
Bhoti Mondo Tau Wake Mangu Sao Ria (Acara Kumpul Keluarga Untuk Membangun Rumah Adat).
Di suatu wilayah tepatnya di sebuah desa sekitar 45 km bagian selatan dari kota Maumere-Sikka, terdapat sebuah suku yang disebut dengan suku Mbengu yang ada di Lio.Suku Mbengu terletak di Desa Mbengu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. (Arndt 2002: 38). Di tempat ini jika akan diadakan pesta, maka tuan pesta selalu atau wajib mengundang keluarga-keluarga dekat untuk berkumpul bersama. Acara yang paling terkenal di daerah ini adalah acara Bhoti Mondo (Kumpul Keluarga). Acara Bhoti Mondo (Kumpul Kelurga) ini banyak jenisnya dan disesuaikan dengan tema. Misalnya Acara atau ritus We’e Ka Wake Mangu Sa’o Lepa (Acara Menjelang Bangun Rumah Baru), We’e Ka Acara Sambo Baru (Menjelang Acara Sambut Baru), We’e Ka Acara Maso Minta (Menjelang Acara Masuk Minta), We’e Ka Acara Tahbisan Ndoke Rua (Menjelang Acara Tahbisan Imam Baru). Acara-acara ini dilakukan atas kebijakan dari tuan pesta dengan tujuan untuk meringankan beban demi terselenggaranya acara-acara tersebut. Di samping itu acara Bhoti Mondo (Kumpul Keluarga) ini dilakukan pada saat upacara Ata Mata (Upacara Kematian), Acara Wake Mangu Sao Ria (Acara Membangun Rumah Adat). Acara ini dilakukan atas kebijakan Ata Laki Pu’u (Tua Adat) noo (dengan), Ata Laki Ria Bewa (Pelaksana Amanah dari Tua Adat), dengan tujuan untuk membangun kembali Sao Ria (Rumah Adat) dan acara Ata Mata (orang meninggal). Dalam tulisan ini, saya memfokuskan pada ritual atau acara Bhoti Mondo Tau Wake Mangu Sao Ria (Acara Kumpul Keluarga Untuk Membangun Rumah Adat).
Pertama-tama, harus diketahui bahwa pemerintahan adat di tanah persekutuan diurus oleh tujuh besar dari dewan Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi) yang disebut Laki Lima Rua (Tujuh Fungsionaris Tingkat Bawah) sebagai bentuk pemerintahan kolegial sapta tunggal. Dewan Pemerintahan Laki Lima Rua dibagi atas dua unit, yaitu Laki Telu (unit tiga besar) dengan wewenang tertinggi pada Laki Pu’u (Fungsionaris Tingkat Atas) untuk urusan ritual dan unit Laki Sutu (unit empat besar) untuk mengurus tata pemerintahan profan dan tata hidup rakyat dengan wewenang tertinggi pada Ria Bewa (merupakan fungsionaris penting dengan kedudukan sebagai pengatur, pelaksana, pengusut dan organisator berdasarkan instruksi atau amanat dewan Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi) yang berpangkal pada Laki Pu’u (Fungsionaris Tingkat Atas). Jadi, dewan Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi) itu dibagi dalam tiga besar atau tritunggal yaitu Laki Pu’u (Fungsionaris Tingkat Atas) dan dua asisten untuk upacara ritual dan catur tunggal yaitu Ria Bewa (Fungsionaris Penting dengan Kedudukan Sebagai Pengatur, Pelaksana, Pengusut dan Organisator berdasarkan Instruksi atau Amanat Dewan Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi) yang berpangkal pada Laki Pu’u (Fungsionaris Tingkat Atas) dan tiga pembantu untuk urusan pemerintahan dan tata hidup rakyat. (Oringbao, 1992: 27-28).
