Ergunting (Batak Karo, SUMUT: Upacara Menggunting Rambut Bayi)
Ergunting adalah sebuah upacara atau salah satu kegiatan yang sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Karo pada umumnya, yang diperuntukkan bagi bayi yang lahir. Dari asal kata yaitu ergunting, kegiatan ini merupakan kegiatan menggunting rambut si anak yang baru lahir dalam masyarakat Batak Karo.
Waktu pelaksanaan kegiatan ini memang dalam tradisi masyarakat Karo tidak ditentukan secara pasti. Namun biasanya masyarakat Karo mengadakan acara ergunting ini ketika si anak berumur 2 bulan sampai 2 tahun. Dan pastinya upacara ergunting ini dilakukan setelah si bayi melaksanakan upacara erjuma (berkebun) tiga yakni sekitar 2-3 bulan sesudahnya (bdk.Guntur, 1990:66). Hal lain yang perlu dipastikan terkait soal waktu pelaksanaan acara ergunting ini adalah bahwa hari ergunting tidak boleh bersamaan dengan hari lahirnya dulu. Alasannya, karena bila hari ergunting dilakukan pada hari yang sama dengan hari lahir si anak, maka masyarakat Karo mempercayai bahwa akan ada terjadi hal atau akibat buruk bagi anak
Acara ergunting ini dilakukan dengan cukup sederhana. Seluruh kerabat dan sanak saudara diundang untuk hadir pada acara tersebut. Dalam hal ini semua sangkep nggeluh harus hadir bersama-sama melaksanakan acara ini. Bahan-bahan dan peralatan yang digunakan pada saat acara ergunting dilakukan adalah (1) cimpa, yaitu kue khas yang berasal dari masyarakat Karo, yang terbuat dari tepung, beras, gula dan kelapa yang dibungkus dengan daun khusus dan dimasak. (2) gula aren, kelapa bulat, pisang, dan cungkil,(3) tebu yang sudah dikupas, (4) tikar putih yang ukurannya agak lebar dan (5) pisau atau gunting.
Peran sangkep nggeluh pada acara ergunting sangat penting, terutama menyangkut siapa yang akan memotong rambut si anak. Dalam tradisi atau adat Karo,bila anak tersebut adalah laki-laki, maka yang ditentukan untuk memotong rambut si anak ialah mama-nya (paman si anak). Sementara jika si anak perempuan maka yang ditentukan untuk menggunting rambutnya ialah bengkila-nya (suami bibi si anak). Mengapa demikian? Masyarakat Karo memiliki suatu kepercayaan bahwa jika upacara ergunting ini untuk pertama kalinya tidak dilakukan oleh mama atau bengkila si anak, maka kemungkinan besar hal buruk akan terjadi terhadap si anak. Biasanya hal buruk yang terjadi terhadap si anak ialah berupa penderitaan sakit penyakit. Alasannya, karena tendi buk (roh rambut) pada di anak merasa dihina. Memang, penderitaan itu sudah menjadi realitas hidup manusia. Tetapi di dalamnya tersembul misteri keilahian (Riyanto, 2013:244). Itulah sebabnya masyarakat Karo memiliki kepercayaan bahwa bila upacara ergunting tidak dilakukan sesuai ketentuan yang ada untuk pertama kalinya, diyakini hal itu akan membawa sesuatu yang buruk bagi si anak. Tetapi sebaliknya, bila upacara ergunting ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu mama atau bengkila si anak yang menggunting rambut si anak untuk pertama kalinya, maka hal buruk tidak akan terjadi terhadap si anak. Dan selanjutnya, untuk pemotongan rambut si anak dapat dilakukan oleh siapa saja.
Acara ergunting biasanya dilakukan jam 09.00 pagi, saat matahari mulai bersinar cerah. Adapun acaranya dilakukan sebagai berikut: Tikar putih yang telah disiapkan dibentang lebar di ruangan tengah rumah. Di atas tikar putih tersebut diletakkan cimpa, pisang, gula aren, kelapa bulat, cungkil, dan tebu. Mami, sambil memangku si bayi dan mama-nya (paman) juga duduk di atas tikar putih tersebut. Sebelum mama si bayi memulai memotong rambut, terlebih dahulu disediakan lau meciho (air bersih) untuk merendam pisau atau gunting yang digunakan untuk menggunting rambut si anak. Hal ini dilakukan karena dalam tradisi masyarakat Karo dahulu, setiap benda terlebih untuk benda -benda tajam yang membahayakan diri mengandung mistis atau mengandung roh. Sehingga tujuan pisau atau gunting tersebut direndam di dalam lau meciho ialah untuk menetralisir unsur-unsur mistis yang terdapat di dalam benda tajam tersebut. Sehingga ketika pisau atau gunting itu digunakan untuk menggunting rambut si anak, alat tersebut tidak melukai atau menimbulkan hal-hal yang mengancam keselamatan si anak.
Sembari merendam peralatan yang digunakan untuk menggunting rambut, mami bayi menaburi beras ke atas kepala bere-bere-nya (si bayi). Beras yang diambil sebanyak segenggam tangan dan kemudian ditaburi sedikit ke atas kepala si anak sebanyak 11 kali. Hal ini dibuat dengan harapan supaya si anak senantiasa berada dalam keadaan sehat walafiat.
Setalah dilakukan barulah kemudian si mama si anak mulai menggunting rambut. Cara menggunting rambut si anak untuk pertama kalinya tidak sama dengan cara menggunting rambut pada umumnya. Rambut yang tumbuh bagian depan, kira-kira tepat berada di bagian tengah kepala depan, yang biasanya menjulur ke depan kening, tidak ikut dipotong. Mama si anak akan membiarkan rambut pada bagian kepala depan tersebut dan mengikatnya dengan benang putih. Lalu kepala si anak direciki dengan air bersih yang digunakan untuk merendam pisau atau gunting sebelumnya.
Setelah kepala si anak basah, mama pun mulai menggunting rambut si anak hingga selesai. Potongan rambut dikumpulkan dan seluruh tempat dibersihkan. Setelah semua selesai, acara ditutup dengan makan bersama. Kegiatan ini menjadi lambang syukur bagi pihak kalimbubu, sekaligus menaruh rasa bangga kepada bere-bere-nya (si anak), karena dikaruniai kesehatan yang baik. Kebanggaan yang dirasakan oleh pihak kalimbubu atas bere-bere-nya tersebut akan menjadi suruh-suruhenna (pengabdi kalimbubu).
Bibliografi
Tambun, P. 1952. Adat Istiadat Karo, Jakarta: Balai Pustaka.
Tarigan, Prof. DR. Henry Guntur.1990. Percikan Budaya Karo, Jakarta: Yayasan Merga Silima.
Riyanto Armada. CM. 2013. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologi Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius.
Joan Nami Pangonsian Siagian (-)