Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

NIPA MOA (Peristiwa Alam Terjadinya Pelangi Dari Lio-Ende)


Di suatu wilayah di daerah perbatasan antara Kabupaten Ende dengan Kabupaten Sikka, tepatnya di kampung Ranggase, desa Nggela, kecamatan Lio-wolowaru, kabupaten Ende. (Arndt, 2002: 185). Di kampung Ranggase dulu katanya sering terjadi pelangi yang sangat indah dan peristiwa itu terjadi pada bulan-bulan tertentu, sehingga masyarakat pada waktu itu menamakan gejala alam ini dengan nama yang sampai aat ini terkenal yaitu Nipa Moa (Pelangi).

Secara etimilogi, Nipa Moa berasal dari dua kata yakni Nipa (Ular) dan Moa (Menguap). Maka Nipa Moa berarti ular menguap. Namun sebenarnya Nipa Moa juga dapat diterjemahkan dengan pelangi sehingga bentuk katanya menjadi Nipa (Ular), Moa (Menguap), Wula (Langit), Leja (Siang Hari). Secara harafiah dapat dikatakan bahwa ular langit menunjukkan dirinya pada siang hari setelah hujan reda. Alasan mengapa suku-suku bangsa yang ada di Lio menyebut pelangi dengan Nipa Moa didasari pada cerita atau mitos bahwa Nipa (Ular) Wena Tanah (Bumi) Minu (Meminum) Sawe (Habis) Ae (Air) Uja (Hujan), Sawe Ina (Sehingga) Tuka Boo (Kekenyangan) Sawe Ina (Sehingga) Menga Baa (Tinggal) Leka Ola (Suatu Tempat). Ketika cahaya matahari menyinari, maka keindahan warna kulit ular bumi terpantul ke langit sehingga timbul pelangi berpanca warna. (Orinbao, 1992: 71).

Nipa Moa (Pelangi) terjadi pada saat sesudah hujan jikalau dari balik awan, sebab cahaya matahari menyinari butir-butir air hujan atau embun basah. Menurut keyakinan orang sederhana, bahwa jika terjadi tanda yang tertancap antara langit dan bumi itu berarti pertanda pembuahan atau penyuburan atas bumi. Maka dari itu dilarang keras untuk menunjuk dengan tangan kepada pelangi ketika diketahui munculnya pelangi di langit karena dapat mencegah kekuatan langit untuk membuahi dan menyuburkan bumi dan malah bisa saja membuntingkan bumi. Maka dari itu Nipa Moa (Pelangi) berarti salah satu gejala alam yang pertanda baik, sebagai simbol kekuatan seksual langit untuk menyuburi bumi.

Pada dasarnya ular itu melambangkan kebahagiaan dan harta. Dalam konteks ini kebahagiaan karena akan tiba musim panen sebab hujan telah turun dan adanya gejala alam yang terjadi. Sehingga suku bangsa Lio dapat mencapai kebahagiaan dan memperoleh harta dari hasil bumi yang ada. (Arndt, 2002: 144).

Untuk diketahui bahwa Nipa Moa (Ular Langit) dan Nipa Ria (Ular Bumi) rupanya berdekatan arti, seperti yang diperjelas dalam syair berikut ini:

Nipa Ria Noo Nipa Moa (Ular Bumi dan Ular Pelangi),

Ebe Wa’u (Turun di Zaman),

Nebu Liru Sa Siku (Langit Hanya Setinggi Siku),

Tana Sa Paga (Tanah Hanya Sejauh Jengkalan). (Orinbao, 1972:71).

Secara harafiah, arti dari ungkapan ini adalah bahwa zaman ini dianggap sebagai zaman ideal, di mana langit berdekatan dengan bumi dan manusia. Tetapi manusia memotong tali balang yang menghubungkan langit dengan bumi, sehingga langit menjauhi bumi. Demikianlah Tuhan menjauhi manusia. Namun, jiwa langit yaitu Nipa Moa dan jiwa bumi yaitu Nipa Ria tetap condong untuk berhubungan.

