
LOKA PO’O BHORO (Hutan Larangan Adat Untuk Masak Nasi Bambu)
Di suatu wilayah tepatnya di sebuah desa sekitar 45 km bagian selatan dari kota Maumere-Sikka, terdapat sebuah suku yang disebut dengan suku Mbengu yang ada di Lio.Suku Mbengu ini terletak di Desa Mbengu, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Dalam suku tersebut terdapat sebuah acara atau ritual yang sangat terkenal yaitu :Loka Po’o Bhoro (hutan larangan adat untuk masak nasi dari bambu).
Secara hukum adat, tata cara adat Po’o Bhoro (Nasi dibakar di dalam bambu) di wilayah tanah Mbengu pada bulan 10 (sepuluh). Ini merupakan acara adat untuk masuk tahun tanaman baru.Untuk melangsungkan acara adat tersebut, Laki Puu (ketua adat), bersama Laki Ndu (wakil ketua adat), hage kago wawo bersama ata koe kulu (orang yang bekerja sebagai kuli), duduk musyawarah untuk membicarakan Tau Po’o Bhoro. (pembuatan nasi untuk dibakar di dalam bambu). (Mbete, 2004: 98).
Tokoh utama dalam penyelenggaraan ritual ini adalah pertama-tama mosalaki pu’u /ata laki pu’u (ketua adat, mosalaki ria bewa (wakil ketua adat) dari kampung Ranggase dan kampung-kampung tetangga dan seluruh masarakat ke tiga kampung tersebut. Masyarakat pun dibagi dalam beberapa kelompok yakni ana lo’o (anak-anak), nuwa muri ko’o fai(pemuda dan pemudi), ata du’a ria dan fai ngga’e (bapak dan ibu), mamo, kajo (kakek dan nenek), serta ana kalo fai walu (anak yatim dan para janda). (Arndt, 2002: 186).
Di rumah adat ata laki pu’u /mosalaki pu’u (ketua adat)membunyikan wani (gong) untuk menyampaikan Tau Po’o Bhoro (membuat atau memasak nasi di dalam bambu) yang bertempat di Loka Po’o(di hutan larangan adat).TermLoka Po’o merupakan hutan atau lahan khusus yang dipergunakan untuk melangsungkan acara adat ini.“Hutan larangan adat” ini hanya sebuah istilah yang ditujukan pada hutan atau lahan tertentu yang dianggap sebagai tempat kediaman para leluhur dari masyarakat setempat. Term “larangan” menunjukkan hutan atau tempat yang hanya dikhususkan untuk melakukan ritual atau acara adat Loka Po’o.
Penentuan waktu itu selama 4 (empat) hari siap untuk datang berkumpul di tempat itu dengan catatan membawa are Kolo Kea noo Kolo Kena (beras yang berisi di dalam tempurung kelapa); tepat pada hari yang sudah ditentukan oleh Laki Puu (ketua adat) bahwa semua Ana Kalo Fai Walu (para janda dan anak yatim piatu)untuk berkumpul di hutan larangan adat itu.Sesudah berkumpul semua dari tiap-tiap kampung: Kampung Kota Ndelu Kunu Heu Dio (keturunan Heu Dio), Kampung Wolowona Kunu Mari Laba (keturunan Mari Laba), Kampung Waturia Kunu Sonda –Kao Kumba (keturunan kunu sonda- Kao kumba), Kampung Dike Kunu Tibo Nio-Hako Manu (keturunan tibo nio- Hako Manu).
