Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Nata (Bahasa Lio Ende: sirih pinang: tanda ikatan pertunangan dalam suatu ritus perkawinan)


Di suatu wilayah tepatnya di Kota Ende Lio NTT, terdapat sebuah suku yang disebut dengan suku Lio. Suku ini berkediaman di suatu wilayah, sekitar 45 km dari kota Ende. Di dalam suku tersebut terdapat suatu istilah adat perkawinan yang biasa disebut dengan nata.

Nata adalah salah satu terminologi adat yang memberi makna kesatuan yang sah dalam pertunangan. Artinya bahwa baik si pemuda maupun si gadis, hubungan keduanya sudah terikat apabila nata ini telah dilaksanakan dan diterima oleh orang tua dari kedua belah pihak.Sang pemuda atau orang tua pemuda harus mengatur nata sebagai tanda untuk diketahui umum di sekitar situ bahwa si gadis itu adalah sudah milik dari pemuda itu. Jan Djou dalam bukunya mengatakan bahwa “jika nata sudah diatur dalam arti sudah diantar dan diterima oleh orang tua si gadis, maka hubungan "pertunangan" kedua orang itu menjadi resmi dan syah dan tidak ada pemuda lain lagi yang boleh mengganggunya” (Djou, 1991: 114).

Pengaturan nata ini, oleh penduduk Lio di Ende maupun sebagian masyarakat Lio di Sikka dan sekitarnya disebut­ dengan tu bharaka berarti tu = membawa, bha­raka= tempat sirih pinang. Arti khusus atau dalam arti yang lain adalah mengantar sesuatu ke rumah si gadis, misalnya; mota = sirih, keu = pinang, yang disebut dengan nata, beberapa potong pakaian, sabun mandi, bedak, uang, dan lain sebagainya untuk keperluan atau kebutuhan dari gadis itu sendiri. Sementara itu arti dari nata tersebut dikenal lagi dengan istilah ruti nata. Istilah ini lebih langsung mengenai maksudnya. Ruti berarti tahan atau larang (Gadi Gaa, 1991: 114). Jadi nata yang dibawa adalah tanda menahan atau tanda melarang yakni melarang gadis dan orangtuanya, agar tidak berhubungan lagi dengan pemuda-pemuda lain dan larangan bagi umum, termasuk para pemuda supaya tidak boleh meng­incar-incar lagi gadis tersebut.

Nata yang menjadi isi dari bha-raka atau dalam istilah antaran ruti nata, mempunyai arti simbolis hukum. Orang tidak membawa sirih pinang dalam arti etimologis nata, tetapi membawa mas, uang dan atau hewan besar. Selesai suatu persitiwa nata berarti selesai suatu peristiwa hukum (adat). Kedua belah pihak tidak boleh melanggar ikatan itu. Jika pemuda melanggar, dalam arti pemuda kawin dengan gadis lain, maka harta natanya itu hilang - meta kaso - ia tak bisa memintanya kembali. Sedang bila si gadis yang malanggar, - menikah dengan pemuda lain" atau menolak menikah dengan pemuda itu tanpa alasan yang dapat diterima oleh pihak si pemuda, maka orangtua gadis harus mengembalikan harta­ nata sebanyak dua kali dari nilai asal. Dapatlah dipahami bahwa demi menjaga martabat dari masing-masing pihak orang membawa nata pertanda ini dengan harta yang relatif besar nilainya: mas ome mbulu sotonga dengan eko sa-eko-binatang besar. Setelah selesainya acara nata, dua minggu sesudahnya pihak keluarga dari si pria dan wanita tersebut membuat kesepakatan (bermufakat). Hal yang dibicarakan adalah mengenai belis (mas kawin) yang akan dibawakan oleh keluarga dari pihak pria kepada keluarga wanita.

Istilah belis biasanya disebut dengan istilah tu weli tebo (mengantar belis/mas kawin). Tu weli tebo (Membawa belis/mas kawin) dari kata tu = mengantar, weli=harga, tebo=diri. Secara harafiah adalah “mengantar harga diri si gadis”. Karena itu, tebo (diri) si gadis, di musyawarahkan, di-mbabho-kan. Jika seorang gadis sudah di-nata-kan seperti terlukis di atas, maka diri atau tebo gadis itu menjadi acara bahan pemikiran dan pembicaraan umum, terlebih oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri. Selanjutnya adalah suatu adat di mana ada suatu penghormatan kepada anak gadis. Antara nata dan tu weli tebo, kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, satu kesatuan karena mempunyai pengaruh dan jasa atas adanya dan per­kembangan dari si gadis itu. Ibu dan ayah dari keduanya, sang ibu-lah yang mendapat fokus utama. Anak adalah hasil dari rau kambu rou tuka dari ibu/ayah, hasil peng­osongan rahim sang ibu. Begitu kambu- rahim -di-rau yang artinya dikosongkan isinya atau tuka-perut - di-rou-diambil isinya, maka kosonglah isi rahim ibu itu. Mengambil anak gadis orang dalam arti memperisterikannya diartikan juga sebagai rau kambu rou tuka. Perbuatan ini mengakibatkan keko­songan dan kehilangan isi kambu, kehilangan harta milik yang keko­songan dan kehilangan isi kambu, kehilangan harta milik yang paling indah, paling berharga dan paling utama.

