Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Fame’e Gő (Bahasa Nias: hal “ tanggungjawab seorang ibu terhadap anaknya” dalam masyarakat Nias)


Fame’e gő merupakan suatu upacara yang di lakukan sesudah upacara pernikahan. Fame’e gő berarti pemberian makan kepada pengantin baru oleh ibu kandung pengantin perempuan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Derah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978: 134). Tujuan dari upacara ini ialah sebagai bentuk tanggungjawab seorang ibu kandung yang selalu mencintai dan merindukan anaknya yang sudah lama dia besarkan dan jaga hingga akhirnya harus berpisah dari dia.

Upacara ini terdapat di sebuah pulau yaitu pulau Nias khusunya di Nias Utara, kecamatan Lahewa Timur, desa Lukhu Lase. Di mana sesudah upacara pernikahan telah selesai, maka upacara terakhir dalam rangkaian fangowalu (pernikahan) ialah kunjungan mertua ke tempat pengantin baru. Sesudah dua sampai lima hari perkawinan telah berlangsung ibu pengantin perempuan beserta beberapa orang temanya (biasanya saudara-saudaranya pengantin perempuan) berkunjung ke tempat pengantin baru tersebut. Rombongan ini membawa makanan berupa nasi dan daging babi. Makanan ini di serahkan kepada orang tua si laki-laki dan kemudian pengantin diberi makan dan duduk di tengah-tengah rombongan tadi. Selesai makan, pengantin laki-laki memberikan kesempatan sebentar kepada tamunya untuk berbicara kepada istrinya dengan cara meninggalkan mereka sambil menunggu hidangan yang di masak untuk tamu. Untuk menghormati mertuanya, orang tua si laki-laki akan memotong babi sebagai lauk pauk tamunya tadi. Setelah makan, ibu penganti perempuan menyuruh pengantin baru tersebut duduk sambil menyuruh di sedikan pinggan yang berisi air dan pengantin laki-laki menaruh uang perak lima buah di dalam pinggan tersebut. Ibu mertua tersebut mendoakan anaknya, kemudian menyiram kedua pengantin dengan air tadi sambil berkata: Ya mangafu ami hulő zaku, Ya molahu mewa ami hulő dőlő, mi o’ono mioyaő ami minőnői gulidanő, Ya mői ami towa Ya mői tanőmő, (bdk. Yunus. 1985: 215). Artinya adalah dikaruniai Tuhanlah kiranya engkau berdua, lahirlah anak-anakmu penghuni kampung banyak seperti banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di laut, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Derah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978: 143).

Setelah acara ini rombongan tadi berangkat pulang dan kepada si ibu mertua akan di serahkan uang perak tadi dan seekor anak babi. Keberangkatan mereka akan dilepas dengan tangis oleh pengantin perempuan sebagai tanda bahwa dia sangat bersedih berpisah dengan mereka. Si ibu akan mengucapkan torő’i man ő onogu he (selamat tinggal anakku) kemudian di sambut pengantin perempuan dengan lau uuu, ( ia ibu) dan di lanjutkan dengan bői mi dai dai nogu he (kalian baik-baik anakku) kemudian di sambut pengantin dengan lau uuu (ia ibu) dan begitulah seterusnya sampai tidak kedengaran oleh satu sama lain baru berhenti. Pertemuan mereka ini di adakan di rumah pertemuan yang telah di siapkan. Tempat itu namanya bale, (bdk. Hämmerle. 1990: 163). Bale atau tempat pertemuan dapat di jadikan pula untuk pertmuan-pertemuan lainya. Karena fungsi dari bale ini adalah di pakai untuk musyawarah, kalau ada persoalan hukum adat atau kalau ada hubungan dengan leluhur dari desa itu (niha főna) dibutuhkan, Hämmerle (1990: 163). Singkat kata tempat pertemuan (bale) sebagai bertemunya semua orang yang ingin musyawarah terhadap sesuatu hal, baik menyangkut kegiatan kampung maupun penyelesaian sesuatu hal atau masalah. Oleh karena itu, ketika orang tua atau ibu pengantin perempuan datang, maka di arak menuju tempat pertemuan itu yaitu bale.

Melihat apa yang telah di uraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa fame’e gő oleh ibu dari pengantin perempuan merupakan ungkapan tanggungjawab orang tua terhadap anaknya bahwa sebenarnya orang tua tidak mau pisah dengan anaknya. Di sinilah ada semacam cetusan cinta yang mendalam diantara mereka. Karena cinta yang begitu mendalam keduanya sampai-sampai akhirnya tidak mau berpisah satu sama lain. Kita mengetahuinya ketika ibu pengantin perempuan pulang, maka yang terjadi tangisan dan kesedihan yang mendalam. Tapi di lain pihak keduanya tetap tegar dan kuat juga karena cinta.

Cinta pada hakikatnya adalah menyempurnakan. Cinta itu sampai pada kepenuhan yang sempurna. Tidak hanya sempurna dalam yang kelihatan tetapi juga sempurna dalam yang trasendental. Menurut plato cinta adalah penyatuan jiwa, Riyanto (2013: 157). Penyatuan jiwa berarti orang yang saling mencintai memiliki kerinduan kesatuan fisik tetapi kerinduan di sini ialah bukan kerinduan realitas fisik tetapi kerinduan ke abadian. Cinta yang dimiliki oleh ibu dan anak di atas merupakan cinta yang selalu mempunyai kerinduan untuk tetap bersama, bercanda riang, dst. Di tempat lain seorang filsuf bernama spinoza melihat cinta itu kegembiraan, tanpa cinta orang masuk ke jurang kesedihan, Riyanto (2013: 157). Spinoza melihat bahwa cinta merupakan kegembiraan. Hanya orang yang memilki cintalah yang selalu bergembira. Ke dua insan di atas anak dan ibu memiliki wilayah kedalaman cinta sehingga keduanya bisa saling melepaskan untuk sementara waktu. Ibu pulang ke rumahnya dengan penuh pengharapan bahwa anaknya selalu dalam keadaan sehat dan begitu pula anak mengharapkan ibunya selalu sehat. Cinta berarti pengharapan.

Dalam hidup berkomunitas bisa terjalin relasi dengan baik jika ada cinta. Cinta adalah relasional antara aku dan liyan, cinta tidak pernah mengabdi diri sendiri di satu pihak, dan menghancurkan yang lain (liyan) di pihak lain, Riyanto (2011: 181). Di dalam cinta aku dan Liyan menciptkan kita. Artinya bahwa karena cinta, maka subjek atau pribadi dari masing-masing dari kita bukan lagi yang lain sama sekali, tetapi subjek-subjek itu membentuk suatu komunitas yang dibina dan dirawat sebagai kelompok yang hidup bersama menuju kepenuhan cinta di dalam kebahagiaan yang tak terhingga.

  • Lihat Juga

  • Lihat Juga

    Fanaru (Bahasa Nias: hal “solidaritas” dalam berelasi hidup bersama Masyarakat Nias)  Bila-Bila Gafimanu (Bahasa Nias: hal “persaudaraan” dalam hidup berkomunitas masyarakat Nias)  Mőli-mőli (Bahasa Nias: hal “sikap terhadap sesama dan alam” dalam masyarakat Nias) 

    Oleh :
    Ibeanus Zalukhu ()