Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

HAFRI ANIA (CINTAH KASIH) (Suatu Praktik Saling Mencitai Dalam Hidup Orang Maybrat)


Hafri ania (cinta kasih) adalah sebuah kisah yang dihidupi orang Maybrat. Kisah ini dapat menggambarkan realitas dunia cinta kasih yang dihayati. Mereka menjadi bagian dari 251 suku bangsa atau etnis yang mendiami tanah Papua. Suku Maybrat merupakan salah satu suku besar yang terdapat di wilayah Pedalaman Kepala Burung-Papua. Suku ini terletak di antara Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari. Jika melihat peta Papua suku Maybrat letaknya persis bola mata peta Papua. Mayoritas penduduk setempat hidup dalam kehomogenan dan menganut kepercayaan Kristiani yaitu Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mata pencaharian mereka adalah petani ladang. Orang Maybrat dalam hidup berkomunitas dapat mereproduksi kebudayaannya memerlukan media sebagai ruang ekspresinya. Ruang ekspresi bagi orang Maybrat ialah mempraktekan hafri ania (cinta kasih) dalam bentuk upacara tekief saus (pengobatan orang sakit).

Kisah hafri ania tercermin dalam tekief saus (upacara pengobatan orang sakit) yang merupakan nilai sentral kehidupan mereka. Disinilah orang Maybrat mengungkapan cinta kasih mereka kepada sesama dengan melakukan apa saja dalam kehidupan dengan menolong orang lain. Salah satu yang bisa dilihat ialah dengan menolong orang sakit dengan menyembuhkannya. Ketika orang Maybrat yang sakit dan telah dinyatakan bahwa harus diobati dengan upacara adat, maka upacara tekief saus pun dilakukan. Upacara tersebut dimulai dengan menentukan waktu dari keluarga yang sakit dan jumlah rae wuon (tua adat). Para rae wuon dipilih berjumlah 3-5 orang untuk memimpin upacara ini. Waktunya bisa kapan saja, dan dilakukan pada malam hari ketika cuaca yang cerah. Tempatnya selalu jauh dari pemukiman warga, yang tinggal menemani pasien 2 orang keluarga. Benda-benda yang dapat digunakan ialah poo mekek (kain merah) melambangakan pemberian jalan penyembuhan, tah (daun halia) memberi simbol perlindungan dari ancaman bahaya, pofit (halia) memberi simbol penguatan kembali tubuh yang sakit atau tidak berdaya, aya tkief (air yang sudah didoakan) sebagai simbol kesegaran atau kehangatan, tapam mekek (tanah liat) yang memberi simbol manusia berasal dari tanah atau suatu kefanaan, sahsan (arang) melambangkan penyesalan dan potekief (mantra-mantra yang akan didoakan) memberi simbol kekuatan dan menyembuhkan. Sebelum upacara dilaksanakan biasanya keluarga mengatakan: “tao pmo rae wuon tkief po ke tahafri kiyam mase ke ewok phu ua to” (saudaraku kita pergi ke tua-tua adat untuk orang mengobatimu karena saya menyayangimu, sebab sakitmu parah).

Setelah penetapan waktu dan benda-benda yang disediakan telah disiapkan upacara pun dapat dilakukan. Pertama-tama rae wuon berkumpul di pinggir rumah sekitar 50 meter dari tempat tinggal pasien. Mereka mengucapkan potekief (doa-doa) untuk meminta penyembuhan dan litani kepada orang-orang kudus khususnya yang diyakini menjadi perantara untuk penyembuhan orang sakit. Setelah 1 jam berdoa, mereka mulai datang ke tempat tinggal pasien dengan meratap dan ketika mereka tiba di depan pintu mereka memberkati pintu lalu masuk ke dalam dengan melingkari pasien dan memberi pofit (halia) yang sudah didoakan untuk dimakan pasien, lalu meminumkan air yang telah didoakan dan mendoakan pasien, setelah itu mereka memberi tanda sahsan (arang) di dahi dan memberi tapam mkek (tanah liat) di kedua lengan, lalu di depan rumah mereka menamcapkan sepenggal kayu untuk menggantungan tah (daun halia) sebagai tanda ada orang sakit yang sedang di sembuhkan dan perlindungan dari ancaman yang mengganggu proses penyembuhanya. Setelah itu mereka memberi aturan tentang pantangan makanan selama proses penyembuhan itu. Proses penyembuhan ini berlangsung dua minggu sampai 1 bulan setelah itu pasien akan sehat kembali. Para rae wuon dapat mengontrol terus pasien agar ia mengikuti aturan pengobatan yang diberikan. Aturan yang diberikan berupa pantangan-pantangan, seperti tidak boleh makan makanan berminyak, sayur yang direbus, daging yang digoreng, ikan laut begitupun sebaliknya makan makanan yang diijinkan, seperti semua makanan harus dibakar, diisikan dalam bambu lalu dimasak dan makan pofit (halia) yang telah didoakan untuk dimakan lagi. Setelah “pengobatan selesai dilaksanakan mereka kembali melanjutkan aktivitas sehari-hari, baik yang bekerja di kebun-kebun, berburu, memasak dan lain sebagainya, sedangkan pasien tetap menjalankan proses pengobatannya. Ketika pasien sembuh dapat kembali menjalankan aktivitasnya serta memperhatikan pantangan yang telah dikatakan agar jangan jatuh sakit lagi” (Wasuway, 2012:80).

