Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

BEKANO/BEJALI (Dayak Lebang Nado, Kalimantan Barat)


Kano adalah suatu bagian dari tradisi lisan Dayak Lebang Nado. Kano berbentuk cerita masa lalu, semacam syair panjang yang dituturkan oleh orang-orang tertentu. Bekano/Bejali bisaanya diadakan pada waktu pesta panen (gawai) atau beberapa hari setelah pesta panen berlalu. Bisaanya, sehari atau beberapa hari setelah pesta panen berlangsung, masyarakat Dayak Lebang Nado tidak melakukan pekerjaan ke ladang, kebun atau sawah. Mereka tetap di rumah. Untuk mengisi hari-hari tersebut, bisaanya para orang tua, baik laki-laki maupun perempuan berkumpul di sebuah rumah warga untuk mendengarkan Kano/Jali. Bisaanya kegiatan ini jarang diikuti oleh anak-anak muda, karena anak muda kurang meminati kebisaaan ini.

Dayak Lebang Nado merupakan salah sub suku Dayak yang tinggal di Pulau Kalimantan Barat. Secara umum, suku Dayak Lebang Nado tinggal di sekitar kaki bukit Lalau Batu. Secara Geografis bukit Lalau Batu tidak jauh letaknya dari Bukit Kelam. Selain itu, suku Dayak Lebang Nado juga tinggal di sepanjang pinggir Sungai Inggar dan Sungai Nuak. Kedua sungai ini adalah anak dari Sungai Kayan, sedangkan sungai Kayan adalah anak dari sungai Melawi. Sungai melawi merupakan anak dari sungai Kapuas, yang merupakan sungai terbesar di Kalimantan Barat. Suku Dayak Lebang Nado ini tersebar di 17 kampung. Ketujuh belas kampung itu ada di kecamatan Kayan Hilir dan Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang (Alloy, dkk. 2008: 220). Masyarakat Dayak Lebang Nado rata-rata hidup dekat dengan alam. Karena cara hidup yang demikian, kedekatan antar individu yang satu dengan yang lain juga terjaga. Masyarakat sering berkumpul bersama di salah satu rumah warga, entah itu pada waktu ada kegiatan atau acara bersama, maupun hanya sekedar untuk bersilahturahmi. Dari situ muncullah kebisaaan-kebisaaan yang berkembang hingga saat ini. Salah satunya adalah Bekano/Bejali.

Tidak semua orang bisa Bekano/Bejali. Hanya orang-orang tertentu. Saya mengandaikan bekano/bejali ini seperti wayang dalam budaya jawa. Sebuah cerita masa lalu yang dikemas dalam cerita atau tembang, dengan bantuan alat-alat (wayang). Pada saat Bekano/Bejali berlangsung, semua orang tua yang hadir, membentuk sebuah lingkaran di rumah warga yang menjadi tempat Bekano/Bejali itu diadakan. Cerita yang dibawakan tidak bisa dipotong atau dihentikan sesuka hati. Seseorang yang sedang Bekano/Bejali tidak boleh menghentikan ceritanya secara sesuka hatinya karena cerita ini dianggap sakral, dan tokoh-tokoh yang diceritakan dalam cerita tersebut dipercayai akan merasa tersinggung dan marah. Ia harus memilih bagian-bagian yang tepat apabila dengan terpaksa harus menghentikan ceritanya. Misalnya jika Kano/Jali tersebut tengah menceritakan babak peperangan maka cerita itu tak boleh dihentikan sebelum para tokoh cerita tersebut mencapai kemenangan (Mering: 2007). Cerita tersebut harus selesai sehari atau semalam. Untuk membuat semua pendengar bisa bertahan dalam jangka waktu yang panjang, maka disediakanlah makanan dan minuman. Semua orang yang datang bisaanya membawa makanan dalam bentuk nasi, sayur, dan lauk pauk. Pada waktu makan, semua boleh mencicipi milik sesamanya. Suasana makan menjadi sangat luar biasa, karena orang satu kampung berkumpul menjadi satu keluarga dalam sebuah rumah. Selain itu untuk membuat suasana semakin hidup, maka disediakan juga tuak (minuman alkohol yang terbuat dari beras ketan). Dalam kebudayaan masyarakat Dayak, tuak bukanlah minuman tabuh dan haram. Minuman ini selalu ada dalam setiap acara dan kegiatan bersama, karena memiliki makna sebagai penyatu dan pengikat satu sama lain dalam semangat persahabatan dan kekeluargaan.

