Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

NYANGKELAN (Dayak Lebang Nado, Kalimantan Barat)


Pada bebarapa peristiwa-peristiwa penting, terutama ketika manusia berhadapan dengan alam (tanah, hutan, pohon besar, dsb), masyarakat Dayak Lebang Nado akan mengadakan upacara Nyangkelan. Upacara Nyangkelan merupakan upacara yang diyakini masyarakat Dayak Lebang Nado sebagai upaca rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Beberapa peristiwa yang mengharuskan manusia mengadakan upacara Nyangkelan adalah ketika akan mendirikan rumah, membuka lahan/ladang, menebang pohon, dan beberapa tindakan yang membuat manusia terpaksa harus menghancurkan alam. Hal ini dilakukan karena masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan secara intensional. Hutan, tanah, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup itu sendiri. Sebelum mengambil sesuatu dari alam, manusia Dayak selalu memberi terlebih dahulu (Florus, dkk. 1994: 13). Orang Dayak dikenal sangat dekat dengan alam sekitarnya sehingga system kepercayaan, nilai-nilai budaya, dan kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dari pemahamannya tentang alam sekitar. Kepribadian, sikap, tingkah laku, dan perbuatan sehari-hari orang Dayak senantiasa dibimbing, dipengaruhi, dan dihubungkan dengan system kepercayaan, adat istiadat, serta nilai-nilai budaya (Muhrotien 2012: 20). Bagi masyarakat Dayak Lebang Nado, alam adalah rumah keduanya, yang menyediakan segala kebutuhan hidupnya. Sebagian hidupnya ia habiskan di alam. Mulai pagi sampai sore hari ia berkawan dengan alam. Masyarakat Dayak Lebang Nado hidup dari alam. Karena alam telah menyediakan segala hal yang menjadi kebutuhan hidup manusia, maka alam harus dihormati dan dihargai, dengan cara memperlakukannya sebaik mungkin. Suku Dayak Lebang Nado merupakan salah sub suku Dayak yang tinggal di Pulau Kalimantan Barat. Secara umum, suku Dayak Lebang Nado tinggal di sekitar kaki bukit Lalau Batu. Secara Geografis bukit Lalau Batu tidak jauh letaknya dari Bukit Kelam. Selain itu, suku Dayak Lebang Nado juga tinggal di sepanjang pinggir Sungai Inggar dan Sungai Nuak. Kedua sungai ini adalah anak dari Sungai Kayan, sedangkan sungai Kayan adalah anak dari sungai Melawi. Sungai melawi merupakan anak dari sungai Kapuas, yang merupakan sungai terbesar di Kalimantan Barat. Suku Dayak Lebang Nado ini tersebar di 17 kampung. Ketujuh belas kampung itu ada di kecamatan Kayan Hilir dan Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang (Alloy, dkk. 2008: 220).

Upacara Nyangkelan bisaanya dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Upacara ini tidak selalu harus dilakukan oleh ketua adat. Setiap orang bisa melakukannya, asalkan dia mengetahui dan mengerti tata cara upacaranya, dan mengerti mantra-mantranya. Namun kalau hal itu menyangkut urusan bersama, misalnya semua masyarakat ternyata terlibat dalam sebuah kegiatan bersama yang mengharuskan mereka menghancurkan alam, maka peran ketua adat sangat diperlukan sebagai orang yang dipercaya menguasai upacara-upacara adat dengan baik.

Prosesi upacara akan diadakan ditempat dimana seseorang akan melakukan penghancuran terhadap alam tadi (misalnya di tempat akan membangun rumah, di dekat pohon yang akan ditebang, dsb). Prosesi bisaanya akan dimulai dengan pembacaan mantra oleh orang yang akan melakukan upacara tersebut. Setelah pembacaan mantra itu selesai, maka binatang (bisa ayam atau babi) akan disembelih, dan sebagian darahnya akan dipercikan ke atas tanah atau pokok pohon, yang juga disertai dengan pembacaan mantra. Darah babi atau binatang tersebut diyakini oleh orang Dayak sebagai pengusir hama atau segala marabahaya. Dengan memercikkan darah binatang ke atas tanah, orang Dayak percaya bahwa tanah tersebut akan menjadi tanah yang subur dan membawa keberuntungan (Alloy, dkk. 2008: 221). Selain darah yang dipercikan, orang tersebut juga akan meletakkan sesajen di tempat tersebut, berupa nasi, sayur, dan daging. Setelah upacara nyangkelan ini dilakukan, bisaanya orang tidak langsung mendirikan rumah atau menebang pohon. Orang tersebut bisaanya akan menunggu beberapa hari sebelum mengambil tindakan. Maksudnya adalah orang tersebut akan meminta petunjuk apakah tindakannya tersebut akan direstui oleh roh-roh yang mendiaminya atau tidak. Hal ini bisaanya akan diketahui melalui mimpi.

Seperti upacara Belabor, Nyangkelan juga memiliki makna hubungan antara manusia dan alam semesta. Manusia, dalam konsep masyarakat Dayak Lebang Nado tidak bisa memperlakukan alam sekehendak hati. Ketika mereka terpaksa mengambil tindakan yang harus menghancurkan tatanan alam, maka mereka wajib meminta restu, dan memberi semacam alat ganti rugi, sehingga hubungan manusia dan alam tidak cacat, melainkan tetap harmonis. Darah dan sesajen yang dipersembahkan merupakan sarana rekonsiliasi antara manusia dengan alam. Orang Dayak Lebang Nado percaya bahwa hutan dan tanah diciptakan oleh Jubata (Tuhan) agar dapat dipergunakan oleh semua makhluk, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Oleh karena itu manusia tidak boleh bertindak semena-mena memanfaatkan hutan, tetapi harus berupaya untuk ikut serta menjaga dan memelihara agar hutan tidak musnah sia-sia, sehingga keseimbangan kosmos juga tetap terjaga dan terpelihara. Begitu juga hutan. Hutan juga dipergunakan oleh makhluk-makhluk lain selain manusia, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Lebih jauh, mereka percaya bahwa hutan punya roh atau paling tidak ada makhluk (halus) yang tugasnya memelihara hutan (Muhrotien 2012: 21). Bila ditelisik lebih jauh, hubungan antara manusia Dayak dengan alam tidak hanya mengungkapkan rasa hormat manusia pada alam, melainkan juga merupakan pengakuan manusia Dayak akan Sang Penguasa Alam Semesta atau Sang Pencipta (Jubata), yang telah memberikan kebutuhan dan keperluan sehari-hari manusia Dayak.

  • Bibliografi

  • Bibliografi

    Daftar Pustaka:

    Alloy, Surjani, dkk., 2008. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi: Pontianak.

    Florus, Paulus, dkk., 1994. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Gramedia: Jakarta,

    Muhrotien, Andreas, 2012. Rekonstruksi Identitas Dayak, TICI Publication: Yogyakarta.


    Oleh :
    Robertus Moses (robertmoseslazaris@gmail.com)