Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

PAPA BE’O NE’E ULU EKO, PAPA NE’E PADHI LANGE (Bahasan Nagekeo, NTT:Saling Mengenal Dan Saling Berbaikan Dengan Tetangga)


Papa Be’o Ne’e Ulu Eko, Papa Ne’e Padhi Lange (Bahasa Nagekeo,NTT: saling mengenal dan saling berbaikan dengan tetangga) adalah ungkapan yang menerangkan relasi masyarakat Nagekeo satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Suatu relasi yang mengenal dan menjaga hubungan baik tanpa adanya pertengkaran satu sama lain.

Dalam ilmu sosiologi, kita akan memahami bahwa manuisa adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lain. Dalam ungkapan Jawa dapat kita sandingkan dengan “Rukun Agawe Santosa Crah Agawe Bubrah” (Dalam Bahasa Jawa: ungkapan yang menunjukkan persatuan dan kesatuan tanpa adanya konflik yang menyebabkan perpecahan). Istilah ini mau menunjukkan bahwa masyarakat Jawa hidup oleh prinsip-prinsip kerukunan dan saling menghormat serta menghargai orang lain (Soesilo,2005:248)

Prinsip ini yaitu, rukun dan menghormati satu sama lain tentu sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya prinsip-prinsip ini tentu hanya akan ada konflik dan perseteruan satu sama lain. Prinspi kerukunan dan saling menghormati satu sama lain bukanlah suatu prinsip yang asing bagi masyarakat Indonesia.

Prinsip-prinsip ini dapat kita temui dalam pancasila. Dimana dalam pancasila dinyatakan pada sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam butir yang ketiga, yaitu mengembangkan sikap saling mencintai sesama. Bertolak dari pancasila maka kita dapat menemukan sebuah kesadaran baru dari prinsip kerukunan dan menghormati satu sama lain, yaitu cinta.

Cinta mengandaikan didalamnya kerukunan dan sikap saling menghormati. Lalu apa arti cinta yang sebenarnya? Cinta di sini janganlah disempitkan pada cinta seseorang pada kekasihnya. Melainkan seperti Plato yang mendefinisikan cinta sebagai daya manusia yang memiliki keterarahan kepada sang Baik (Riyanto,2017:158) yang membuat manusia selalu mengupayakan kebaikan.

Dalam dunia yang modern ini, cinta dalam pemahaman Plato tidaklah mudah untuk dipahami, mengapa? Karena masyarakat pada zaman ini menyempitkan cinta sebatas relasi antara aku dan kekasih. Bukan pada relasi aku dan yang lain atau bahkan relasi antara aku dan Tuhan. Penyempitan semacam inilah yang kemudian menjadikan kerukunan dan penghormatan satu sama lain menjadi sulit untuk dilakukan.

Selain penyempitan makna cinta, hambatan akan kerukunan dan penghormatan satu sama lain, yaitu sikap egois manusia itu sendiri. Dalam diri manusia selain aspek sosial, juga ada aspek individu yang jatuh pada sikap individualisme. Sikap individualisme ini tampak secara nyata dalam tindakan manusia yang menjadikan dirinya sendiri ukuran akan kebaikan. Bahwa segala sesuatu itu baik apabila saya merasa itu baik bagi saya.

Hal ini sangat bertentangan dengan istilah individu dalam filsafat skolastik. Filsafat skolastik menggunakan istilah individu untuk melukiskan manusia yang khas dalam artian semua manusia itu sama hanya tidak seutuhnya sama. Namun lebih dalam istilah individu tidak hanya digunakan untuk membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Melainkan untuk mengatakan unisitas dan pluralitas sekaligus manusia satu dengan yang lainnya (Riyanto,2017:202).Oleh sebab itu manusia hendaknya bersatu dan tidak menimbulkan konflik satu sama lain.

