Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Upacara Telun Lekuu (Dayak Bahau Kaltim: Upacara Ikat Gelang)


Telun Leku adalah sebuah ritus upacara untuk memberi penghormatan kepada tamu agung yang dihormati dalam masyarakat (Depdikbud 1985: 23). Pada zaman dahulu, menurut mitos yang sampai saat ini masih dipercaya oleh Suku Dayak Bahau, Upacara Telun Leku dilaksanakan dalam acara pengangkatan seorang Hipui atau Raja Suku Dayak Bahau. Tetapi dalam perkembangannya upacara Telun Leku, dimaknai sebagai penghormatan kepada orang-orang yang berjasa dan memiliki pengaruh dalam masyarakat seperti Gubernur, Bupati, Uskup dan sebagainya. Telun Leku secara harafiah berarti mengikat Gelang (Telun = mengikat dan Leku = manik-manik) yang terbuat dari manik-manik khas Suku Dayak. Telun Leku memiliki makna yang sangat dalam. Selain sebagai tanda penghormatan, telun leku juga memiliki makna mengikat. Artinya bahwa orang yang diikat dengan Leku, telah diikat dalam persaudaraan bersama orang Dayak Bahau. Mereka yang diikat dengan Leku bukanlah orang asing lagi tetapi telah diangkat sebagai satu saudara dan mengambil bagian dalam seluruh kehidupan orang Dayak Bahau.

Upacara telun leku dilakukan oleh seorang Dayung beserta para asistennya dan memiliki beberapa urutan. Pertama, Lemalah Tenan. Lemalah Tenan adalah suatu Proses dimana Dayung akan meminta ijin kepada para leluhur yang dipercaya menjaga kampung. Dayung dengan bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh orang biasa,berbicara dengan para leluhur sambil meleparkan beras kuning. Tujuan dari semua ini adalah agar para leluhur tidak mengganggu keberadaan para tamu dengan mendatangkan malapetaka seperti penyakit dan lain-lain. Setelah itu barulah proses telun leku dilaksanakan. Dengan berbagai mantra yang diucapkan, Dayung mengikat Leku pada tangan sebelah kanan para tamu. Setiap tamu yang telah diikat dengan Leku akan diberi Gelar atau nama sebagai simbol bahwa yang memiliki Leku telah diangkat menjadi saudara. Nama yang diberikan haruslah menggambarkan sosok pribadi yang memiliki karakter positif serta berwibawa. Ada berbagai nama, antara lain “Belawan” yang berarti laki-laki yang tampan dan bijaksana. “Belareq” berarti Kilat, “Lejau” berarti harimau (semua nama ini khusus untuk laki-laki). Kemudian “Tening” yang berarti Jernih seperti air, “Parai” berarti benih padi (khusus untuk perempuan). Harapannya dengan pemberian nama ini,orang yang diberi nama memiliki karakter atau sifat seperti namanya. Setelah semua proses ini selesai maka seseorang yang telah diikat dengan Leku resmi menjadi anggota dalam ikatan persaudaraan dalam kehidupan masyarakat Dayak Bahau. Perlu di ingat bahwa pemberian nama atau gelar tidak akan mengubah nama asli dari seseorang yang di beri Leku. Ini hanya merupakan simbol dan tanda penerimaan masyarakat Dayak bahau kepada tamu yang mereka hormati.