Menurut tanggapan orang sederhana, pengaruh Nipa Ria (Ular Bumi) sangat besar, dimana Nipa Ria (Ular Bumi) dianggap menyembunyikan air hujan. Maka untuk memohon restu dari Nipa Ria (Ular Bumi), dibuatlah jampian berikut ini:

Kau Nai Sai Gheta Tangi (Silakan Menaiki Tangga),

Tika Sai Ghe’ta Te’nda (Dan Duduk Di Balai),

So Ndii Sai Ghe’ta Ki (Berbaringlah Di Alang),

Mera Sai Ke’e-ke’e (Menetaplah Di Situ Dengan Tenang),

Gha Watu Temu Sewu (Di Batu Yang Sejuk),

Kami Ta’u Kau Ngere Nipa Ria (Kami Segani Engkau Seperti Ular Bumi),

Ga Ngere Bara Bani (Dan Takut Kepadamu Sebagai Bara Bani). (Orinbao, 1992:72).

Inilah doa curah hujan kepada Nipa Ria (Ular Bumi), guna menyelamatkan tanaman padi di ladang, maka sebagian kaum adat akan membawakan sesajen berupa minyak dan sedikit air kepada Nipa Moa (ular langit), air itu dapat dikatakan sebagai pralambang air ludah Nipa Moa (Ular Langit).

Suku bangsa Lio menganggap pulau Flores jelmaan Nipa Ria (Ular Bumi), sehingga disebut Nusa Nipa (Pulau Ular). Filsafat Lio menandaskan bahwa Nipa Ria (Ular Bumi) dan Nusa Nipa (Pulau Ular) itu identik. Manusia yang berdiam di Nusa Nipa (Pulau Ular) dianggap berdiam di punggung ular bumi. Dalam hubungan ini, suku bangsa Lio membawakan sesajen juga kepada Nusa (Pulau) sebagai kitaran geografi yang dianggap berdaya sakti. Maka jampaian dalam membawakan sesajen kepada Nipa Ria (Ular Bumi) sama dengan jampaian dalam membawa sesajen kepada Nusa Nipa (Pulau Ular). Rumusan jampaiannya sebagai berikut:

Ulu Gheta Kowe Jawa (Kepala Di Kowe Jawa),

Kami Paa Kau Ka (Kami Beri Kau Makan),

Eko Ghale Bojo Bima (Ekor Di Bajo Bima),

Kami Rewu Kau Rue (Kami Serahkan Sesajen),

Ata Eo Kolu Mbou Ulu (Mereka Yang Merusak Bagian Kepala, Panjungkan Kepalanya),

Geto Lima Kai (Potonglah Tangannya),

Pusu Kai Tu leka Pu’u Tubu (Jantungnya Letakkan Di Tugu Sesajen),

Lema Kai Tu Leka Fi’i Kanga (Lidahnya Letakkan Di Tiang Sesajen). (Orinbao, 1992:73).

Secara harafiah dapat dipahami bahwa Kepala ular bumi di Kowe Jawa identik dengan kawasan timur dan ekor di Bajo Bima identik dengan kawasan barat. Pulau Flores dianggap kosmos besar dan tanah persekutuan diangggap sebagai kosmos kecil. Supaya hidup suku-suku bangsa agraris rukun, maka dibutuhkan ketentraman di bagian timur dan bagian barat. Jadi pembawa keonaran di bagian timur atau bagian barat Nusa Nipa (Pulau Ular), harus dibinasakan, sehingga jantung dan lidahnya dijadikan bahan sesajen bagi Nipa Ria (Ular Bumi). Jelasnya, sesajen kepada Nipa Ria (Ular Bumi) sama dengan sesajen kepada Nusa Nipa (Pulau Ular).

Rupanya musim hujan dalam setahun masih ada kaitan dengan peristiwa Nipa Ria (Ular Bumi dan Nipa Moa (Ular Langit), maka masyarakat suku Lio meyakini adanya musim-musim dalam setahun. Musim hujan ini terjadi pada tri wulan terakhir dalam setahun yakni: Wula (Bulan) Mapa (Oktober), Wula (Bulan) More (November), Wula (Bulan) Nduru (Desember). (Mbete, : 2004: 170-172).

