Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Po’o (Lio-Ende: ritual tolak bala)


Masebewa adalah nama sebuah kampung kecil di atas bukit. Kampung ini terletak di bagian Timur kabupaten Ende-Flores NTT kecamatan Ndori. Di dalam kampung kecil tersebut hidup dua “suku” kecil yaitu “suku” Ndondo Pongo dan “suku” Mole. “Suku” Ndondo Pongo adalah “suku” pendatang dan merupakan “suku” terkecil, di dalam “suku” inilah saya dilahirkan. Meskipun ada dua “suku” yang berbeda, ritual adat istiadat seringkali dilakukan bersama-sama. Salah satu contoh ritual adat yang dilakukan bersama-sama adalah ritual Po’o. Secara harfia Po’o merupakan wadah penyimpanan air (biasa digunakan oleh kaum perempuan ketika mengambil air di kali) terbuat dari bambu berukuran satu ruas dan berbentuk seperti tabung. Po’o juga merupakan wadah yang digunakan untuk menanak nasi. Namun dalam konteks ritual, Po’o merupakan nama dari ritual tolak bala. Dalam upacara tolak bala tersebut Po’o yang dipakai berukuran kira-kira 20 dim.

Ritual Po’o biasanya dilakukan sekitar awal bulan November bulan di mana ketika bulir-bulir padi mulai menguning dan siap dipanen. Ritual Po’o dilakukan di sebuah tempat yang jauh dari kampung kira-kira 3 km. Tempat ritual Po’o selalu dekat dengan kali dan pohon besar yang rimbun. Dua “suku” yakni Ndondo dan Mole hadir dan bersama-sama melakukan ritual Po’o. Berbeda dengan tradisi kebudayan Ende-Lio lainnya dalam “suku” kami perempuan tidak di perkenankan untuk mengikuti upacara ini. Setiap tahun upacara ini dilakukan dan setiap kepala keluarga, terutama yang memiliki ladang wajib menyumbangkan beras dua atau tiga gelas teh. Pengumpulan beras biasanya di lakukan oleh Mosalaki (Tokoh Adat dan kedudukannya berada di bawah Ria Bewa) dan Ria Bewa (Kepala Suku/kampung). Selain beras ada juga yang menyumbangkan telur ayam atau ikan mentah (tidak wajib). Selain yang di bawah, ikan atau udang bisa juga di tangkap di kali. Ritual Po’o di mulai pada pagi hari sekitar jam 7:00 WIB sampai selesai sekitar 13:00-14:00 WIB.

Beras yang dikumpulkan di masukan ke dalam Po’o lalu di bakar sampai nasinya masak (Paul Arndt, 2002:186). Sambil menanak nasi, anggota yang lain menangkap ikan dan udang untuk di jadikan lauk. Ikan atau udang yang kecil biasanya di letakan di atas permukaan nasi dalam Po’o. Selama upacara tersebut berlangsung anak-anak kecil bermain dan berenang di kali sedangkan orang tua memainkan suling atau gendang dan alat musik daerah lainnya untuk memeriahkan suasana. Anak-anak sekolah setelah pulang sekolah biasanya langsung cepat-cepat menyusul supaya bisa menyaksikan upacara Po’o. Setelah semuanya siap untuk di hidangkan upacara dilanjutkan dengan acara inti dari upacara tersebut. Salah seorang Mosalaki membuat perahu kecil seperti mainan anak-anak dari kayu. Perahu tersebut di buat untuk melakukan upacara tolak bala. Di dalam perahu tesebut di isi dengan segenggam nasi dan sebutir telur yang sudah di rebus. Semua yang mengikuti upacara tersebut di ajak untuk berdiri di pinggir kiri dan kanan kali. Salah seorang Mosalaki berdiri di tengah-tengah kali dan meletakan perahu tersebut di atas air. Upacara dilakukan dalam keheningan sambil mendengarkan suara Mosalaki memuji Du’a Ngga’e (Lio-Ende: Tuhan Allah) dan mengucapkan kata-kata tolak bala dalam bahasa daerah Lio-Ende:

Kami tu tau. Bere no’o ae lau. Mese no’o leja mena. Mbana lau leka denu eo dhaga wegu. Leka deo eo dhaga wego. Lau leka emu eo muti mesu. Lau leka hale eo mbo’a mora. Lau leka nggoka eo joga goma. Lau leka ndere eo mele mere (Aron Meko Mbete Dkk, 200:117)