Namun sayang kenyataan berkata lain. Banyak kasus-kasus yang kita terima berkaitan dengan sikap kekerasan yang menentang kerukunan dan penghormatan satu-sama lain. Salah satu yang paling mencolok dalam realitas Indonesia saat ini adalah konflik antara golongan maupun agama. Konflik yang hanya akan menjadikan kerukunan dan penghormatan satu sama lain hanya prinsip yang sebatas mimpi. Dapat dikenal mimpinya namun sulit untuk merealisasikannya.

Pertanyaan yang penting saat ini ialah bagaimana tindakan selanjutnya untuk menerapkan kerukunan dan sikap saling menghotmati ini? Suatu cara yang dapat kita lakukan tidak lain adalah dialog. Dialog adalah sebuah relasi komunikasi yang terjadi antar dua pihak yang saling berelasi. Dialog dapat terjadi antar agama, suku, maupun golongan yang berbeda. dialog dapat menjadi jembatan yang dapat menyatukan jurang perbedaan yang ada dalam pluralisme masyarakat Indonesia.

Selain dialog, untuk memupuk prinsip persatuan dan penghormatan sesama dapat dilakukan dengan gotong royong. Gotong royong yang juga merupakan warisan Indonesia turun-temurun. Secara nyata gotong royong dapat ditemukan dalam suasana kerja bakti. Dimana dalam kerja tersebut terdapat kerja sama yang tidak didasarkan pada keuntungan masing-masing pribadi. Melainkan didasarkan pada sikap sukarela untuk dapat memberikan tenaga bagi sesama. Namun tidak hanya tenaga melainkan juga fikiran yang disampaikan tanpa pamrih dan bermanfaat bagi kehidupan bersama (Bdk.Bintarto,1980:17).

Oleh sebab itu pemahaman akan ungkapan Papa Be’o Ne’e Ulu Eko, Papa Ne’e Padhi (Bahasa Nagekeo,NTT: saling mengenal dan saling berbaikan dengan tetangga) bagi masyarakat Nagekeo adalah suatu hal yang penting bahkan urgen bagi setiap golongan terutama kaum muda. Pemahaman akan nilai kerukunan dan peghormatan satu sama lain dalam ungkapan ini akan menjadikan masyarakat Nagekeo menjadi masyarakat yang bersatu dalam perbedaan. Cita-cita sebagaimana yang terkandung dalam pancasila terutama sila kedua dapat terwujud dalam praktik hidup masyarakat Nagekeo sehari-hari.

Hal ini kemudian akan benar-benar merealisasikan pula etika komunitarian dimana orang lain yang dikenal dengan istilah liyan tidak lagi dipandang sebagai orang asing. Melainkan lebih pada bagian dari komunitas. Bukan lagi aku dengan orang asing melainkan aku dengan diriku yang lain. Sehingga relasi yang terjadi bukanlah relasi antara subjek dengan objek, melainkan relasi antar subjek.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Bau Engo, Cyrillus. 2016.Budaya Nage Perjalanan Hidup orang Nage di Nagekeo.Mbay: Pemerintah Kabupaten Nagekeo.Bintarto,R. 1980. Gotong Royong:Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia.Surabaya:Bina Ilmu.

    Riyanto, Armada.2017.Menjadi Mencintai.Yogyakarta:Kanisius.

    Soesilo,Drs.,2005.Piwulang Dan Ungkapan Budaya Jawa.Jakarta:Yayasan Yusula.


    Lihat Juga

    “Boka Mata LE E’E.” (Bahasa Nagekeo, NTT: ungkapan dalam kematian masyarakat Nagekeo)  GEDHO LOZA (Bahasa Nagekeo,NTT: Keluar Dari Kampung) SEBAGAI UPACARA PENDEWASAAN LAKI-LAKI NAGEKEO  “Too Jogho Waga Sama, Bani Papa Kapi Tego Papa Leung.” (Bahasa Nageko, NTT: ungkapan adat yang berkaitan dengan semangat gotong royong masyarakat Nagekeo) 

    Oleh :
    Antonius Alfredo Poa ()