Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Tura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi) Dalam Hukum Adat Lio


Di suatu wilayah tepatnya di sebuah desa sekitar 45 km bagian selatan dari kota Maumere-Sikka, terdapat sebuah suku yang disebut dengan suku Mbengu yang ada di Lio.Suku Mbengu terletak di Desa Mbengu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. (Arndt 2002: 38). Di tempat ini terdapat satu istilah dengan nama Tura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi).

Istilah ini digunakan karena pada zaman dahulu, suku-suku bangsa Lio hidup terkotak di tanah persekutuan masing-masing. Penyebab utama yakni, Keadaan geografi yang tidak memungkinkan dan kekurangan lalu-lintas sehingga membatasi kontak hidup antar penduduk/masyarakat. Maka dari itu, suku-suku bangsa Lio hidup tersebar dalam kompleks tanah persekutuan masing-masing. (Orinbao, 1992:21). Walaupun tekstur tanah tidak memungkinkan karena terdiri dari persekutuan yang terpencil yang menetap di lereng-lereng gunung atau lembah, di teluk dan tanjung yang sukar ditempuh, menyebabkan terisolir dari perkampungan bahkan pedesaan. Hal ini menyebabkan daerah-daerah terpencil sulit dijangkau. Namun jangan mengira bahwa meskipun daerah-daerah itu terisolir dari keramaian, mereka tidak menutup diri dalam relasi persahabatan yang sering dikenal dengan istilah tura jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi). Tura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi) ini diperkuat oleh sebuah janji atau sumpah yang berisikan kebinasaan total bagi si pelanggar Tura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi). Perjanjian ini memupuk persahabatn antar penduduk atau masyarakat setempat.

Secara etimologi istilah Tura Jaji berasal dari kata Tebo Tura, Lo Jaj', yang secara harfianya dapat berarti Tebo (Tubuh/Badan) Tura (Terbebani). Serta Lo (Pundak) dan Jaji (Perjanjian). Apabila digabungkan kata Tebo Tura, Lo Jaji akan berarti (Setiap Manusia harus Menjunjung Tinggi Perjanjian di Atas Pundak). Perjanjian di sini dimaksudkan perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para Mamo Embu Sai Mulu Nala (Para Leluhur sejak Zaman Dahulu Kala). (Ozias 1990:141).

Dikatakan perjanjian karena perjanjian ini dikhususkan antar persekutuan orang Lise secara umum dengan persekutuan orang Mbengu di perbatasan Kabupaten Ende dan Maumere. Isi dari perjanjian itu ialah Jika ada orang Lise yang sedang berada di wilayah Mbengu dan dilanda kehausan atau kelaparan, mereka boleh memetik Nio Woe (Kelapa Muda) atau buah apa saja untuk dimakan asalkan tidak untuk di bawah pulang dan begitu pula sebaliknya. Yang menarik di sini, ialah meskipun pemiliknya melihat perilaku seseorang dari salah satu persekutuan tersebut yang sedang memetik buah kelapa dan lain-lain, mereka tidak boleh melarang tindakan tersebut. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian tersebut akan mengalami masa sulit berkaitan dengan hasil panen.

Ada dua sanksi yang diberikan kepada si pelanggar yang melakukan pelanggaran-pelanggaran adat, baik itu secara sengaja atau tidak tentunya dikenakan sanksi yang sangat tegas namun ada juga tidak dikenakan sanksi secara langsung. Sanksi yang dikenakan secara langsung misalnya, Jika seseorang melakukan penghinaan atau fitnah kepada yang lainya, kemudian apabila seseorang terbukti bersalah kepada sesamanya, maka seseorang itu harus membayar denda kepada sesamanya, sebagai ganti rugi beban moralnya. Jika hal itu tidak dilakukan maka orang itu akan dikucilkan oleh adat dan masyarakat setempat. Beban ganti rugi ini sering disebut orang Lio sebagai 'Ndate Wale' (Denda Adat) berupa hewan kurban sebagai wujud untuk menggantikan keluhuran yang ternoda. Jika Si pelanggar tidak sanggup membayar denda ini berarti dia harus rela meneteskan daranya sebagai ganti hewan kurban atau dia akan dikucilkan bahkan diusir dari persekutuan ini. (Orinbao, 1992:24)