Makna yang dapat dipetik dari kebisaaan adat ini ialah persaudaraan dan kekeluargaan. Bekano/Bejali sebenarnya hanyalah kebisaaan masyarakat Dayak Lebang Nado yang sederhana, namun memiliki manfaat atau efek yang luar bisaa bagi masyarakat dalam membangun persaudaraan dan kekeluargaan. Orang Dayak, dalam kesehariannya sebenarnya hidup dalam semangat cinta kasih, tidak ada perbedaan perlakuan satu sama lain (Muhrotien 2012: 22). Hal ini bisa dipahami, mengingat pada zaman dulu orang Dayak Lebang Nado hidup di Rumah Panjang atau Rumah Betang. Rumah betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat diberbagai penjuru Kalimantan dan dihuni oleh masyarakat Dayak terutama di daerah hulu sungai yang bisaanya menjadi pusat permukiman suku Dayak. Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Rumah Betang dihuni oleh 100-150 jiwa. Rumah Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang kepala adat. Bagian dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang bisa dihuni oleh setiap keluarga. Rumah Panjang selalu memiliki ruangan yang luas yang digunakan untuk kepentingan bersama seperti upacara adat, tempat tamu bermalam, dan sebagainya (Muhrotien 2012:15). Rumah Panjang atau Rumah Betang memungkinkan masyarakat hidup dalam kasih dan perjumpaan yang intensif. Setiap hari mereka berjumpa, karena semua warga tinggal dalam satu rumah. Mereka hanya dipisahkan sekat-sekat dinding pembatas antara bilik keluarga yang satu dengan bilik keluarga yang lain.

Selain itu, makna yang terkandung dalam kegiatan Bekano/Bejali ini adalah persahabatan. Orang Dayak Lebang Nado sangat menghargai persahabatan dengan sesamanya, termasuk sesama yang berasal dari kampung atau daerah lain. Sesama benar-benar dipandang sebagai bagian dari dirinya. Dalam persahabatan, “engkau” tidak lagi sebagai pribadi “lain” yang berbeda dari aku, melainkan menjadi aku yang lain (Riyanto 2011: 192). Manusia Dayak Lebang Nado sebenarnya sangat menghidupi paham kesederajatan dalam diri setiap manusia. Masyarakat Dayak Lebang Nado menyadari bahwa subjek-subjek yang lain sama seperti aku adalah subjek. Kesamaan ini tidak sekedar mengatakan kesederajatan, melainkan meneguhkan pengakuan atas keberadaan orang lain dalam kekhasannya, dalam keseluruhan keunikannya (Riyanto 2011: 192). Dalam menghayati persahabatan tersebut, manusia Dayak Lebang Nado sungguh-sungguh lepas dari segala sikap egios dan mementingkan diri sendiri semata. Setiap orang bahkan seolah selalu berkata, “miliku adalah milikmu juga”, atau sebaliknya. Begitulah kebersamaan dan persahabatan dihidupi oleh manusia Dayak Lebang Nado, sesama dipandang sebagai aku yang lain, yang turut meneguhkan keberadaanku.

  • Bibliografi
  • Info Penulis

  • Bibliografi

    Alloy, Surjani, dkk., 2008. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi: Pontianak.

    Mering, Alexander, 2007. Profil Etnik: Mengenal Tradisi Lisan Dayak Desa, dlm https://wisnupamungkas.wordpress.com/2007/07/30/profil-etnik-mengenal-tradisi-lisan-dayak-desa/ (diakses 7 Maret 2017)

    Muhrotien, Andreas, 2012. Rekonstruksi Identitas Dayak, TICI Publication: Yogyakarta.


    Info Penulis

    Penulis BEKANO/BEJALI (Dayak Lebang Nado, Kalimantan Barat)adalah mahasiswa STFT Widya Sasana program Magister Filsafat : Kosentrasi Filsafat Sistematis


    Oleh :
    Robertus Moses (robertmoseslazaris@gmail.com)