Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Hanga atau Kanga (Lio-Ende: sebuah tempat yang berbentuk lingkaran dan di tengahnya terdapat batu lonjong dan batu ceper


Hampir setiap kampung di daerah Lio-Ende Flores NTT memiliki apa yang di sebut dengan hanga. Di kampung Masebewa yang terletak di bagian timur kabupaten Ende memiliki hanga. Keberadaan hanga mau mengatakan bahwa di kampung tersebut memiliki adat istiadat. Hanga merupakan sebuah tempat yang bebentuk lingkaran dengan dataran yang lebih tinggi kira-kira 1-2 meter. Di tengah-tengah hanga terdapat sebuah batu besar yang menjulang tinggi dan di bawahnya terdapat dua batu ceper. Orang tidak diperbolehkan untuk mengukur ketinggian dan diameter batu-batu tersebut. Konon katanya jika ada orang yang mengukur tinggi badanya dengan batu tersebut maka segera setelanya ia akan mati. Bahkan untuk mengambil gambar (foto) pun dilarang kecuali meminta izin pada Mosalaki. Hanga merupakan tempat yang paling sakral, orang-orang yang ingin berjalan disekitarnya tidak boleh terantuk sebab akan mati jika terantuk.

Alkisah pada suatu pagi, seorang raja bernama raja Ranggo, hendak berburu dengan beberapa ekor anjingnya. Sekitar dua ratus meter dari tempat tinggalnya, sang raja mendengar setiap pagi sebelum menjelang siang anjing-anjingnya berlari-lari sambil menggonggong. Tempat tersebut juga menjadi tempat di mana anjing-anjingnya berbaring di siang hari. Kira-kira jam sembilan pagi di mana matahari mulai terasa panas dan keadaan sangat sepi anjing-anjing raja mulai kembali menggonggong. Karena penasaran sang raja mendekat ia mengira ada binatang buruan di tempat tersebut. Mengherankan bahwa raja mendengar seperti ada yang mengejar anjing-anjingnya. Raja sendiri tidak mengetahui binatang apa yang mengejar anjing-anjingnya itu, rupa dan wujudnya pun tak kelihatan oleh raja. Kemudian raja mengikuti anjing-anjingnya yang berlari sambil menggonggong ke suatu tempat yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon yang lebat. Anjing-anjingnya menggonggong di sekitar semak belukar yang lebat itu lalu raja membuka semak itu menggunakan parangnya, ketika semak itu di buka, sang raja sangat terkejut melihat tugu batu yang tingginya sekitar dua meter, selain batu yang tinggi itu terdapat pula dua batu lainnya yang berbentuk ceper dan tiga tugu batu kembar berukuran kecil yang diyakini oleh raja sebagai anak dari batu yang tinggi tersebut. Tempat ketiga batu kembar tersebut selalu berpindah-pindah hingga sekarang setiap tahunnya. Menurut kepercayaan tugu batu tersebut beserta tiga anak kembarnya itu dahulunya adalah manusia. Entah kenapa menjadi batu tak seorang pun yang tahu termasuk sang raja. Karena percaya batu tersebut adalah manusia dan mempunyai kekuatan yang tidak di buat-buat, keesokan harinya raja bersama dengan keluarganya memutuskan untuk tinggal di sekitar tugu batu tersebut. Sang raja yakin bahwa di tempat ini ia dan keluarganya akan hidup aman dan raja memberi nama tempat tinggalnya itu Masebewa yang berarti tugu batu yang tinggi. Sebelumnya raja tinggal di suatu tempat yang bernama Lele yang artinya beringin, sampai sekarang pohon ini masih ada.

Berbeda dengan kampung-kampung di daerah Lio-Ende lainnya, hanga di kampung Masebewa memiliki ukuran yang lebih luas dan posisinya tepat di tengah-tengah kampung. Jika mulai terlihat kotor dan ditumbuhi rumput-rumput liar, maka yang bertugas membersihkannya adalah Ria Bewa para Mosalaki dan orang-orang pilihan. Upacara di hanga dilakukan dua kali setahun yakni sebelum memulai upacara po’o dan pada kesempatan upacara adat (Lio-Ende: nggua sesangenda) “suku” Mole. Pada saat upacara adat, Mosalaki memberikan sesajian (Lio-Ende: kuwi roe) di hanga. Pemberian sesajian ini sesuai dengan kepercayaan bahwa batu-batu tersebut merupakan manusia yang telah berubah menjadi batu.