Ritual Adat yang dilakukan adalah sebagai berikut: Mosalaki (Ketua Adat) menetapkan Leja Lima Rua (Waktu Tujuh Hari) diadakan Pire Poo (Pantangan) sebelum hari H. Dalam masa tujuh hari ini, masyarakat yang tinggal diwilayah itu dilarang keras melakukan aktifitas yang bersifat merusak tanaman hijau misalnya, memetik daun hijau, menebang pohon dll. Pada masa ini juga masyarakat dilarang membuat kegaduhan misalnya, Repa Tange (Berkelahi), Toja Ga’i (Berpesta Pora) atau Pati Nggu Musik Ria-Ria (Menyetel Musik Keras-Keras), Bu Moke (Mabuk-Mabukan) ataupun Repa Ngembo (Membuat keonaran) dll. Meskipun demikian, masyarakat juga tentu diijinkan untuk beraktifitas seperti biasa untuk menopang hidup. Larangan-larangan ini dimaksudkan supaya dalam tujuh hari masyarakat harus hidup tenang. Selain itu, Pada masa pantangan ini diyakini sebagai proses turunya Du'a Gheta Lulu Wula (Penguasa Langit) dan menyatu dengan Ngga'e Ghale Wena Tana (Penguasa Bumi) di Wisu Lulu (Pojok Kanan Rumah Adat) melalui Saga Au (Wadah Berbentuk Perahu Pada Tiang Bambu) yang tertancap di halaman depan rumah adat. (Orinbao: 1992: 45). Proses perkawinan atau penyatuan ini diyakini sebagai unsur simbolik dari pemberihan benih-benih kesuburan selaras dengan apa yang didambahkan oleh setiap insan dan ditandai dengan masuknya iklim penghujan.

Makna ritual atau tata caraTura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi) adalah bahwa agar masyarakat perlu menjaga keharmonisan dan kedamaian melalui relasi atau persahabatan diantara sesama manusia sebagai aku dan Liyan (Ed: Armada, 2011: 25). Dengan adanya ritual ini sebenarnya mau mengajak semua manusia untuk menjalin relasi bukan saja aku dan sesama, tetapi juga aku dan alam sekitar (kosmos) dan aku dan Tuhan.

Bagi siapapun yang melanggar Hukum adat ini akan dikenahkan Ndate Wale (Denda Adat), dalam rupa hewan kurban sebagai wujud untuk menggantikan keluhuran yang ternoda. Jika Si pelanggar tidak sanggup membayar denda ini berarti dia harus rela meneteskan darahnya sebagai ganti hewan kurban atau akan dikucilkan bahkan diusir dari persekutuan ini.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Arndt, Paul. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah), (judul asli: Dua’ Nggae, Das Hochste Wesn Im Lio-Gebiet (Mittel-Flores), diterjemahkan oleh Yosef Smeets, SVD, dan Kletus Pake. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

    Fernandez Ozias Stefanus. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, 1990.

    Oringbao, sareng. Tata Berladang Tradisional Dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio. Ende: Arnoldus, 1992.

    Riyanto, Armada, Marcellus Ari Christy, dan Paulus Punjung Widodo, Ed. Aku dan Liyan (Kata Filsafat Dan Sayap), Malang: Widya Sasana Publication, 2011.


    Lihat Juga

    Bhoti Mondo Tau Wake Mangu Sao Ria (Acara Kumpul Keluarga Untuk Membangun Rumah Adat).  NIPA MOA (Peristiwa Alam Terjadinya Pelangi Dari Lio-Ende) 

    Oleh :
    Agustinus Ga'a Della ()