Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Hämmerle, M. Johannes, ofm. Cap, 1986. Famatő Harimao. Nias: Yayasan Pusaka Nias. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Derah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara. Riyanto, Armada, 2013. Me


Bila-bila gafimanu, atau orang bersaudara ibarat sayap ayam bengkok saat bertengger dan lurus saat terbang, lih. (Zega: Kabarnias 2015) merupakan sebuah peribahasa dalam bahasa Nias yang menujukkan sikap persaudaraan dalam hidup berkomunitas masyarakat Nias. Peribahasa ini sangatlah mendalam maknanya untuk menujukkan arti sebuah persaudaraan yang sejati.

Di sebuah pulau tepatnya di pulau Nias dan khususnya di Nias barat, kecamatan Sirombu, terdapat suatu peribahasa yang cukup unik dan mendalam maknanya. Peribahasa ini kerap kita jumpai ketika sesepuh atau yang lebih tua di dalam kampung memberikan suatu nasihat kepada anak-anak muda untuk menjaga persaudaraan yang lebih baik. Lalu apa artinya peribahasa itu secara harafiah? Secara harafiah kita dapat mengartikan peribahasa itu sebagai berikut :

Bila-bila: kebengkokan, gafi (dari afi): sayap, manu: ayam, zifatalifuső: bersaudara, abila: bengkok, na: kalau, manuge: bertengger, ba: tetapi, adőlő: lurus, sa: dan atau tetapi, na: kalau, mohombo: terbang, lih. (Zega: Kabarnias. 2015). Jadi harafiahnya adalah orang yang bersaudara itu ibarat sayap ayam, bengkok saat bertengger dan lurus kala terbang. Peribahasa ini sudah lama ada sejak dahulu kala dari nenek moyang, kemudian dilestarikan dan di turunkan turun temurun. Biasanya di pakai ketika orang tua dalam sebuah keluarga biasanya bapak berkumpul bersama dan memberikan nasihat kepada anak-anaknya. Untuk memulai memberikan nasihat ini, tidak serta merta langsung pada peribahasa itu akan tetapi di buka dengan sebuah doa. Kemudian makan dan minum tuak. Setelah itu barulah orang tua duduk dan anak-anaknya duduk mengelilingi di saat itulah orang tuan memberikan nasihat kepada anak-anaknya.

Ketika orang tua memberikan mőli-mőli atau nasihat, (bdk. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Derah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978: 135). Biasanya banyak sekali menggunakan peribahasa yang dalam bahasa Nias di sebut amaedola. Amaedola atau peribahasa dikaitkan satu sama lain dan dapat nyambung semuanya. Yang lebih di tekankan ialah peribahasa Bila-bila gafimanu. Tujuan memberikan nasihat ini ialah orang tua mengharapkan anak-anaknya kelak tetap menjaga persaudaraan diantara mereka dan juga kepada semua orang di mana saja mereka tinggal. Amaedola atau peribahasa di atas juga kerap di pakai di kala ada pertemuan dalam desa. Biasanya anak-anak, anak muda hingga orang tua harus datang dan duduk mendengarkan nasehat-nasehat yang di sampaikan dengan tujuan supaya di dalam desa atau kampung rasa persaudaraan itu lebih tinggi dan harus di junjung tinggi sebagai yang tertinggi dalam hidup bersama orang lain. Setelah acara ini selesai semua orang saling salam-salaman sebagai bentuk ungkapan bahwa persaudaraan diantara mereka tetap di pertahankan apapun masalah dan konflik yang ada haruslah di selesaikan secara persaudaraan. Kemudian semua orang bisa pulang kerumahnya masing-masing atau melakukan kegiatan lainya, misalnya main bolla volly atau jenis olahraga lainya.

Peribahasa ini terbuktik ketika ada sesuatu yang terjadi dalam kampung. Misalnya ada kegiatan berburu babi hutan maka semuanya ikut, (bdk. Yunus. 1985: 214). Dan hasil buruan itu di bagikan secara adil karena konsepnya ialah kita sebagai saudara satu nenek moyang satu keluarga dan satu kampung. Maka, tidak ada lagi diantara kita yang memandang yang lain sebagai musuh yang harus dibinasakan. Setiap dari kita mempunyai tugas masing-masing untuk bertanggungjawab terhadap yang satu dengan yang lain untuk tetap mewujudka kebahagiaan bersama.

Melihat penjelasan di atas, maka makna apa yang terkandung di dalamnya! Makna yang lebih utama ialah tentang persaudaraan diantara masyarakat Nias sebagai satu komunitas yang berbasis cinta kasih dan tradisi. Masyarakat Nias mengaminin bahwa amaedola atau peribahasa mampu membuat orang mempunyai kesadaran akan eksistensinya sebagai manusia yang bersosial. Karena amaedola atau peribahasa mempunyai makna yang mendalam sehingga membuat orang tergerak untuk bertindak sesuai dengan apa yang tertera dalam ungkapan itu. Di dalam persaudaraan itu mengandung yang namanya etika tanggungjawab untuk bertanggungjawab terhadap orang lain atau liyan. Etika tanggungjawab terhadap orang lain atau liyan berarti aku yang berelasi dengan yang liyan itu, (bdk. Riyanto. 2011:12). Etika tanggungjawab itu bukan berarti aku (si subjek) mengagap yang lain itu adalah lain sama sekali, bukan demikian! Tetapi yang lain itu adalah merupakan wajahku. Artinya bahwa di dalam diri orang lain itu aku terdampar di dalamnya dan mengambil bagian untuk ikut bertanggungjawab atas wajah dan dirinya.

Wajah menurut Levinas adalah menampakkan sesuatu yang tak berhingga, suatu kedalaman arti, Riyanto (2011:143). Wajah itu mempunyai daya dan seolah-olah mau mengatakan kepada kita aku tidak berdaya. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita untuk membunuhnya, karena wajah itu merupakan ekspresi yang mau mengatakan bahwa mohon ampun aku tak berdaya. Hal ini pula yang di tegaskan dalam terminologi etis bila-bila gafi manu dalam hidup bersama masyarakat Nias. Adalah bahwa hidup berkomunitas itu pertama-tama memiliki kesadaran persaudaraan yang tinggi dan tanggungjawab yang mendalam terhadap yang lain. Persaudaraan dan tanggungjawab beriringan bersama untuk mencapai hidup berkomunitas yang lebih baik. Liyan atau yang lain adalah saudaraku. Dia bukan lain sama sekali. Tapi dia ada bersama aku untuk membentuk commune sebagai bentuk tanggungjawabku atas wajah-wajah yang selalu menyapa dan mencintai aku.


Oleh :
Ibeanus Zalukhu ()