“Suku” Mole dan Ndondo memandang hanga sebagai tempat yang sakral karena percaya bahwa batu-batu tersebut sebelumnya adalah manusia. Kepercayaan tersebut melahirkan berbagai larangan. Pertama tidak boleh mengukur tinggi badan dengan batu tersebut: jika dilakukan maka tindakan kita dipandang sebagai tindakan yang tidak sopan terhadap sesuatu yang di anggap telah memberikan kenyamanan hidup. Tindakan mengukur badan juga merupakan tindakan yang tidak pantas karena tidak menghormati sesuatu yang dianggap lebih tinggi dan mulia. Kedua tidak boleh terantuk: pesan yang hendak di katakan adalah ketika memasuki wilayah tersebut orang tidak boleh berlari-larian melainkan jalan dengan sopan. Jika orang berlarian di tempat tersebut maka ia akan terantuk dan jatuh. Oleh karena itu menurut cerita orang tidak boleh terantuk ketika berjalan di sekitar hanga. Berjalan dengan sopan menunjukan bahwa kita menghormati tempat tersebut sebagai tempat suci. Dalam upacara adat di berbagai kampung di Lio-Ende hanga menjadi tempat di mana orang melakukan ritual adat dan juga tarian-tarian. Hanga menjadi tempat pertemuan atau musyawarah untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan penetapan hari untuk upacara adat (Aron Meko Mbete Dkk, 2008:145). Berbeda dengan “suku” Mole dan Ndondo yang memandang hanga sebagai tempat suci maka tidak ada tari-tarian di sekitar hanga.

Hanga di kampung Masebewa yang merupakan penemuan raja Ranggo tidak memiliki kisah seperti di tempat lain di Lio-Ende. Di tempat lain proses terbentuknya hanga dan dalam peresmiannya salah satu yang di jadikan korban adalah anak-anak. Anak yang akan di jadikan korban ini berasal dari tempat lain dengan cara diculik. Pada saat musumase (sebutan untuk batu lonjong yang berdiri tegak di tengah-tengah hanga) didirikan, sebuah lubang digali cukup dalam dan di dasarnya diletakan sebuah batu yang berbentuk ceper. Anak yang diculik tersebut lalu di tempatkan hidup-hidup dalam lubang yang telah disedikan. Anak itu lalu diberi nasi atau kue dan sepiring daging. Ketika ia menerima pemberian tersebut tiba-tiba sebuah batu ceper besar dilemparkan ke atasnya dan anak itu dikuburkan hidup-hidup. Orang-orang segera menari dengan riang sambil melompat-lompat hingga debu berterbangan. Hanga kini menjadi tempat sakral atau disebut bhisa gia (Paul Arndt, 2002:157)

Dari kisah raja Ranggo di atas jelas bahwa hanga ditemukan dalam keadaan sudah berbentuk. Sang raja yang merasa nyaman dengan tempat tersebut kemudian menjadikan hanga sebagai tempat perlindungan. Tidak ada korban dan persembahan yang dilakukan pada saat ditemukan hanga. Ritus penghormatan dan penyucian dilakukan dengan bersikap sopan dan hormat ketika berada di hanga.

Hanga merupakan simbol kenyamanan hidup seperti yang dikisahkan bahwa tempat tersebut awalnya merupakan tempat di mana anjing-anjing sang raja tidur dan beristirahat. Raja beserta keluarganya pindah dari Lele menuju hanga dengan tujuan supaya semua keluarganya hidup aman dan damai. Rasa aman dari perang perebutan tanah dan tempat tinggal. Raja meyakini bahwa hanga dapat memberikan kenyamanan kepada semua anggota keluarganya dari bahaya perang. Pada masa itu perang perebutan tanah dan tempat tinggal kerap terjadi untuk menghindari perang orang-orang mencari tempat untuk berlindung. Dengan demikian hanga menjadi simbol kedamaian bagi setiap orang yang berada di sekitarnya dan memiliki kekuatan dalam melindungi setiap orang dari bahaya perang. Sebagai tempat yang telah melindungi dan memberi rasa aman maka sudah sepantasnya orang-orang yang ada di sekitarnya memiliki sikap hormat.

  • Bibliografi

  • Bibliografi

    Arndt, Paul, 2002. Du’a Ngga’e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan Di Wilayah Lio (Flores Tengah), Maumere: Puslit Candraditya.

    Mbete, Aron Meko dkk. 2008. Nggua Bapu: Ritual Perladangan Lio-Ende, Denpasar: Pustaka Larasan.


    Oleh :
    Siklus Rikardus Depa (-)