Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

GAWAI (Dayak Lebang Nado, Kalimantan Barat)


Ketika masyarakat telah selesai panen, bisaanya kampung-kampung suku Dayak Lebang Nado akan mengadakan pesta panen secara bergantian. Di beberapa suku Dayak lain, pesta panen (Gawai) ini dikenal dengan istilah pesta Naik Dango. Bisaanya pesta ini diadakan sekitar bulan Juni-Juli. Pesta ini merupakan pesta yang sangat besar dan istimewa. Pesta Gawai/Naik Dango ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Jubata (Sang Pencipta) atas hasil panen. Setelah panen selesai, masyarakat mengadakan syukuran dalam rupa pesta panen ini (Gawai). Kendati panen tidak berhasil baik, pesta tetap diadakan. Masyarakat Dayak Lebang Nado senantiasa menunjukkan penghargaannya terhadap alam yang menjadi sumber kehidupannya.

Dayak Lebang Nado merupakan salah sub suku Dayak yang tinggal di Pulau Kalimantan Barat. Secara umum, suku Dayak Lebang Nado tinggal di sekitar kaki bukit Lalau Batu. Secara Geografis bukit Lalau Batu tidak jauh letaknya dari Bukit Kelam. Selain itu, suku Dayak Lebang Nado juga tinggal di sepanjang pinggir Sungai Inggar dan Sungai Nuak. Kedua sungai ini adalah anak dari Sungai Kayan, sedangkan sungai Kayan adalah anak dari sungai Melawi. Sungai melawi merupakan anak dari sungai Kapuas, yang merupakan sungai terbesar di Kalimantan Barat. Suku Dayak Lebang Nado ini tersebar di 17 kampung. Ketujuh belas kampung itu ada di kecamatan Kayan Hilir dan Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang (Alloy, dkk. 2008: 220).

Ketika pesta panen berlangsung, semua keluarga dalam suatu kampung yang mengadakan pesta tersebut terlibat dalam proses persiapan, pelaksanaan, sampai selesai. Pesta ini bisaanya berlangsung selama dua hari. Hari pertama dimulai dengan kegiatan menyaipkan segala bentuk makanan bagi tamu-tamu yang akan datang. Setiap keluarga bisaanya memotong babi atau ayam sebagai menu utama. Kalaupun suatu keluarga tidak memelihara babi sendiri, maka bisaanya dia akan membeli babi kepada tetangganya atau orang lain. Keluarga yang cukup mampu bisaanya akan membeli daging sapi juga untuk melengkapi makanannya. Sayur-sayur dan kue-kue tradisional juga selalu ada.

Pada sore hari bisaanya tamu-tamu dari berbagai kampung lain berdatangan. Dalam pesta ini bisaanya tidak mengenal apakah tamu yang datang itu keluarga atau bukan. Orang Dayak sangat menghormati tamu atau orang asing yang bertandang ke rumahnya. Mereka memberikan pelayanan yang terbaik. Orang Dayak tidak mau mengganggu orang lain, jika orang tersebut tidak mengganggu kehidupan mereka (Muhrotien 2012: 22). Siapapun yang datang dan masuk ke rumah sebuah keluarga, maka ia harus dilayani layaknya keluarga kita sendiri. Ia akan mendapatkan jamuan terbaik, seperti kita melayani keluarga kita sendiri. Bahkan ketika ia hendak tidur di rumah tersebut, ia diperkenankan meskipun hanya tersedia ruang tamu untuk tidur. Bahkan, seringkali orang Dayak menghormati tamu secara berlebihan. Bagi tamu disediakan makanan istimewa yang mereka sendiri mungkin jarang sekali bisa menikmatinya (Muhrotien 2012: 60). Selama pesta ini berlangsung, tuak selalu ada di setiap rumah. Sebagai lambang persahabatan dan kekeluargaan, tuak selalu ada untuk disuguhkan kepada tamu yang datang. Untuk membuat pesta lebih menarik, bisaanya anak-anak muda akan membuat acara hiburan, misalnya: karaoke bersama, mendatangkan grup band lokal, atau olahraga bersama, dan sebagainya. Pada hari kedua pesta ini, tamu sudah pulang ke tempat asalnya masing-masing.

Makna dari pesta Gawai/Pesta Panen ini menyiratkan beberapa hal. Pertama, Sarana interaksi. Pesta Gawai merupakan sarana interaksi masyarakat Dayak Lebang Nado dalam kehidupan masyarakat pada suatu wilayah yang disebut kampung. Gawai merupakan sarana bagi masyarakat Dayak dalam memupuk interaksi sosial dengan sesamanya, termasuk juga dengan orang-orang yang berasal dari kampung dan suku yang lain. Pada saat Gawai, interaksi masyarakat Dayak begitu kuat. Masyarakat tampak sangat menghargai perbedaan satu sama lain.

