Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Miak (Dayak Kayan Mapan: Kebersamaan dalam acara selamatan tujuh atau sembilan hari orang yang sudah meninggal)


Di sebuah desa terpencil di pedalaman kalimantan, yakni Kalimantan Utara, hidup sebuah suku dayak yang mempunyai ritual dan kebiasaan dalam menghormati orang yang sudah meninggal. Suku dayak ini adalah Dayak Kayan Mapan. Dayak Kayan Mapan adalah suku kecil dari suku Dayak Ot Danum yang tersebar di daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Masyarakat Suku Dayak Kayan Mapan pada umumnya telah memeluk salah satu agama resmi, yaitu agama Islam, Kristen dan Katolik. Di samping itu, masih ada pula yang memeluk aliran kepercayaan yang dapat digolongkan ke dalam animisme dan dinamisme.

Orang Dayak Kayan Mapan mempunyai ritual untuk menghormati orang yang sudah meninggal ini ialah Miak. Ritual ini selalu dilakukan apabila ada penduduk yang meninggal. Ritual ini dipimpin oleh ketua adat setempat yang dibantu oleh penduduk setempat. Ritual ini tidak jauh berbeda dengan kebudayaan selamatan di daerah masing-masing, tetapi ada hal-hal yang membedakannya. Hal yang membedakannya ialah dilihat dari arti atau makna dari tujuh hari atau sembilan hari orang yang sudah meninggal tersebut.

Ritual ini jelas dilakukan oleh anggota keluarga yang telah meninggal dan orang-orang yang ikut membantu dalam ritual ini. Sebelum ritual ini berlangsung, ada hal-hal yang harus diperhatikan. Pertama, harus dipersiapkan piring dan kendi sebanyak tujuah atau sembilan buah. Kedua, dari hari pertama hingga hari terakhir pihak keluarga yang ditinggalkan harus menyembelih babi atau ayam, yang dagingnya akan dimasak dan diberikan kepada orang-orang yang berkunjung ke rumah duka.

Dari hari pertama jenasah masih di rumah duka sampai pada hari ketujuh atau hari kedelapan. Dan selama jenasah masih di rumah anggota keluarga tetap menunggu di dekat Lungun (peti mati) dan ada pemali yang harus ditaati, misalnya tidak memakan buah yang bersifat gatal seperti keladi, tidak beraktivitas di luar rumah dan tidak membiarkan rumah kosong. Orang dayak beranggapan roh masih berada di rumah, maka harus ditemani hingga sampai pada hari ketujuh atau hari kesembilan.

Orang dayak beranggapan bahwa orang yang mati itu untuk sampai kepada Belien (Belien berarti Tuhan atau dewa dalam bahasa Dayak Kayan Mapan) harus melewati tujuh anak tangga. Di mana anak tangga di sini diartikan sebagai tempat persinggahan sejenak bagi roh yang sudah meninggal. Dan menurut kepercayaan orang dayak, roh yang meninggal tersebut memakan bekal yang dibawa.

Di sinilah fungsi piring dan kendi yang dibawa oleh orang yang meninggal tersebut. Dan juga maksud dari keluarga yang harus menyembelih babi atau ayam yang dimasak untuk makan bersama. Masakan itu juga akan diberikan kepada roh yang meninggal tersebut. Apa bila hal ini tidak dilakukan maka roh yang meninggal tidak akan bisa melangkah ke tahap berikutnya. Sehingga menurut kepercayaan orang dayak mereka tidak akan sampai kepada Belien.

Selain itu juga, untuk mengantar roh sampai kepada Belien, orang-orang atau anggota keluarga membunyikan gong dengan irama tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa roh akan berjalan dan masuk ke dalam tahap pertama. Makna lain dari arti gong tersebut juga berfungsi sebagai pengingat bagi seluruh penduduk atau masyarakat Dayak Kayan Mapan akan tugas adat yang dibebankan kepada mereka yaitu membantu dan melaksanakan adat kematian ini (Bdk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 64). Bantuan ini bisa berupa memberi beras, bersama-sama membuat Lungun dan sebagainya.

