
Nyaho ( Dayak Kayaan, Kalbar: Upacara adat ngayo )
Di suatu wilayah di Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu, Kecamatan Putussibau, Desa Sungai mendalam, terdapat sebuah kebiasaan yang menandakan suatu peristiwa rekonsiliatif hidup bersama. Kebiasaan itu ialah upacara adat ngayo. Upacara adat ngayo ini beda dengan ngayau sungguhan. Namun langkah-langkah mengayau sungguhan jika dibandingkan dengan upacara adat ngayo hampir sama. Perbedaan kedua jenis ini terletak pada nyaho ( burung-burung yang ditunggu masuk kedalam lingkaran rotan yang membentang sungai ). Pada upacara adat ngayo, mereka tidak selalu menunggu nyaho karena tergantung situasi. Namun apabila mereka hendak berencana mengayau atau menyerang kelompok lain, maka adat ngayo dan nyaho mesti dilakukan dan tidak dipisahklan.
Upacara adat ngayo dilakukan sebagai syarat bahwa tradisi mengayau pada suku kayaan juga terjadi. Adat ngayo ini dilakukan setiap tahun sebelum dange ( pesta ritual padi ). Suku dayak kayaan yang mendiami sungai medalam sejak ratusan tahun silam yang kini berjumlah sekitar dua ribu tiga ratus jiwa (data 2005 dari kades datah Diaan), dulu berasal dari apo kayaan, Provinsi Kalimantan Timur ini hidup di rumah panjang. Ketika musim ladang, rumah panjang sepi, tapi ketika musim keramaian seperti dange, pesta pernikahan, kematian dan termasuk upacara adat ngayo, maka rumah panjang menjadi ramai.
Adat ngayo ini dikhususkan bagi kaum laki-laki terutama anak muda yang baru menginjak usia remaja, (di atas 10 tahun) dan bukan untuk anak gadis. Bagi anak remaja, adat ngayo ini sangatlah penting, karena adat ngayo merupakan upacara adat yang memberi semangat baru bagi kaum remaja, oleh sebab itu mereka harus terlibat secara langsung. Dengan maksud agar mereka semakin berani, terutama ketika berhadapan dengan musuh.
Prosesi atau upacara adat ngayo ini dimulai dari hulu perkampungan ( karena kebetulan suku dayak kayaan dari dulu hingga sekarang selalu bertempat tinggal di tepi sungai yang besar bagian hulu). Prosesi acara adat ngayo ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mereka yang sudah pernah ikut adat ngayo atau yang sudah pernah mendapatkan kepala musuh. Sedangkan kelompok kedua, remaja yang siap ikut bergabung dalam adat ngayo ketika menginjak usia remaja.
Kelompok pertama disebut dengan kelompok-kelompok orang-orang pedo ( mereka yang pergi dengan membawa kepala kering di hulu rumah dan pernah ikut puva), selama empat hari empat malam. Sementara kelompok remaja yang disebut kelompok puva ( anak laki-laki yang akan diajarkan masuk dan terlibat dalam prosesi adat ngayo) menunggu ditempat di mana mereka akan bermalam.
Kemudian kelompok yang pedo turun ke lokasi yang ditentukan di hulu perkamapungan, mereka melakukan upacara ritual memanggil ngayo dawing ( elang bernama dawing ), seperti yang saya tuliskan di atas, menunggu burung-burung masuk dalam lingkaran rotan. Menurut mitos dayak kayaan, mahluk ini diyakini mampu menolong dan menjadi pelindung ketika pergi mengayau.
Menurut penatua kayaan uma Pagung, Avunn lepaa, binatang yang biasanya juga datang bernama nyaho dawing. Binatang yang juga ambil bagian dalam acara turun ngayo. Setelah prosesi pemanggilan semua binatang itu dilakukan secara genap atau berpasang-pasangan, maka semua rombongan yang ikut pedo turun dari rumah menuju sampan yang sudah menunggu di sungai. Di tempat mereka pedo, didirikan lepo (pondok) tempat untuk bermalam.
