupan harian mereka. Dua Ngga’e adalah Dia yang berada di atas langit dan di bawah bumi.Baik di langit di atas maupun di bumi di bawah yang berkuasa adalah dua nggae,sebagai pencipta alam semesta. Pada saat musim menanam tiba, biasanya kepala suku mengucapkan ungkapan demikian dua gheta lulu wula, nggae ghale wena tana pati sai kami ola kema meko eo pawe radhe kiwa ina, artinya, Yang Mahatinggi di atas bumi dan di bawah bumi berilah supaya segala usaha dan jerih payah kami berhasil tahun ini. Jikalau terjadi kebakaran hutan atau cara-cara lain yang berdampak negative pada hutanoleh orang-orang yang tidak bertanggungj jawab, ada ungkapan hujatan yang bagi masyarakat Lio cukup kasar yaitu “tana ka, watu pesa se kai na”. Tana: tanah. Ka: makan, watu: batu, pesa: makan dan minum. Artinya tanah, makanlah dia! Batu, makan dan minumlah dia! Secara harafiah arti dari ungkapan ini adalah ditujukan kepada pelaku yang membakar atau merusak alam yang tidak bertanggung jawab. Tua adat menyuruh batu dan tanah supaya menghabisi nyawa orang tersebut. Karena tanah dan batu bagi orang Lio merupakan satu kesatuan, tuan atas bumi ini, bagaikan sepasang suami isteri. Batu adalah suami dan tanah adalah isterinya.
Mengapa terjadi demikian? Karena Yang Mahatinggi menurut pikiran masyarakat sederhana, berada di atas langit dan juga di bumi, dan malahan ada yang lebih luas lagi dari itu yang biasa disapa dengan Dua Lulu Wula, nggae wena tana (Yang Mahatinggi di atas bulan/langit, Yang Mahatinggi di bawah bumi). Yang Mahatinggi dipandang sebagai asal mula langit dan bumi (Wula Leja Tana Watu). Sebab itu Ia juga digelari Du’a Wula Leja, Nggae Tana Watu, yang berarti Tuhan alngit dan bumi, atau penguasa langit dan bumi.ungkapan ini menyatakan bahwa Yang Mahatinggi tak terbatas dan kuasa-Nya pun tak terhingga. Ungkapan lain yang menempatkanyang mahatinggi di tempat yang sangat tinggi dan yang transcendental, ialah dua nggae mera gheta panggo bewa , nggae gheta liru bewa yang artinya yang berada di atas langit yang tertinggi meskipun hakekatnya tak terpahami
Bibliografi
Gadi Gaa, Djou Jan, Perkawinan Adat Di Kabupaten Ende, dalam SAWI: Sarana Karya Perutusan Gereja, No. 5 Mei 1991, Jakarta: Karya Kepausan Indonesia dan Komisi Karya Misioner KWI, 1991.
Ozias, Fernandez Stefanus, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Lihat Juga
Rovinus Longa (-)