Selain kita mengetahui tata pemerintahan adat di tanah persekutuan suku bangsa Lio, kita juga harus mengetahui sistem kemasyarakatan dalam tatanan budaya suku bangsa Lio. Lapisan sosial di tanah persekutuan dibagi atas 4 yaitu, Pertama, tingkat bangsawan tinggi, yaitu keluarga dewan Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi) yang disebut Ine-Ame (Ibu-Bapak). Kedua, Tingkat bangsawan kelas bawah ialah keluarga Laki Lo’o (Keluarga Kaum Fungsionaris Tingkat Bawah). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang berjasa dalam mempertahankan atau dalam memperluas tanah persekutuan melalui perang, nah mereka ini sering disebut Boge Hage (Keratan-keratan Daging Pembagian Wajib Diterima). Sebutan Boge Hage berasal dari keratan-keratan daging pembagian wajib, dimana Boge (Potongan Besar) dari Hage (Hewan). Jadi dewan Laki Loo (Keluarga Kaum Fungsionaris Tingkat Bawah) dibagi menurut Boge Hage (Keratan-keratan Hewan atau Daging hewan yang telah disembelih dan Pembagian Wajib Diterima) dengan perincian Boge Ria (Potongan Besar) dan Boge Lo’o (potongan kecil) serta Hage Ria (Hewan Besar) dan Hage Lo’o (Hewan Kecil) adalah fungsionaris tanah persekutuan yang makin diperkecil sebagaiman dendeng binatang atau hewan sembelihan yang diperkecil dalam keratan-keratan. Jadi bagian hak bagi fungsionaris harus diserahkan sesuai dengan jasa dan tingkat sosial. Kesembronoan atau ketidakaturan dalam hal ini akan membawa ketegangan yang berujung akan dikenai sanksi adat dan bisa terjadi malapetaka besar. Ketiga, Fai Walu Ana Kalo (Anak Yatim Piatu dan Para Janda), mereka dikatakan rakyat biasa yang hidup merdeka di bawah tanggung jawab Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi). Tugas Fai Walu Ana Kalo (Anak Yatim Piatu dan Para Janda) adalah menggarap tanah persekutuan. Keempat, adalah Ata Ho’o (tingkat pelayan atau budak). (Oringbao, 1992: 24).
Acara ini dilakukan apabila terjadi kerusakan pada Sao Ria (Rumah Adat), dan dibutuhkan perbaikan atau merehab kembali Sao Ria atas permintaan seluruh rakyat atau masyarakat yang ada diwilayah itu. Penyampaian untuk merehap Sao Ria (Rumah Adat) disampaikan oleh Laki Pu’u (Fungsionaris Tingkat Atas) kepada Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi) dan Ria Bewa (Fungsionaris Penting dengan Kedudukan Sebagai Pengatur, Pelaksana, Pengusut dan Organisator). Penyampaian itu dalam musyawarah adat di Sao Ria (Rumah Adat). Setelah diadakan musyawarah adat secara bersama, maka Ria Bewa (Fungsionaris Penting dengan Kedudukan Sebagai Pengatur, Pelaksana, Pengusut dan Organisator) menyampaikan kepada seluruh rakyat atau masyarakat hasil pertemuan antara mereka yakni merehab kembali Rumah Adat yang telah rusak dan semua diundang untuk berkumpul dan bersama-sama membangun kembali. Jadi disini masyarakat terlibat dalam Bhoti Mondo (Kumpul Keluarga) di suku masing-masing setelah mendengar penyampaian dari Ria Bewa (Fungsionaris Penting dengan Kedudukan Sebagai Pengatur, Pelaksana, Pengusut dan Organisator).
Acara atau ritual Bhoti Mondo (Kumpul Keluarga) biasanya disiapkan makanan dan minuman khusus bagi para tamu, apalagi yang hadir adalah Laki Pu’u, (Fungsionaris Tingkat Atas), Laki Ria (Fungsionaris Tingkat Tinggi), dan Ria Bewa (Fungsionaris Penting dengan Kedudukan Sebagai Pengatur, Pelaksana, Pengusut dan Organisator). Untuk diketahui bahwa hewan yang disembelih untuk tamu agung tidak semua dimasak atau disajikan ini demi mempertahankan nilai-nilai etis kebudayaan. Hal yang dimaksudkan seperti jantung, rahang, Pusu Lema (lidah dan bagian depan dari hewan itu) diberikan kepada tamu agung yang datang pada acara Bhoti Mondo (Kumpul Keluarga) tersebut disajikan bersama makanan yang akan disantap, kemudian juga minuman tradisional arak atau moke. Arak atau moke juga bermacam-macam jenisnya, yang memuat alkohol tinggi yakni arak atau Moke Jengi Jila (Arak Bakar Menyala). Ada juga disediakan Mbako dan Nata Ka (Merokok dan Siri Pinang), yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang yang layak dipertahankan hingga saat ini. Nata Ka (Sirih Pinang) diperuntukkan bagi kaum hawa Lio-Ende, dan sebagia kecil kaum lelaki. Dalam kehidupan kemasyarakatan, secara khusus dalam Bhoti Mondo (Kumpul Keluarga) Nata Ka (Sirih Pinang) dan Mbako (Merokok) menjadi sarana ampuh dalam membangun dan memelihara keserasian hubungan sosial. (Mbete, 2004: 185-187).
Bibliografi
Arndt, Paul. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah), (judul asli: Dua’ Nggae, Das Hochste Wesn Im Lio-Gebiet (Mittel-Flores), diterjemahkan oleh Yosef Smeets, SVD, dan Kletus Pake. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.
Aron Meko, Mbete, dkk. Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Ende, 2004.
Oringbao, sareng. Tata Berladang Tradisional Dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio. Ende: Arnoldus, 1992.
Lihat Juga
NIPA MOA (Peristiwa Alam Terjadinya Pelangi Dari Lio-Ende) | Tura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi) Dalam Hukum Adat Lio |
Agustinus Ga'a Della ()