Wula Mapa (Bulan Oktober). Pada bulan ini hampir sebagian besar wilayah persekutuan adat menyelenggarakan ritual adat menyongsong musim tanam. Ritual-ritual yang dumaksudkan adalah: Joka Ju (Pesta Tolak Bala Dan Hama), Ka Poo (Upacara Makan Nasi Bambu Simbol Pembersihan Hutan), dan lain-lain. Inti dari ritual ini adalah memberi persembahan bagi Tana Watu (Penguasa Pertiwi/Bulan) sebagai simbol pemurnian ladang sebelum menanam karena sebelumnya dicemari oleh perbuatan manusia. Melalui upacara atau ritual ini seluruh wilayah tanah ulayat atau persekutuan diliputi kekuatan religi. Wula Mapa (Bulan Okrober) diyakini sebagau masa suci, karena seluruh warga di wilayah itu melaksanakan seremoni adat, memohon kepada dewa-dewi penguasa bumi untuk memberikan kesuburan. Dalam bulan Mapa (Oktober) ini, alam semesta kelihatan mulai lebih ramah, bersahabat dan memberikan harapan baru. Harapan baru itu terbukti dengan adanya tanda-tanda alam seperti bunyi guntur, mendung pertanda hujan. Tanda-tanda alam seperti hujan setelah kemarau berkepanjangan adalah karunia Sang Pencipta kepada makhluk ciptaanNya yang mengispirasi manusia untuk menanam. Warga petani dihimbau untuk menyiapkan lahan, bibit, karena usim tanam akan tiba. Peringatan itu tertuang dalam ungkapan adat:

Mapa Nggu Nggedhui (Suara Guntur Mulai Menggelegar),

Wini Wari Welu (Jemurlah Padi Untuk Bibit),

Toka Kebe, Tena Moro (Buatlah Pematang Serta Bangunlah Pondok),

Koe Lowo Leka Uma (Siapkan Jalan Air Di Ladangmu). (Mbete, 2004: 172).

Wula More (Bulan November) adalah periode yang tepat untuk menanam. Waktu ini disebut dengan Nelu Tedo (Musim Tanam) untuk menanam padi dan jagung. Seluruh warga masyarakat diajak untuk memulai menanam karena hujan pun mulai turun mereta, seperti tertuang dalam ungkapan adat setempat, berikut ini:

More Mapa Tau Gedo Ana (Kerjakan Sesungguhnya Buatkan Teras),

Mapa More Tau Poto One (Kecapaian Kita Pasti Membuahkan Hasil),

More Api Banga Bani Raka Tana (Apinya Menyala Membumihanguskan Lahan) (Mbete: 2004:172).

Wula Nduru (Bulan Desember). Dalam bulan ini diharapkan semua lahan sudah selesai ditanam karena hujan pun terus menerus menyirami lahan. Sisa kayu yang berserakan pada lahan dibiarkan saja dan dilarang untuk membakarnya. Seandainya diambil, sisa-sisa kayu itu hanya diperbolehkan untuk menyalakan api di pondok. Amanat budaya itu tertuang dalam ungkapan, berikut ini:

Nduru Rupi Nutu (Bulan Ini Apinya Padam),

Api Nu Jubhu Judhu (Asapnya Hitam Menebal). (Mbete, 2014: 172).

Makna yang dapat dipetik dari tulisan ini adalah bahwa ada kaitan antar kosmos atau alam semesta yakni manusia dengan binatang. Adanya kerjasama yang baik demi penghidupan masyarakat tradisional dengan adanya sumber hujan. Ular dan manusia memang di satu sisi bermusuhan, namun di sisi lain saling membantu. Olehnya masyarakat Lio tidak pernah memotong ular ketika saling bertemu, karena manusia beranggapan bahwa ular pembawa berkat bagi kehidupan manusia.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Arndt, Paul. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah), (judul asli: Dua’ Nggae, Das Hochste Wesn Im Lio-Gebiet (Mittel-Flores), diterjemahkan oleh Yosef Smeets, SVD, dan Kletus Pake. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

    Aron Meko, Mbete, dkk. Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Ende, 2004.

    Orinbao, Sareng. Tata Berladang Tradisional Dan Pertanian Rasional Suku- Bangsa Lio. Ende: Arnoldus, 1992.


    Lihat Juga

    Bhoti Mondo Tau Wake Mangu Sao Ria (Acara Kumpul Keluarga Untuk Membangun Rumah Adat).  Tura Jaji (Perjanjian Persahabatan Abadi) Dalam Hukum Adat Lio 

    Oleh :
    Agustinus Ga'a Della ()