(Kami mempersembahkan semuanya. Mengalirlah bersama air ke laut. Hilang bersama tenggelamnya matahari. Ke sana bersama denu yang rimbun sejuk. Ke deo yang bergerak ke sana ke mari. Ke sana pada nyamuk yang sedang berkumpul. Ke sana pada lalat yang sedang bertengger. Ke sana pada nggoka yang sedang berusaha untuk keluar. Ke sana pada ndere yang tak dapat tenggelam)

Selain memuji Du’a Ngga’e Mosalaki juga memohon agar tanaman terutama padi di jauhkan dari hama dan penyakit lainnya. Upacara ini dilakukan selama tiga puluh sampai empat puluh menit. Setelah selesai semua berkumpul di sekitar tungku masing-masing lalu para Mosalaki membagi makanan dan mempersilahkan untuk dimakan. Dalam “suku” kami semua makanan tidak boleh dibawah pulang. Makanan yang sisah biasanya dihabiskan oleh binatang hutan dan burung-burung liar.

Setiap tahunnya “suku” Ndondo dan Mole melakukan ritual po’o bersama-sama. Upacara ini di lakukan karena seringkali padi yang siap di panen di serang hama. Hama yang paling berbahaya adalah tikus. Demi kelangsungan hidup Mosalaki mengajak warga “sukunya” untuk melakukan ritual po’o. Kesejahteraan anggota “suku” merupakan tanggungjawab Mosalaki. Oleh sebab itu ritual ini dilakukan bersama-sama yang dipimpin oleh Mosalaki. Ritual po’o dalam suku Mole dan Ndondo tidak memperkenankan perempuan ikut serta. Alasan dari larangan tersebut tidak pernah diberitahukan oleh Mosalaki. Mungkin saja karena tempat ritual tersebut jauh dari kampung dan medan yang cukup berbahaya. Kemungkinan alasan kedua adalah para ibu tidak diperkenankan karena harus mengerjakan pekerjaan rumah dan menjaga anak-anak yang masih kecil. Anak laki-laki diperbolehkan karena merekalah yang menjadi pewaris tradisi dan kebudayaan dari ritual tersebut. Di lain pihak anak laki-laki dilatih untuk terbiasa dengan kehidupan yang keras agar kelak setelah berkeluarga memiliki rasa tanggungjawab terhadap keluarga dengan bekerja keras.

Ritual po’o di awali dengan memuji dan mengucap syukur kepada Du’a Ngga’e yang telah menumbuhkan dan menyediakan makanan. Pada poin ini manusia di ajak untuk bersyukur kepada Du’a Ngga’e yang telah menjamin kelangsungan hidupnya. Dalam ritual ini manusia diajak untuk menghormati, menjaga dan merawat ibu bumi. Ibu bumi merupakan tempat di mana manusia dapat menjalani hidupnya dengan mengolah segala sesuatu yang telah disediakan. Oleh karena merupakan sumber kehidupan manusia maka sudah sepantasnya ibu bumi diperlakukan dengan sebaik-baiknya, tidak rakus dan egois. Pesan dari ucapan syukur ini disampaikan dalam suasana hening agar semua dapat mendengar. Dalam kebersamaan tersebut mosalaki membagi secara adil makanan yang telah disediakan. Pesan moralnya jelas bahwa setiap orang diajak untuk berlaku adil dalam kehidupan. Selain itu, jika ada orang lain yang mengalami kekurangan dalam hal makanan maka diharapkan untuk saling membantu. Tradisi makanan sisa yang tidak boleh dibawa pulang merupakan tanda kepedulian terhadap ciptaan lain yaitu burung-burung dan binatang hutan lainnya. Orang diajak untuk tidak hanya memperhatikan sesama manusia tetapi juga seluruh ciptaan yang mengintari hidupnya.

Pada umumnya orang Lio-Ende dalam berbagai ritual adat selalu melihat hubungan dalam relasi dengan alam, sesama manusia dan dengan realitas tertinggi. Dalam berbagai ritual adat dan persembahan terungkap jati dirinya sebagai makhluk yang merupakan bagian dari kosmos ini. Ritual adat po’o merupakan ungkapan nyata di mana orang Lio-Ende memperlihatkan dirinya sebagai manusia religius.

  • Bibliografi

  • Bibliografi

    Arndt, Paul, 2002. Du’a Ngga’e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan Di Wilayah Lio (Flores Tengah), Maumere: Puslit Candraditya.

    Mbete, Aron Meko dkk. 2008. Nggua Bapu: Ritual Perladangan Lio-Ende, Denpasar: Pustaka Larasan.


    Oleh :
    Siklus Rikardus Depa (-)