Upacara Telun Leku merupakan suatu bentuk penghormatan dan penghargaan kepada setiap pribadi yang mau hadir dan mengambil bagian dalam kehidupan orang Dayak Bahau. Orang Dayak Bahau menyadari bahwa mereka hidup di tengah pluralitas dan perbedaan,maka perlu suatu penerimaan yang terbuka kepada setiap orang yang hadir di tengah-tengah mereka. Kenyataan ini seakan ingin melawan pendapat populer yang mengatakan bahwa “Orang Dayak itu makan orang”( Madrah 1997: 1). pendapat ini seolah mau mengatakan bahwa Orang Dayak Bahau sangat anti terhadap orang di luar Suku Dayak itu sendiri. Dalam kenyataannya tidaklah demikian. Barangkali pendapat ini muncul pertama-tama karena kurangnya pengetahuan yang memadai untuk memahami kehidupan Orang Dayak pada umumnya, khususnya orang Dayak Bahau. Kedua, pendapat ini mungkin dilatarbelakangi oleh tradisi Orang Dayak yang pada zaman dahulu terkenal dengan upacar adat Ngayau atau Mengayau. Mengayau adalah suatu ritus dimana ketika orang dayak pergi berperang dan menang, mereka harus membawa pulang kepala musuh yang dipotong terpisah dari badan sebagai bukti keperkasaan mereka dalam menghadapi musuh. Perlu diketahui bahwa Orang Dayak melakukan itu semua semata-mata bukan karena mereka mereka anti dengan orang diluar Suku Dayak, tetapi merupakan suatu upaya untuk menjaga harga diri mereka, ketika mereka tidak dihargai ditanah sendiri. (bandingkan peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2000)( Petebang 1998: 11). Telun leku sebenarnya ingin berbicara tentang bagaimana orang dayak memandang yang lain. Artinya bahwa orang dayak dalam kedayakannya membangun suatu kesadaran manusiawi tentang dirinya bersama orang lain atau kelompok lain (Armada 2014: 98). Suku dayak bahau memang merupakan salah satu kelompok etnis dari sekian banyak suku dayak yang tersebar di seluruh kalimantan. Tetapi ketika dilihat dalam kaitannya dengan orang-orang di luar suku dayak, orang dayak bahau adalah individu yang khas dan berbeda dengan yang lain. Kehadiran individu Dayak, individu jawa, individu Batak atau individu flores adalah suatu lukisan kesatuan, Sebab orang dayak bahau disebut individu karena kehadirannya bersama individu yang lain (Armada 2014: 202).

Selain itu upacara telun leku memberikan suatu gambaran yang sangat nyata tentang sikap religius orang dayak bahau terhadap apa yang mereka percayai. Sikap religius orang dayak bukanlah suatu pengabdian kepada Tuhan Yang Esa melainkan kepada Panteon yang terdiri dari banyak sekali roh dan nenek moyang yang ajaib( Cooman 1987: 87). Melalui upacara telun leku, orang Dayak bahau tidak meminta atau memaksa orang di luar suku dayak agar percaya dengan apa yang mereka yakini. Mereka hanya ingin agar setiap orang menghormati apa yang mereka perbuat demi kebaikan bersama. Melalui upacara telun leku orang dayak bahau membangun suatu relasi yang disebut religiusitas. Religiusitas adalah suatu wujud relasional spesifik dengan sesuatu yang mengatasi kehidupan sebagai manusia (Armada 2011: 6)

Dalam upacara telun leku kita tidak dapat berbicara hanya tentang kultur budaya, tentang adat-istiadat, tentang identitas dan tentang relasi bersama yang lain. Bicara tentang telun leku berarti berbicara tentang segala unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, baik itu sosial masyarakat, juga termasuk ancaman yang mengancam hilangnya upacara telun leku sebagai warisan tradisi nenek moyang. Modernitas adalah ancaman yang paling membahayakan karena mampu mengubah pola pikir dalam relasi sosial. Kenyataan ini dapat membuat sikap “kekamian” yang terkandung dalam upacara telun leku berubah menjadi sikap “kekitaan”. Artinya orang Dayak bahau hanya memperdulikan mereka yang sealiran dan orang luar tidak lagi dihargai. Telun leku hanya akan menjadi simbol dan bukan sebagai penghagaan kepada orang lain (Molan 2015: vi). Oleh karena itu demi menjaga kehidupan bersama dalam masyarakat yang multikultural,orang Dayak bahau senantiasa menjaga upacara telun leku sebagai pintu untuk menjalin relasi dengan orang lain.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Cooman Mikhail, Manusia Daya, Dahulu, Sekarang, dan Akan Datang, Jakarta: Gramedia:

    1987.

    Departemen pendidikan dan kebudaan Kalimantan Timur,Ungkapan Tradisional Daerah

    Kalimantan Timur,Jakarta: 1984.

    Madrah T, Dalmasius, Lemu Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq dan Tunjung, Jakarta : Puspa Swara, 1997.

    Molan, Benyamin, Multikulturalisme, Cerdas Membangun Hidup Bersama yang Dinamis, jakarta: Indeks, 2015.

    Petebang, Edi, Dayak Sakti Ngayau, Tariu, Mangkok Merah : konflik Etnis di Kalbar

    1996/1997, Pontianak: Insitiut Dayakologi, 1998.

    Riyanto, Armada, Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2014.

    Riyanto, Armada dkk (eds.), Aku dan Lian, Malang: Widya Sasana Publication, 2011.


    Lihat Juga

    Umaq Taotn (Dayak Tunjung Kaltim : Ladang Tahun)  Nyahuq ( Dayak Benuaq Kaltim :Roh yang memberi kabar baik dan buruk) 

    Oleh :
    Ronalius Bilung ()