Di pondok itu juga mereka menyimpan tengkorak kepala hasil dari mengayau. Tengkorak itu diikat bersamaan dengan saang ( pucung daun samit atau ano: tumbuhan hutan sebangsa palem ). Di pondok tersebut mereka juga yang pergi pedo tidak boleh tidur semua pada malam hari. Dan jika mau tidur harus bergantian. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menjaga kepala hasil ngayau.
Selama pedo, dengan diiringi alat musik gong (tawak), serta dengan tarian yang dilakukan oleh beberapa anak muda. Sementara itu ada beberapa anak muda lainnya atau beberapa penatua yang berpergian untuk mencari lauk pauk, mereka membawa beberapa alat penangkap ikan seperti jala, pukat dan bubu. Setelah pukat dan bubu selesai dipasang, sementara itu ada yang sedang menjala, dan menjala harus dilakukan dihilir sungai. Sementara itu ada beberapa anak muda lainnya atau diikuti beberapa penatua lainnya untuk pergi berburu. Alat yang dibawa yaitu tombak, sumpit dan kelabit (perisasi).
Selain itu ada baju khusus yang digunakan saat berburu yaitu semacam rompi penangkal atau penahan badan supaya tahan dari gigitan binatang. Rompi itu dibuat dari kulit binatang, semisalkan dari kulit harimau, beruang dan juga kulit rusa hasil buruan sebelum-sebelumnya. Semua peralatan berburu dihiasi dengan hasil buruan. Entah dari bulu burung atau gigi binatang.
Sangat menarik bagi saya diadakan upacara adat ngayo ini. Di mana dengan adanya acara adat ngayo ini, kita semakin tahu bahwa bukan hanya ngayau sungguhan tetapi ada adatnya juga. Adat ngayo ini bukan seperti ngayau yang kita kenal, melainkan hanya sebuah upacara adat. Oleh sebab itu diberi nama adat ngayo, bukan ngayau. Sedikit kemiripan nama, karena sudah menjadi suatu kebiasaan suku dayak Kayaan.
Upacara ini juga sangat menarik bila dikaitkan dengan pemikiran menurut Sigmund Freud, seoarng filsuf, yang membahas tentang Psikolanalisis dan moralitas. Menurut Sigmund Freud, kesadaran moral seorang berkembang dalam proses penyesuaian dorongan-dorongan instingtualnya pada realitas hidup bersama dalam masyarakat ((Franz Magnis, 2000: 151). Nilai hidup bersama menjadi sangat penting, sehingga mampu menumbuhkan rasa atau sikap sadar akan pentingnya dalam mengubah pola pikir orang lain.
Dalam upacara adat ngayo, dikatakan dengan jelas, bahwa itu hanyalah sebuah upacara bukan mengayau sungguhan. Melakukan dalam artian membunuh. Tetapi ini hanya semacam reka ulang agar orang yang hidup dimasa kini, sadar bahwa sangat penting untuk beepikir positif terhadap orang lain (bdk. Alloy 2008: 44 ). Di jaman ini masih banyak orang berpikir bahwa daerah tertentu masi sangat primitif, padahal pada kenyataannya tidak semua demikian. Nilai hidup saat ini sudah menjadi sangat penting, dan kebanyakan orang sudah hidup dalam kesetaraan. Kesetaraan dalam arti moralitas yang seimbang dalam perkembangannya.
Sigmund menjelaskan mengenai moralitas, yaitu sikap yang paling diutamakan, maka dari itu perlunya sebuah kesadaran dalam suatu tindakan. Dalam adat ngayo juga demikian, apa yang mereka lakukan adalah sebuah sikap sadar akan masa lalu yang pada saat itu mereka ingat hanya sebagai sebuah rekaan ulang untuk menjadi suatu gambaran bagi anak muda masa kini, bahwa hidup itu perlu dihargai, dan tidak ada tindakan atau sikap yang dapat merugikan orang lain lagi.
Bibliografi
Alloy, Surjani, dkk., 2008. “Dayak Kebahan” dalam John Bamba (eds.). Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi.
Magnis, Franz Suseno, 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius.
Lihat Juga
Yohanes Kasra ()