Upacara tersebut dilakukan dengan memperhatikan ritus yang berlaku, seperti doa-doa yang diucapkan sesuai dengan kesakitan bukan doa-doa untuk berburu, benda-benda yang digunakan, seperti poo mekek (kain merah), pofit (halia), sahsan (arang), tapam mekek (tanah liat) yang digunakan dan siapa-siapa yang terlibat, seperti rae wuon sebab sembuhnya seorang pasien tergantung proses yang dilalui. Begitupun pasien dapat menaati pantangan yang telah dikatakan dan mengikuti proses yang dilalui. Disini proses menentukan hasilnya. “Lokalitas kehidupan ini sebagai unsur pengikat kelompok-kelompok klen dan marga di antara orang Maybrat, yang terkadang bersama-sama membuat kebun, tetapi juga selalu bersama-sama membela daerah mereka terhadap musuh-musuh sekelilingnya”(Boelaars,1986:130). Persaudaraan yang dibangun ini tidak berjalan begitu saja melainkan sebuah cinta kasih yang mendasarinya.

Dengan proses penyembuhan itu memberi makna akan kehidupan kasih sayang yang dilakukan orang Maybrat. Disinilah muncul ungkapan hafri ania (cinta kasih) bagi sesamanya secara khusus bagi orang yang sedang sakit. Kata “hafri ania” mengandung arti sapaan cinta kasih. Hafri ania terdiri dari dua kata hafri yang berarti cinta kasih dan ania berarti memberi, bersama; jadi, “hafri ania” berarti pemberian cinta kasih”(Katino, 2006:3). Oleh karena itu, orang Maybrat selalu menggunakan sebagai sebutan untuk menyapa seseorang terhadap yang lain. “Sebutan ini mengandung unsur cinta, penghormatan, sapaan, kedekatan setiap orang terhadap sesama yang ada disekitarnya”(Alua, 2006:12). Karena itu, hafri ania menjadi simbol kehidupan orang Maybrat, sebab hafri ania selalu dilakukan untuk menanggapi dan menjalankan rutinitas dalam hidup sehari-harinya. Hafri ania merupakan ungkapan cinta kasih yang bermuara pada pelayanan dengan penuh cinta. Disinilah orang Maybrat merasa hafri ania sebagai simbol kehidupan yang penuh kedamaian sehingga dapat diteladani dalam hidup generasi ke generasi berikutnya. Kesadaran tentang tindakan memberi, melayani dan menerima kasih yang dilakukan sebagai tindakan hakiki dalam kehidupan orang Maybrat.

Mereka dapat melakukan pengobatan ini karena telah tertanam dalam kehidupan mereka untuk berbagi kasih kepada sesama dan sebagai sesuatu yang diwajibkan untuk dilakukan. Berbagi kasih dapat dinyatakan dengan menolong atau mengobati orang sakit. Bagi orang Maybrat kesakitan adalah ancaman atas kehidupan mereka. Disinilah mereka merasa hidup setiap orang harus diselamatkan sehingga tidak boleh ada yang menderita sakit tanpa bantuan sesamanya. Dari pengalaman ini mereka sering menjuluki kepada sesama yang mecintainya dengan kata tao yahaf sne berarti saudaraku yang bermurah hati. Tao yahaf sne sebagai sesuatu rasa yang telah dimiliki setiap orang Maybrat untuk menunjukkan rasa hafri ania itu kerpada sesama. Ini merupakan kenyataan hidup harus dilalui dalam ritualisasi hidup orang Maybrat.“Yahaf sne merupakan kata yang digunakan untuk mengungkapkan kesakralan hidup yang diberikan oleh “Yang Ilahi” kepada orang Maybrat yang dapat membagi kasih sayang dalam hidup dengan sesamanya.

  • Bibliografi

  • Bibliografi

    Alua, A Agus. 2006. Karakteristik dasar agama-agama Melanesia. STFT Fajar Timur: Jayapura, Papua.

    Boelaars, Jan. 1986. "Manusia Irian - Dahulu, Sekarang, Masa Depan". Jakarta: Gramedia.

    Katino, Frans. 2006. Biduk: Kumpulan Cerita Rakyat Papua.Wisma Keymuyun Tolentino: Aimas.

    Wasuway, Hendrina. 2012. Perempuan Maybrat dan Dominasi Patriarki, dari Perspektif Feminis. Tesis S2: Universitas Indonesia.


    Oleh :
    Imanuel Tenau (tenauimanuel@yahoo.co.id)