Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Marhata Sinamot (Bahasa Batak Toba: hal merundingkan mas kawin atau uang mahar)


Orang Batak Toba di Sumatra Utara, tepatnya di Kabupaten Toba Samosir terdapat sebuah peristiwa adat yaitu merundingkan mas kawin atau uang mahar. Acara ini dilakukan setiap kali orang akan mengadakan pernikahan. Marhata sinamot merupakan peristiwa adat untuk membicarakan mas kawin si perumpuan yang akan dipinang oleh pihak laki-laki. Setelah Patua hata (melamar) dan Marhusip (perundingan diam-diam terkait segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pesta pernikahan yang akan dilakukan) maka berikutnya dilaksanakan Marhata Sinamot (Doangsa 2007: 145).

Marhata Sinamot dilaksanakan oleh rombongan pangoli (rombongan dari mempelai laki-laki) yang terdiri dari orang tua pangoli dan kawan semarga, boru dan tulang pangoli, jika diperlukan, mendatangi rumah pihak oroan yang disambut dengan posisi yang sama, termasuk tulang oroan yang kehadirannya wajib. Inilah bentuk ideal dari peristiwa adat untuk melakukan Marhata Sinamot. Rombongan mempelai laki-laki bisa juga mengikut sertakan aras hula-hula lain di luar tulang, namun itu bukanlah suatu keharusan adat. Alasannya adalah mereka bukanlah parjambar na gok atau parjambar di jabu (fungsionaris penerima berkat utama atau penerima berkat di rumah), melainkan diserahkan pada saat pesta pernikahan itu berlangsung sama dengan undangan lainnya.

Ada beberapa hal yang akan dibicarakan dalam marhata sinamot yaitu; Pertama, pesta perkawinan dilaksanakan di tempat pihak mempelai laki-laki (ditaruhon jual) atau di pihak mempelai perumpuan (di lalap jual). Kedua, kepastian akan jumlah mas kawin. Ketiga pembayaran panjar mas kawin (bohi sinamot). Keempat, jenis hewan yang akan disembelih sebagai lauk pesta (pajuhuti) perkawinan. Kelima, jumlah ulos yang akan diserahkan oleh pihak mempelai perumpuan kepada pihak mempelai laki-laki. Keenam, waktu dan tanggal pesta perkawinan dilaksankan, dan lain-lain (E.K. Siahaan 1978:34).

Marhata Sinamot biasanya dimulai dengan menyerahkan pinggan panungkunan apabila diselenggarakan bersamaan dengan pesta pernikahan. Namun jika dilaksanakan tersendiri maka pinggan panungkunan tidak diperlukan karena pinggan panungkunan tidak terpisah dari fungsi parsinabul (juru bicara) yang ditemukan dalam pesta pernikahan. pinggan panungkunan (piring untuk bertanya), diberikan kepada pihak pangoli kepada pihak oroan agar dapat menanyakan maksud dan tujuan pihak pangoli. Maka pinggan panungkunan adalah seremonial untuk memulai pembicaraan yang dilakukan oleh parsinabul.

Piring tersebut berisi empat lembar uang kertas, beras, daun sirih tiga atau lima lembar. Namun terkadang juga sepotong daging. Setelah piring ini diserahkan dan diterima oleh pihak oroan maka akan dimulai pembicaraan degan ungkapan seperti berikut; “Di son nungga dijalo hami pinggan panungkunan na hot di hundulanna, panungkunan di anak dohot boru, pinggan na hot di hundulanna, asa hot ma na tahatai. Laos adong di son ringgit sitio soara, asa anggiat tio parnidaan tu jolokan ni ari on. Songon i napurang sirara uruk hasoloman ni inanta soripada, asa anggiat mamasu-masu Tuhanta dilean di hita si las ni roha, sinolom ni rohanta. Ihut muse adong di son boras si pir ni tondi, asa anggiat ir tondita tumpahan ni Amanta Debata Pardenggan ni basa i. On pe Amangboru, hujalo hami ma pinggan panungkunan on.” Secara singkat pembicaraan ini dapat diartikan sebagai kesiapan pihak laki-laki memberikan jawaban atas maksud dan tujuan kehadiran mereka di rumah pihak oroan. Parsinabul pihak oroan akan mengambil tiga lembar uang kertas dan membaginya kepada kawan semarga sesuai dengan kebiasaan mereka. Kemudian, piring dikembalikan kepada pihak laki-laki dan nama piring itu tidak lagi pinggan panungkunan melainkan berubah menjadi pinggan pangalusi (piring untuk mempersilahkan pihak laki-laki siap untuk memberikan jawaban selanjutnya) dengan meninggalkan selembar uang kertas. Parsinabul adalah juru bicara dari kedua pihak antara laki-laki dan perumpuan yang telah menerima mandat penuh untuk memandu acara perhelatan yang dimaksud. Parsinabul kedua pihak akan menguraikan dan menuntut kepentingan masing-masing pihak (Doangsa 2007:147).

Marhata Sinamot merupakan tahap penting dalam pernikahan karena menjadi penentu. Pada tahap ini pihak laki-laki dan perumpuan menjalin kesepakatan tentang tata cara pernikahan yang akan dilaksanakan serta wujud dari hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena kesepakatan-kesepakatan telah dirumuskan ketika Marhusip, maka proses Marhata Sinamot akan berjalan mulus. Itu karena semua perbedaan antara pihak laki-laki dan perumpuan telah diselesaikan terlebih dahulu oleh boru yang bertugas sebagai mediator. Setelah Marhata Sinamot, pihak laki-laki akan memberikan Pasituak na tonggi (uang untuk membeli tuak) kepada semua anggota rombongan pihak oroan.

Pada masa sekarang Marhata Sinamot sering kali dilaksanakan tidak sesuai dengan adat misalnya saja di Jabodetabek, adat Marhata Sinamot dilaksanakan bersamaan dengan hari pesta pernikahan setelah penganten menerima peneguhan pernikahan dan berkat di Gereja. Secara Gerejani mereka telah resmi menjadi suami isteri, kendati Marhata Sinamot resmi belum dilaksanakan. Kesalahan ini sangat fatal menurut adat untuk itu perlu diperbaiki sebagaimana mestinya menurut adat (Doangsa 2007:148).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan Marhata Sinamot pada masa sekarang. Patua Hata dan Marhusip dalam Marhata Sinamot tidak perlu rame-rame dan tidak perlu menyuguhkan suguhan tradisional khususnya yang pada mulanya tidak diharuskan. Sajian khusus tersebut hendaknya dikembalikan kepada Marhata Sinamot yang sesungguhnya layak disediakan oleh pihak laki-laki. Marhata Sinamot sebaiknya dilaksanakan sebelum pesta pernikahan karena dapat menghemat waktu pesta pernikahan. Petua Hata, Marhusip dan Marhata Sinamot haruslah disatukan tujuannya juga untuk menghemat waktu pesta pernikahan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    E.K. Siahaan, dkk, 1978. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara, Jakarta: Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

    P.L, Doangsa Situmeang, 2007. Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta: Kerabat (Kerukunan Masyarakat Batak).


    Lihat Juga

    Mangallang Horbo Bius (Bahasa Batak Toba: Ritual memakan hewan persembahan yaitu kerbau)  Mangongkal holi (Bahasa Batak Toba: Menggali tulang belulang) 

    Oleh :
    Rudianto Situmorang (-)