Tradisi menganggap bahwa kehilangan ini sebaiknya harus diganti, kekosongan harus diisi kembali. Jika tidak maka kekosongan dan kehilangan isi kambu ini mengganggu keseimbangan dan oleh karena itu niscaya diikuti oleh bala bencana yang mengarah kepada bapa woa atau mesa moli- kemus­nahan - yang menimpa keluarga orang tua si gadis. Maka adalah ungkapan hukum adat: rau kambu dan tato noo wajo,-­rou tuka dau leku noo ome yang berarti: mengosongkan isi rahim harus diimbangi dengan pemberian hartabenda yang bernilai tinggi (Djou, 1991: 116). Inilah lambang penghargaan dan penghormatan kepada sang ibu yang melahirkan dan memelihara sang anak. Pihak keluarga dari perempuan menuntut keluarga dari pihak laki-laki untuk membayar belis (mas kawin) dengan harga yang cukup tinggi. Setelah tiba waktunya berangkatlah delegasi pembawa barang-barang mas kawin ke rumah orang tua si gadis.

Penyambut dan penerima delegasi ini adalah salah seorang saudara dari ibu si gadis atau “eda embu, paman” dari si gadis. Paman mengatakan “tangi pe’i pere kai”, yang berarti tangga tersandar pintu terbuka (bdk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 142). Ungkapan “tangi pe’i pere kai”, melambangkan sikap keterbukaan atau kesediaan menerima orang lain atau perihal lain, khusus dalam suatu kesempatan upacara-upacara adat tertentu. Setelah mengatakan ungkapan tersebut, mereka dipersilakan duduk menurut pentingnya kedudukan mereka dalam rombongan delegasi dan dikawani duduk oleh para wakil orang tua si gadis yang berimbangan tingkatnya. Kira-kira satu bulan setelah acara delegasi tersebut, selanjutnya ada suatu peristiwa yang disebut dengan joka atau tu ana, artinya mengantar atau melepaskan anak gadis dari orang tua dan keluarganya.

Pengantaran anak ini adalah suatu acara yang harus ditempuh menurut hukum adat, karena hal ini merupakan bukti atau pertanda dari suatu peristiwa peralihan status :dari gogo kita menjadi godo ata (dari anggota kita menjadi anggota orang). Perlu diketahui bahwa hubungan sex dari kedua jejaka itu baru resmi sebagai suami isteri jika sudah ditempuh acara ini; weka atau nggewa tee soro lani (membanteng tikar menyerahkan bantal). Inilah perbuatan hukum "menikahkan" kedua jejaka itu. Hubungan sex sebelum acara itu adalah pe­la= zinah, walaupun pertunangan mereka telah resmi, atau telah di-ruti-nata-kan. Tee lani disediakan oleh mamak-eda=saudara lelaki dari ibu si gadis, dan mamak-lah yang membentangkan tikar bantal itu bagi mereka, mamaklah melakukan weka tee soro lani.

Disamping tee-lani, pihak mamak berwajib dan berhak memandikan sang gadis sesudah malam ketiga dengan air yang diisi di dalam kumba atau guci, milik keluarga mereka. Maka sebagai pertanda atau bukti dari realisasi hak dan kewajibannya ini, pihak eda embu gadis sekurang-kurangnya menyediakan lawo dan lam­bu nggea (sarung dan baju wanita) tiga pasang: sepasang sebagai lawo lambu tau nika (sarung dan baju wanita) dipakai pada saat menikah, sepasang sebagai sema ndemo, dipakai pada waktu dimandikan dan sepasang sebagai soro atau doi ndemo, dipakai sesudah mandi (Djou, 1991: 114). Inilah kewajibannya yang harus dipenuhi seba­gai konsekuensi dari haknya dalam menerima weli tebo harga diri si gadis. Makna ragi lambu sangat luas bagi orang Lio. Di satu sisi makna ragi lambu itu diberikan kepada kepada seorang wanita pada pesta atau upacara perkawinan. Tetapi di sisi lain ada pula pesta keluarga, bila seorang dianggap telah dewasa, dengan upacara pemberian "lawo" sarung wanita kepada sang gadis, atau "ragi" sarung laki-laki kepada si pemuda (Ozias, 1990: 76). Ketika Lawo dan ragi ini diberikan kepada seorang kepada sang laki atau si gadis berarti kedua anak itu sudah dewasa dan bisa mandiri. Keduanya sudah bisa mencari nafkah sendiri dan bisa mengatur diri sendiri untuk masa depan. Di sini tentu kerja keras sangat dijunjung tinggi. Dengan upacara adat seperti ini dapat diketahui bahwa seorang gadis memiliki martabat dan weli tebo (harga diri) yang cukup tinggi karena dia telah meninggalkan keluarga asalnya, keluar dari perut-rahim ibunya dan menyatukan serta menjadi anggota keluarga yang baru. Ia menyerahkan dan mengabdikan dirinya secara penuh terhadap suami, keluarga suami, dan anak-anaknya di masa mendatang

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Ungkapan Tradisional yang Berkaitan dengan Sila-sila Pancasila: Daerah Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

    Gadi Gaa, Djou Jan, Perkawinan Adat Di Kabupaten Ende, dalam SAWI: Sarana Karya Perutusan Gereja, No. 5 Mei 1991, Jakarta: Karya Kepausan Indonesia dan Komisi Karya Misioner KWI, 1991.

    Ozias, Fernandez Stefanus, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.


    Lihat Juga

    Du’a gheta lulu wula, Ngga’e ghale wena tana (bahasa Lio Ende, NTT; Yang Mahatinggi/Mahamulia/Tak Terbatas yang berada di atas langit/ Tak terbatas yang berada di bawah bumi (tanah): Penghormatan Manusia Terhadap Kosmos)  Soso molo, sasa masa, jila ngere nenu nia, masa ngere pingga bha (bahasa Lio: menggambarkan suatu kehidupan yang teratur) 

    Oleh :
    Rovinus Longa (-)