Pada hari ketujuh atau kesembilan, maka diadakanlah acara penguburan. Jenasah dimasukkan ke dalam Lungun, dan Lungun ini diberi ukiran yang diwarnai dengan cat yang melambangkan keindahan. Ritual Miak ini memberi rasa kegembiraan bagi keluarga yang ditinggalkan. Gembira bukan karena salah satu dari anggota meninggal melainkan gembira dapat mengantarkan roh yang meninggal sampai kepada tempat peristirahatan yang terakhir. Pada hari yang ketujuh atau kesembilan ini orang Dayak Kayan Mapan percaya bahwa seseorang yang telah meninggal ini dan mempunyai sifat yang baik, maka rohnya akan menjadi baik pula.

Orang dayak pada umumnya percaya bahwa roh itu akan memberi pertolongan kepada orang yang masih hidup, apabila orang yang bersangkutan mendapat bencana. Sebaliknya apabila orang yang meninggal dunia tersebut berkelakuan tidak baik semasa hidupnya, maka rohnya akan masuk ke dalam roh binatang dan akan mengganggu orang yang hidup di dunia. Dari gambaran ini kita dapat melihat bahwa ada etika baik dan buruk yang sudah ditanamkan dalam hidup bersama dan ada nilai yang benar dan tidak benar.

Seperti yang diungkapkan oleh Max Scheler di mana ia melihat ada nilai-nilai yang dapat dilihat dan ia membaginya kedalam ketiga bagian. Dan di sini ritual Miak ini memiliki kesamaan di mana selain adanya nilai kebersamaan dengan Liyan (Komunitarian) ada pula nilai-nilai rohani seperti yang diungkapkan Max Scheler. Menurut ia pun ada tiga nilai rohani a) yaitu nilai-nilai estetis berbicara nilai di sekitar “yang indah” dan “yang jelek”. b) nilai-nilai “benar” dan “tidak benar”, dalam arti dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan dan c) nilai-nilai pengetahuan murni (Franz Magnis, 2000: 41).

Dalam ritual Miak ini orang dayak mengakui akan adanya nilai yang benar dan yang tidak benar ini. Seperti yang dikatakan di atas bahwa orang yang berkelakuan baik dan benar akan memberikan pertolongan kepada orang di dunia ini yang mengalami bencana. Demikian juga sebaliknya jika orang yang tidak berperilaku benar maka rohnya akan masuk ke dalam binatang dan akan selalu mengganggu orang yang masih hidup di dunia. Nilai kebersamaan ini tampak di sini terlebih dalam kehidupan bersama.

Nilai yang benar dan baik ini pula ditunjukkan dalam sikap orang Dayak Kayan Mapan yang menjunjung tinggi kerjasama. Mereka tidak tinggal diam begitu saja apabila ada salah satu dari penduduk yang mendapat bencana. Hal ini menggambarkan bahwa mereka melihat Liyan adalah “brother” bukan “other”. Dan dalam wajah Liyan itu ada ungkapan untuk memberi perlindungan dan kedamaian yang dibutuhkan. Nilai etika yang dijelaskan ini memberikan penjelasan bahwa ritual Miak ini memiliki nilai etika yang tinggi yang dilihat dalam bentuk kerjasama, dan membangun nilai-nilai yang bersifat rohani atau spiritual.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984. Adat dan Upacara Kematian Daerah Kalimantan Timur, Jakarta.

    Riyanto, Armada, Ari Christy, Marcellius dan Punjung Widodo, Paulus (eds), 2011. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication.

    Magnis, Franz Suseno, 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Klangkang (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Ritual memberi makan alam)  Makei Hereu (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Upacara Perkawinan Adat)  Irau adat (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Kebersamaan dalam pesta panen) 

    Oleh :
    Benidiktus Paulus ()