Sesudah berkumpul semua beras yang mereka bawa itu terkumpul di Hoka Rau bagi semua di setiap kelompok,lalu mereka potong bambu untuk isi beras lalu dimasak. Pada saat itu, orang ramai untuk masak nasi bambu itu.Sesudah nasi bambu masak tiap-tiap kelompok harus memberikan jatah (bagian) untuk Ata Laki (para tua adat) diambil 3-4 nasi bambu. Dalam pembagian nasi bambu itu Laki Puu(ketua adat) lebih banyak dari mereka yang lain. Sesudah pembagian habis Hage Kao Kumba dari Waturia duduk berdoa di Hoka Rau, memohon kepada Nggae gheta lulu wula noo Dua ghale wena tana (Tuhan sebagai penguasa di atas langit dan di bawah bumi) untuk mengusir segala hama-hama penyakit. Misalnya, hama tikus, hama belalang, hama wereng dan penyakit-penyakit lainnya. Setelah perayaan singkat tersebut,Laki Puu(ketua adat) menentukan sembari menetapkan Pire (aturan berupa larangan adat) dengan mengatakan bahwa selama 4 (empat) hari semua warga masyarakat tidak boleh melakukan kegiatan sekecil atau seringan apapun di kebun (seperti membersihkan rumput di sekitar tanaman, memetik daun atau buah, membakar dedaunan atau rerumputan kering, mengusir hewan yang merusaki tanaman dan memanjat pohon). Aturan adat ini mengajak warga masyarakat untuk selalu percaya akan kebesaran dan kuasa Nggae gheta lulu wula noo Dua ghale wena tana.Di samping itu, masyarakat dituntun untuk selalu menyembah dan tetap setia pada Nggae gheta lulu wula noo Dua ghale wena tana.Barang siapa yang melanggar aturan adat ini akan mendapat sanksi berat dari Laki Puu, sebagai berikut:babi besar- Bei Sutu (babi besar seukuran 4 orang pemuda), Moke se kumba (tuak atau arak), Are (beras) 50kg.
SetelahAta Laki(para tua adat) mengatakan hal-hal di atas, semuannya kembali ke kampung masing-masing.Pada hari keempat tepatnya pukul 04.00 dini hari, Mbengu Manatua (tukang masak di rumah adat)mulai membunyikan bambu kosong di Wisu Lulu (pojokkan rumah adat). Bambu kosong (pentung) dibunyikan sebanyak 3 (tiga) kali sembari berteriak keliling di dalam rumahnya dengan berkata:“Ho Ho Ho” sampai padaWewa Wau (pintu gerbang).Hau diterima oleh mereka di Ndajo (Bale-bale) dengan teriak Uu Ho uu Ho uu Ho(teriak sekeras-kerasnya).
Dalam Upacara ini Du’a Ngga’e (Tuhan Allah) harus didahulukan karena Tuhan yang akan memurnikan tanah atau hutan perladangan dan sanggup mengalahkan semua pengaruh yang akan melanda ladang atau hutan keramat. (Oringbao, 1974:26).
Dalam acara tersebut semua orang diusahakan untuk mengenakan pakaian yang baik dan sopan dengan tujuan supaya acara atau ritual dapat berjalan dengan baik dan khidmat serta khusuk suasana hati dan batin hal ini berlaku untuk masyarakat, sedangkan untuk mosalaki pu’u / ata laki pu’u (ketua adat) wajib mengenakan pakaian adat seperti ragi (sarung), lesu (kain kecil untuk kepala), dan semba (kain yang dipakai menyamping), lambu bara lima bewa (baju putih lengan panjang).
Makna yang tersirat dari acara atau ritual Loka Po’o ialah bahwa masyarakat selalu percaya kepada Tuhan, karena Dia adalah penguasa alam semesta, maka manusia diwajibkan untuk memelihara dan menjaga alam semesta.Ini merupakan tugas dan kewajiban setiap penghuni kosmos yang ada.Pada intinya bahwa Tuhan telah telah menganugerahkan alam serta isinya kepada manusia.Oleh karena itu, manusia (badan yang menjiwa dan jiwa yang membadan) berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal menjaga, melestarikan dan memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya dan seperlunya demi kesejahteraan manusia dan keseimbangan alam.Selain itu, tugas manusia apabila terjadi kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor, maka manusia harus melakukan reboisasi atau penanaman kembali hutan yang telah gundul
Bibliografi
Arndt, Paul. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah), (judul asli: Dua’ Nggae, Das Hochste Wesn Im Lio-Gebiet (Mittel-Flores), diterjemahkan oleh Yosef Smeets, SVD, dan Kletus Pake. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.
Mbete, Aron Meko, dkk.,Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Ende, 2004.
Oringbao, sareng,Peranan Religi dan Magi Dalam Pertanian Tradisional Suku Bangsa Lio. Ende: Nusa Indah, 1974
Lihat Juga
WENGI TELU KA API TE’U GHALE LOWO (Tiga Hari Lagi Akan Diadakan Upacara Api Te’u di Kali) |
Agustinus Ga’a Della (-)