Kedua, sebagai pemersatu. Pesta gawai merupakan pesta bersama masyarakat Dayak dalam satu kampung. Masyarakat sungguh-sungguh bersatu dalam menyambut pesta ini, meskipun pada kenyataannya pestanya dilakukan oleh masing-masing keluarga. Aroma persatuan ini juga tampak dalam kerelaan warga dalam menyumbang barang atau pun uang untuk mengadakan acara-acara hiburan, misalnya tarian adat, hiburan band, dan sebagainya

Ketiga, kekeluargaan dan persahabatan. Orang Dayak Lebang Nado Nado sangat menghargai persahabatan dengan sesamanya, termasuk sesama yang berasal dari kampung atau daerah lain. Sesama benar-benar dipandang sebagai bagian dari dirinya. Dalam persahabatan, “engkau” tidak lagi sebagai pribadi “lain” yang berbeda dari aku, melainkan menjadi aku yang lain (Riyanto 2011: 192). Manusia Dayak Lebang Nado sebenarnya sangat menghidupi paham kesederajatan dalam diri setiap manusia. Masyarakat Dayak Lebang Nado menyadari bahwa subjek-subjek yang lain sama seperti aku adalah subjek. Kesamaan ini tidak sekedar mengatakan kesederajatan, melainkan meneguhkan pengakuan atas keberadaan orang lain dalam kekhasannya, dalam keseluruhan keunikannya (Riyanto 2011: 192). Begitulah kebersamaan dan persahabatan dihidupi oleh manusia Dayak Lebang Nado, sesama dipandang sebagai aku yang lain, yang turut meneguhkan keberadaanku. Orang Dayak Lebang Nado Nado sangat menghormati tamu atau orang asing yang bertandang ke rumahnya. Mereka memberikan pelayanan yang terbaik. Orang Dayak Lebang Nado Nado tidak mau mengganggu orang lain, jika orang tersebut tidak mengganggu kehidupan mereka (Muhrotien 2012: 22). Siapapun yang datang dan masuk ke rumah sebuah keluarga, maka ia harus dilayani layaknya keluarga kita sendiri. Ia akan mendapatkan jamuan terbaik, seperti kita melayani keluarga kita sendiri. Bahkan ketika ia hendak tidur di rumah tersebut, ia diperkenankan meskipun hanya tersedia ruang tamu untuk tidur. Bahkan, seringkali orang Dayak menghormati tamu secara berlebihan. Bagi tamu disediakan makanan istimewa yang mereka sendiri mungkin jarang sekali bisa menikmatinya (Muhrotien 2012: 60). Penghargaan manusia Dayak Lebang Nado terhadap sesama tidak hanya sekedar tindakan basa-basi yang diungkapkan dalam momen atau upacara yang terjadi setahun sekali ini. Lebih daripada itu, manusia dayaka Lebang Nado ingin menunjukkan bahwa pesta Gawai adalah juga pesta kemanusiaan. Pesta kemanusiaan inilah yang akan melahirkan perdamaian dan rasa aman bagi setiap orang. Ketika sekat-sekat suku dan daerah telah dihancurkan dengan sikap kasih dan saling menerima, maka sesungguhnya kemanusiaan manusia Dayak Lebang Nado telah diangkat menjadi sesuatu yang sangat penting untuk selalu dikemukanan dalam kesadaran sertiap manusianya. Pesta Gawai ini sungguh-sungguh telah mengubah pemahamanan banyak orang terhadap masyarakat Dayak pada umumnya, dan masyarakat Dayak Lebang Nado secara khusus. Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang sangat menjunjung persahabatan, kekeluargaan, kasih dan penghargaan satu sama lain.

  • Bibliografi

  • Bibliografi

    Alloy, Surjani, dkk., 2008. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi: Pontianak.

    Muhrotien, Andreas, 2012. Rekonstruksi Identitas Dayak, TICI Publication: Yogyakarta.

    Saputra, Edi, 2017. "Naik Dango", Ritual Sehabis Panen, dlm http://travel.kompas.com/read/2015/05/30/192100827/.Naik.Dango.Ritual.Sehabis.Panen. (diakses 7 Maret 2017)

    Riyanto, Armada, 2011. Berfilsafat Politik, Kanisius: Jogjakarta


    Oleh :
    Robertus Moses (robertmoseslazaris@gmail.com)