Kempunan (Bahasa Dayak Uud Danum Kalbar: Hal Menghargai Rejeki dan Kehidupan)
Kempunan adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami nasib sial (ditimpa kecelakaan atau bahkan hingga meninggal) akibat tidak menyentuh atau menyantap makanan yang sudah ditawarkan kepadanya (Leigh 2000: 367-368). Istilah ini begitu familiar di antara masyarakat Suku Dayak, termasuk di dalamnya adalah Suku Dayak Uud Danum. Suku Uud Danum (dalam beberapa literatur disebut juga sebagai Ot Danum atau Uut Danum) merupakan suku yang mendiami dua sisi pegunungan Schwaner di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Sutimbang 2013: 1). Kata Uud Danum, secara etimologis, bisa dimengerti sebagai berikut. Uud merupakan kata yang bisa merujuk pada dua pengertian, yaitu bagian hulu dan atau suku. Danum berarti air atau sungai. Dengan demikian, Uud Danum dimengerti sebagai suku yang berdiam di bagian hulu sungai (air).
Suku Uud Danum yang berada di Kalimantan Barat tinggal di daerah hulu sungai Melawi dan Serawai. Dua sungai ini menghubungkan dua kecamatan yang (karena pemekaran kabupaten) terbagi menjadi dua kabupaten walau berada di aliran sungai yang sama; Kec. Serawai tetap di Kab. Sintang dan Kec. Ambalau bergabung di Kab. Melawi. Dari perspektif suku inilah konsep kempunan akan dielaborasi.
Kempunan dapat menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Misalnya, ada seorang suami yang tidak meminum atau menyentuh kopi yang disiapkan oleh istrinya, padahal istrinya sudah menyuguhkan dan menawarkan kepada suaminya. Orang Uud Danum percaya bahwa suami ini (jika mengadakan perjalanan atau kegiatan) bisa mengalami celaka. Kecelakaan ini bisa meliputi tabrakan, terluka dan lain sebagainya. Dalam kepercayaan Suku Dayak Taman, kempunan disebabkan oleh serangan roh-roh jahat (Jay H. Bernstein 1997:67).
Semua makanan dapat menyebabkan kempunan. Namun demikian, makanan/minuman yang diyakini paling “berbahaya” jika tidak dicicip atau disentuh adalah kopi, pulut (beras ketan), garam, nasi goreng atau tuak (minuman adat). Akibat yang dimunculkan dari keteledoran tidak mencicipi makanan jenis ini seringkali bersifat fatal dan bahkan mematikan.
Untuk menangkal kempunan, orang Uud Danum melakukan sesuatu yang disebut ngomomalek (dalam bahasa suku lain bisa juga disebut pelopas atau posek). Ngomomalek adalah tindakan memakan, mencicip makanan atau minimal menyentuh makanan yang ditawarkan dengan ujung jari. Jika seseorang sudah melakukan hal tersebut, diyakini bahwa ia akan terhindar dari celaka.
Kempunan ini pada dasarnya mengajarkan setiap warga Uud Danum untuk menghargai rejeki (dalam rupa makanan) dan juga keramahtamahan antar warga. Dalam kehidupan masyarakat yang masih alami dan tradisionil seperti pada suku Uud Danum, penghargaan atas sikap hidup dan juga berkat dari alam mendapat peran yang sangat penting. Kebaikan orang yang disalurkan dalam bentuk makanan sangat tidak sopan untuk ditolak dan bahkan diabaikan. Penghargaan atas rejeki dan keramahtamahan merupakan pondasi yang kuat untuk membangun tata hidup bermasyarakat dalam lingkaran suku Uud Danum.
Mencicip atau menyentuh makanan agar tidak terkena kempunan juga mengandaikan suatu sikap berbagi syukur. Tuan rumah yang menyediakan makanan atau minuman bagi tamu membagikan rasa syukur mereka. Dengan menyantap atau mencicip makanan tersebut, tamu menunjukkan niat baiknya untuk merayakan rasa syukur atas rejeki yang diberikan.
Jenis-jenis makanan yang “disakralkan” dalam hal kempunan juga menunjukkan satu fakta penting. Makanan-makanan tersebut merupakan jenis makanan yang melambangkan berkat langsung dari Tahala’ (Realitas Tertinggi dalam kepercayaan Uud Danum). Padi dan pulut melambangkan kehidupan. Orang Dayak berladang agar menghasilkan padi ataupun pulut bagi keluarga dan komunitasnya. Mereka harus membuka ladang (dengan cara menebang pohon) dan membersihkannya agar bisa ditanami padi dan pulut. Untuk membuka ladang tersebut, orang Uud Danum harus mengadakan rangkaian upacara adat agar tanah dan musim diberkati oleh Tahala’.
Kopi dan garam merupakan dua benda yang pada jaman dulu begitu sulit untuk diperoleh. Dari cerita turun-temurun, orang Jepang mengajarkan orang Dayak cara membuat garam untuk pertama kalinya. Secara geografis tentu hal ini hampir tidak mungkin karena suku Uud Danum hidup jauh dari laut. Proses pembuatan garam ini begitu sulit dan melelahkan. Butuh waktu berbulan-bulan dan sekian banyak pohon besar yang ditebang agar garam dapat dibuat. Itulah sebabnya garam termasuk jenis barang yang “langka” untuk dimiliki orang Uud Danum saat itu.
Tuak merupakan minuman adat beralkohol tinggi yang dibuat dari beras ketan yang dicampur dengan ragi. Minuman ini hampir pasti selalu ada di setiap upacara adat. Dalam perkembangannya, tuak disajikan sebagai salah satu hidangan jika orang bertamu. Dalam hal ini, tuak menunjukkan penghormatan dari pihak tuan rumah kepada tamunya.
Bahan-bahan makanan tersebut diperoleh dengan susah payah. Perlu kerja keras selama berbulan-bulan, hingga tahun, agar produk makanan dapat dihasilkan. Beras, pulut, kopi, garam dan tuak merupakan simbol jerih payah manusia Uud Danum dalam mengolah alam tanpa harus merusaknya. Dengan demikian, kempunan mengajarkan sutau nilai yang lebih universal yaitu rasa bersyukur atas kehidupan yang boleh diterima. Segala jenis makanan yang disebutkan di atas merupakan bentuk berkat dari Sang Kehidupan (Tahala’) bagi manusia. Pengingkaran atas berkat tersebut, secara tidak langsung, merupakan pengingkaran atas kehidupan itu sendiri
Bibliografi
Bernstein, Jay H., 1997. Spirit Captured in Stone: Shamanism and Traditional Medicine among the Taman of Borneo. London: Lynne Rienner Publisher.
Leigh, Michael (Ed.), 2000. Borneo 2000: Language, Management and Tourism; Proceedings of the 6th Biennial Borneo Research Conference. Malaysia: Universiti Malaysia Sarawak.
Ngawan, Sutimbang, 2013. Fonologi Bahasa Dayak Uud Danum [skripsi diterbitkan]. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
TRIO KURNIAWAN (-)