Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Makei Hereu (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Upacara Perkawinan Adat)


Desa Mara I, adalah sebuah desa yang dihuni oleh masyarakat suku Dayak Kayan Mapan. Desa ini terletak di sebelah utara kalimantan tepatnya di daerah Kabupaten Bulungan, Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kalimantan Utara. Desa ini tidak jauh dari kota Tanjung Selor, dan jarak tempuh hanya 40 Km dan bisa menggunakan transportasi darat dan air. Di desa Mara I ini ada kebiasaan atau upacara yang sering dilakukan pada saat perkawinan. Upacara perkawinan adat ini disebut Makei Hereu. Makei Hereu merupakan upacara perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan. Sebuah perkawinan sebelum diberkati dalam ikatan suci di hadapan Tuhan yang biasa dilakukan pada umumnya, masyarakat suku Dayak Kayan Mapan terlebih dahulu melakukan upacara ini.

Upacara Makei Hereu ini, dilakukan oleh kedua pihak yang ingin menikah yang disaksikan oleh ketua adat/ketua dusun atau juga oleh orang yang dituakan di dalam masyarakat. Ada juga yang menjadi saksi dalam upacara ini, yang disaksikan oleh banyak orang. Sebelum upacara ini, si pria akan mengantarkan sebuah syarat untuk melakukan upacara ini. Biasanya yang dibawa adalah barang-barang antik misalnya tabak (sejenis nampan) yang terbuat dari tembaga murni, belani seperti kendi atau tempayan yang berukiran naga atau bunga, mandau, tameng dan pakaian adat lainnya.

Dari pihak si gadis menerima dengan baik dan biasanya terjadi dialog atau pembicaraan yang dibuka dengan menanyakan kabar dan maksud kedatangan mereka. Dari keluarga laki-laki tidak langsung menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang. Tetapi biasanya mereka mengutarakan maksud dan tujuan mereka dengan bahasa kiasan, misalnya “Maksud kemlau nih jha nih lep tandie, tana ti jiang neh aouh’i tubouh’i? Artinya “Maksud kami baik, dan mau menanyakan apakah lahan kita yang di seberang sungai sudah ditanam?” jika belum apakah bisa kami menggunkannya dengan sebagaimana mestinya (Bdk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 59).

Orang tua si gadis tidak langsung merespon, tetapi terlebih dahulu bertanya kepada si pria apakah mau bertanggung jawab baik secara jasmani dan rohani dan bagaimana dengan pekerjaanya, dan penghasilannya. Keluarga dari si gadis akan menjawab “Maksih bo, tama lep ala anak kemlau anun melai teu kuno-kuno nih” artinya “Terimaksih sudah mau mengambil dan memelihara anak kami yang belum tahu apa-apa ini.” Dialog di atas sebagai tanda kalau pihak pria diterima menjadi calon suami dari si gadis. Kemudian barang-barang adat yang dibawakan diberikan kepada keluarga si gadis.

Upacara Makeu Hereu ini pun dilanjutkan pada esok harinya. Di mana sehari sebelum pernikahan dilakukan acara penyerahan tanda atau penyerah si pria kepada keluarga si gadis. Tidak ada waktu yang khusus dalam melakukan acara penyerahan tanda ini. Sebelum penyerahan tanda atau barang ini di rumah si pria dilakukan acara selamatan sederhana yang digambarkan sebagai saat untuk melepaskan si pria dari keluarganya. Acara ini juga sebagai gambaran untuk memberi restu kepada si pria.

Di rumah si gadis sudah ada persiapan untuk menyambut rombongan dari si pria. Dan ketika sudah sampai perwakilan dari si pria berbicara untuk menjelaskan maksud dan tujuan mereka. Setelah itu semua rombongan dari si pria diperkenankan masuk. Kedua pihak yang akan menikah tentu memakai pakaian adat sebagai ungkapan hormat kepada kedua orangtua masing-masing dan kepada ketua adat/ketua dusun yang dituakan. Perwakilan dari si pria menyerahkan barang yang hendak diserahkan kepada yang mewakili si gadis. Para rombongan dihidangkan makanan apa adanya yang telah disediakan oleh keluarga si gadis.

Upacara Makeu Hereu ini pun berakhir setelah perwakilan dari si gadis memerikas barang yang dibawa, apakah ada yang ketinggalan atau ada yang kurang. Upacara ini hampir sama dengan belis dalam suku Flores atau Batak. Akan tetapi tujuan sebenarnya ialah merupakan sikap tanggungjawab si pria kepada si gadis karena ingin mengambil dia sebagai istrinya. Dalam upacara ini ada unsur kebersamaan dan hidup bersamanya hal ini bisa dilihat dalam sikap orang-orang yang ikut membantu dalam proses upacara ini berlangsung.

Makei Hereu yang merupakan upacara untuk mempersatukan dua belah pihak ini, menjadi gambaran pula bagaimana apa yang telah disatukan itu tidak boleh dipisahkan. Mengapa demikian? Sebab masyarakat suku Dayak Kayan Mapan meski masih tetap melakukan upacara adat ini tidak meninggalkan ajaran kristiani. Hal ini tampak setelah acara atau upacara ini selesai, keesokan harinya diadakan pemberkatan nikah di Gereja.

Di sini dapat ditemukan liyan yang adalah orang-orang yang ikut terlibat dalam upacara ini berlangsung. Si gadis yang diambil menjadi istri oleh si pria sebelumnya adalah liyan yang diterima, di mana sebelumnya mereka bertemu dalam sebuah relasi manusia. Dalam relasi itu maka hadir sebuah “muka”. Muka dari liyan ini hadir ketika ada sapaan dan dialog yang menghasilkan tujuan yang diharapkan, seperti yang terdapat dalam upacara ini ada dialog dan sapaan. Di mana sapaan itu menghadirkan muka liyan, di dalam muka liyan itu ada penampakan diri yang ilahi, yang disebut oleh Levinas adalah “epiphania”. Dikatakan “epiphania” yaitu dimana orang mengekspresikan diri ketika menerima sapaan atau ketika orang menyapa kita (Bdk. Franz Magnis. 2006: 89).

Dialog dan penyerahan dalam upacara ini mengantarkan diri kepada kesadaran bahwa liyan ada di luar diri dan membawa kepada yang ilahi. Demikian dengan upacara Makei Hereu ini, liyan begitu penting sehingga upacara ini dapat berjalan bersama dengan baik. Dari upacara ini pula dibutuhkan tanggungjawab yang besar. Tanggungjawab yang seperti apa? Tanggungjawab untuk memberi kehidupan kepada liyan. Si pria mengambil si gadis sebagai istrinya dan memeliharanya dengan semestinya sama dengan menjaga dan memberi hidup kepada si gadis yang adalah liyan itu sendiri.

Hidup dari si gadis menjadi gambaran dalam filsafat etika yang mengatakan bahwa “Ketika aku bertemu dengan wajah liyan seakan-akan wajah itu berkata jangan bunuh aku” (Bdk. Franz Magnis. 2006: 90). Hal ini menunjukkan bahwa upacara Makei Hereu ini mempunyai makna atau nilai hidup yang lain yaitu melihat liyan sebagai sesuatu yang harus dijaga, dipelihara sebagai sesuatu yang ilahi.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Timur, Jakarta.

    Suseno, Franz Magnis, 2006. Etika Abad Pertengahan, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Klangkang (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Ritual memberi makan alam)  Irau adat (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Kebersamaan dalam pesta panen)  Miak (Dayak Kayan Mapan: Kebersamaan dalam acara selamatan tujuh atau sembilan hari orang yang sudah meninggal) 

    Oleh :
    Benidiktus Paulus ()